PoV Agus Kuat.
Bak petir di tengah terik nya matahari kala mendengar tuduhan istriku. Bahwa aku telah menjualnya. Apa sih, maksudnya? Sungguh tidak bisa ku mengerti. Aku tatap sendu wajah Ningrum yang sedang emosi dengan derai air mata, hatiku mencelos. Memang aku yang salah sebelum menikah dengannya tidak menceritakan tentang rumah tanggaku dulu dengan Arin.
Mengingat Arin aku menoleh ke 19 tahun yang silam.
Prankk! praankk! Brak!!
Itulah musik yang selalu terdengar di rumah kontrak petakan. Namun bukan musik pengiring lagu rockers yang di nyanyikan Iwan Fals atau Niki Astria yang sedang ngetop di jamanku. Tetapi itu penggorengan, dan perabot dapur yang di banting Arin ketika marah.
Aku mulai mengenal tabiat buruk Arinta, semenjak gadis kecil yang aku beri nama Jesinta Rahayu. Hasil buah cintaku pada Arinta kala itu telah lahir ke dunia. Semenjak lahir Jesi, rumah tanggaku diwarnai pertengkaran.
Arinta tidak mau menerima kenyataan bahwa aku hanya pekerja proyek yang digaji mingguan.
"Uang segini mana cukup Mas, harus beli susu, untuk makan sehari-sehari, belum lagi membayar kontrakan!" Begitulah Arin, yang tidak mau bersyukur dengan apa yang aku beri.
"Kamu juga harus irit Arin, untuk sementara tidak usah beli bedak yang mahal!" Saranku. Arin memang boros jika membeli bedak inginnya yang mahal.
"Enak saja! Kamu yang nggak becus cari uang! Jangan hanya mengandalkan gaji proyek, kerja apa kek!" Ketus Arin sambil berlalu pergi.
Aku meremas rambutku gusar. Arin benar, aku harus mencari uang tambahan. Rasa lelah tidak kurasakan. Malam itu juga aku nongkrong di pangkalan ojek bergabung dengan para tetangga menarik ojek agar kebutuhan bisa terpenuhi.
"Tumben Gus, loe ikut ngojek?" Tanya Bari.
"Cari tambahan, Bar."
"Halaah... paling untuk beli kosmetik bini loe kan?!" Sinis Aris, tetapi memang begitu jika bicara tentu hanya di mulut.
Aku tidak menjawab membiarkan mereka menebak-nebak apa alasan aku ngojek.
"Gus, bini loe itu cantik sekali ya, bagaimana sih? Bisa dapat istri cantik seperti istri loe itu?" Puji Wira. Pertanyaan itu kerap kali diucap teman-teman. Aku tersenyum kecut, andai saja kecantikan Arin dibarengi dengan tabiat baik, alangkah bahagianya aku.
Siang malam aku bekerja namun tetap saja tidak bisa mencukupi kebutuhan Arin. "Jika terus begini lebih baik kita cerai!" Bentak Arin.
"Oeekk... oeeekk..."
Aku mendengus kesal meninggalkan Arin yang sedang marah besar. Segera menenangkan Jesi yang sedang menangis menjerit-jerit mendengar suara Arin.
Hingga usia Jesinta satu tahun pertengkaran kami terus terjadi hingga puncaknya, Arin membenahi pakaian.
"Mau kemana kamu Arin?" Tanyaku berdiri di depan wanita yang sudah banyak menyakiti hati aku itu.
"Pergi, aku tidak tahan hidup susah sama kamu!" Ujarnya seraya menenteng tas.
"Arin, tunggu Arin. Please... jangan pergi, kasihan anak kita, masih membutuhkan kasih sayang kamu." Pintaku mengemis.
"Masa bodo!" Ketus Arin mendorong tubuhku yang sedang merangkul lututnya. Namun, Arin tetap pergi tidak mau menoleh lagi.
Berhari-hari aku mengurus Jesi seorang diri. Aku pandangi anak yang tidak berdosa itu sedang tidur pulas setelah aku suapi bubur yang aku masak sendiri. "Anaku yang malang menjadi korban keegoisan ibunya."
Aku berdiri dari tempat tidur lalu keluar kamar duduk di teras sambil berpikir langkah apa yang akan aku ambil. Tidak mungkin hanya diam di rumah mengasuh Jesi. Jika begini terus bagaimana bisa memberi makan Jesi?
Ibu. Ya, hanya Ibu yang bisa membantu aku.
Keesokan harinya dengan mengendarai harta satu-satunya yaitu motor. Aku meluncur ke rumah Ibu bersama Jesi yang aku gendong di depan. Hingga tiba di rumah kecil peninggalan Bapak. Disinilah Ibu hanya tinggal seoarang diri. Kedua kakak perempuan aku dibawa suaminya masing-masing.
"Kan, apa Ibu bilang Gus, jangan menikahi Arin, tapi kamu ngeyel!" Semprot Ibu ketika aku mengutarakan niat menitipkan Jesi. Ibu memang melarang aku menikahi Jesi, mungkin Ibu sudah bisa menilai sejak aku memperkenalkan Arin dulu.
"Bu, hanya Ibu yang bisa aku mintain tolong." Ucapku merasa bersalah. Mungkin ini karma karena aku dulu membantah Ibu dan membela Arin.
"Iya Gus, kamu pikir Ibu tega melihat cucuku tidak terurus." Jawab Ibu lalu menggendong Jesi, menciumi pipinya. Air bening jatuh di pipi Ibu. Aku tidak tega menatap nya.
"Mulai sekarang kamu tidak boleh kontrak rumah lagi Gus, tinggal saja di rumah ibu. Lagian kan Ibu hanya sendirian di rumah ini. Kamu kalau mau kerja, kerja saja, serahkan Jesi kepada Ibu."
"Terimakasih Bu."
Begitulah sambil berjualan warung kecil memang itu kesibukan Ibu, Jesi di rawat Ibu. Semua gajiku aku serahkan kepada Ibu. Ternyata jika benar cara mengelola uang, gajiku cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan Ibu menyisihkan uang seharga uang kontrakan tanpa aku tahu.
Tujuh tahun kemudian.
"Gus, ini uang yang seharusnya untuk bayar kontrakan, Ibu sisihkan untuk tabungan kamu Nak." Kata Ibu menyerahkan uang satu kaleng biscuit yang di ikat-ikat dengan karet.
"Bu... uang ini untuk keperluan Ibu saja." Ucapku menatap wajah tua dan keriput sedang menghitung uang.
"Buat apa Ibu? Ibu sudah tua Gus, uang ini lebih baik untuk kamu kuliah saja Nak, biar kamu ada kemajuan tidak hanya menjadi pekerja proyek terus."
Aku terharu menatap Ibu, dan apa salahnya mengikuti saran beliau. Akhirnya aku kuliah malam. Begitulah hari-hari ku fokus mengurus Jesi, bekerja, kuliah banyak wanita yang jatuh cinta kepadaku tetapi hatiku serasa tertutup dengan kata wanita. Padahal Ibu kerap kali membujuk agar aku mencari Ibu untuk Jesi.
Hingga tiba saatnya lulus kuliah dan mendapat gelar insinyur. Baru selesai wisuda aku sudah ditawari dosen pembimbing. Bekerja membangun rumah keluarga Ganendra. Namun, bukan sebagai kuli bangunan lagi melainkan membuat desain rumah dan merangkap menjadi pengawas. Mulai saat itu aku sering mendapat pekerjaan di luar kota.
Setelah Jesi SMP, Ibu tercinta sudah meninggal. Jesi kerap kali aku tinggal sendirian di rumah hingga sering kesepian. Tetapi sebisa mungkin aku komunikasi. Jika Jesi libur sekolah aku sering ajak keluar kota.
Rumah mewah komplek mekar sari dan tanahnya yang luas alhamdulillah, mampu aku beli dan mengajak Jesi pindah.
Hingga tiba saatnya ketika Jesi sudah SMA kelas satu. Aku di tawari mendesain rumah yang sudah reot atas perintah Tuan Bima. Di situlah aku bertemu Ningrum ternyata rumah yang aku desain adalah miliknya. Wanita yang ketus ketika bicara tetapi sebenarnya baik itu telah mengisi ruang hatiku yang sudah bertahun-tahun kosong.
Bukan hal yang gampang untuk mendapatkan Ningrum. Wanita yang rajin dan gemar memasak itu sering aku ajak bekerja. Selama satu tahun kebersamaan kami hati Ningrum bisa aku gapai. Kami sepakat menikah dan Jesi pun dengan senang hati menyetujui.
"Jesi senang Ayah... akhirnya doaku terkabul, Ayah mau memberi aku Ibu setelah sekian lama," Ujar Jesi. Kami pun berpelukan.
Saat pernikahan kami kurang seminggu dan segala sesuatu nya sudah siap. Tidak aku sangka ternyata Arinta datang ke rumahku setelah 17 tahun meninggalkan aku dan Jesinta.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
LENY
WANITA JALANG ARIN MAU BALIK KRN AGUS SDH KAYA. DASAR IBLIS
2025-04-09
0
neng ade
ternyata si Aron yg salah cuma sayang nya Agus tak pernah jujur ceritakan tentang diri nya dan Jesi serta si mantan dan sayang nya juga si Agus laki2 yg lemah pendirian dan plin plan .. andai dia bisa tegas sm Aron ga mungkin kejadian seperti ini .. enak aja sih itu perempuan udah 17 thn ninggalin eh .. tiba2 balik lagi
2024-10-30
0
Erina Munir
ohh...begitu ceritanyaa
2024-01-16
0