"Emak..." Terdengar suara Ratri bersamaan dengan pelukan di dadaku, ketika aku masih tidur pulas. Aku memang nyenyak, sebab selama satu bulan tidak pernah tidur tenang seperti sekarang. Aku membuka mata ternyata sudah pagi. Karena di luar adzan subuh sudah berkumandang.
"Ratri..." Ucapku. Tanganku merangkul badan putriku seerat mungkin. Aku bersyukur bisa memeluk putriku lagi. Padahal kemarin aku sempat berpikir bahwa aku akan mati di rumah Arin karena terus jantungan pikiranku selalu was-was.
"Emak kemana saja... hu huuu..." Ratri menangis tergugu.
"Seeettt... sudah... Mak nggak apa-apa kok." Aku usap-usap rambutnya.
"Emak yakin tidak apa-apa?" Tanya Ratri lalu mengangkat kepala menatap aku sendu. Aku menggeleng sambil tersenyum menyembunyikan luka hati ini agar anakku jangan sampai tahu.
"Mak baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan kamu?" Aku balik bertanya. Kami akhirnya duduk di tengah ranjang berdua saling berhadapan.
"Nomer handphone Mak kenapa, kok nggak aktif? Padahal aku kangen. Jadi aku memutuskan pulang?" Tuturnya lalu ia angkat telapak tangan aku, menciumnya tiada henti.
"Handphone Mak rusak, nanti Mak akan ceritakan semua sama kamu sayang... tetapi kita shalat dulu," Aku melipat selimut milik Ratri.
"Oh iya Mak, kenapa Mak nggak bobo sama Bapak, kok malah tidur disini?" Cecarnya menyelidik.
"Nggak boleh ya, Mak bobo sama kamu, Mak kan kangen" Aku pura-pura cemberut.
"Boleh Mak... bukan begitu maksudnya." Ratri menempelkan kepalanya manja di pundakku.
"Heemm... anak Mak sudah 23 tahun, sudah waktunya punya suami, tetapi masih manja," Candaku tetapi aku ingin anakku tetap manja seperti sekarang.
"Aahh Emak... aku masih ingin seperti ini," Rengeknya lalu merangkul pundak.
"Oh iya, kamu pulang ke Jakarta pasti ingin kasih tahu Mak. Kalau putri Emak sudah ada yang ingin melamar?" Tanyakan menghibur karena Ratri masih misek-misek menangis.
"Ah Emak, ya nggak lah,"
"Memangnya kamu belum punya pacar?" Kali ini aku bertanya serius.
"Belum ada yang cocok Mak. Mak jangan mengalihkan pembicaraan deh, ada masalah apa Mak dengan Pak Agus?" Desak putriku.
"Sudahlah... sekarang kita shalat," Aku turun dari ranjang tidak mau membahas masalah ini dulu.
Ratri kali ini menurut, ia segera ke kamar mandi yang berada di kamar ini. Sementara aku ke bawah ke kamar mandi dapur. Di dapur mbok Sri sedang memasak.
"Mbok Sri memasak? Memang di kulkas ada sayuran?" Tanyaku.
"Kulkasnya penuh Bu, tapi buat sarapan saya hanya mendadar telur," Jawab mbok.
"Iya Mbok" Aku membuka kulkas ternyata benar, kulkasnya penuh. Ini pasti anakku yang belanja. Aku tersenyum kini Ratri sudah dewasa.
"Lanjut ya Mbok, saya mandi dulu." Aku menutup kulkas.
"Iya Bu"
Aku pun kembali ke niat awal, yakni mandi di dapur. Setelah mandi terpaksa ke kamar, karena harus ganti baju. Walaupun sebenarnya malas bertemu Mas Agus.
"Ningrum..." Sapa Mas Agus terkejut ketika aku masuk ke kamar. Aku sama sekali tidak menatap pria yang baru saja bangun tidur itu.
Aku membuka lemari, tetapi susunan baju berubah, yang awalnya di bawah pindah ke atas, begitu juga sebaliknya, seperti ada yang menata ulang.
"Ningrum, kamu kemana saja?" Tanya Mas Agus. Ia sudah berdiri di belakang aku. Aku sama sekali tidak menyahut, apa lagi menoleh. Entah pura-pura tidak tahu, atau memang tidak tahu keberadaan aku selama satu bulan ini hanya Agus yang tahu.
Setelah mendapatkan baju yang aku cari, aku berdiri. Tidak sengaja tatapan aku tertuju pada alat penyangga kaki yang di gunakan Mas Agus. Aku terkejut sebenarnya ingin bertanya kenapa Mas Agus. Apakah Dia memang benar tabarakan, tetapi rasa marah aku mengalahkan rasa kasihan aku.
Aku hendak keluar sambil membawa baju ganti dan mukena.
"Rum... apa tidak sebaiknya kita shalat bareng," Katanya menghentikan langanku ketika aku hendak membuka pintu. Tanpa sengaja air mata aku menetes. Ajakan shalat itu memang Mas Agus imamku seperti yang dulu. Tetapi kata-katanya saat membela Arin selama dua bulan aku menjadi benci.
Aku lanjutkan langkahku keluar sambil menyusut air mata.
"Ratri, kamu sudah shalat?" Tanyaku ketika aku tiba di kamar Ratri.
"Belum Mak, baru selesai mandi,"
Aku duduk di sadjadah menunggu Ratri salin baju.
"Mak nggak shalat bareng Pak Agus?" Tanya Ratri sambil menggelar sadjadah.
"Bapak masih tidur," Jawabku berbohong.
"Masa sih Mak, biasanya Bapak kalau bangun lebih pagi dari kita," Ratri tidak percaya jawaban aku.
"Sudah... kalau kita ngomong terus... kapan kita shalat." Potongku.
Kami pun akhirnya shalat. Selesai shalat Ratri salim tangan kemudian kembali ke ranjang. Sementara aku membaca doa. Banyak sekali yang aku doakan. Almarhum orang tua, tentang rumah tangga aku, dan juga tentang Ratri. Kemudian aku kembali ke ranjang menyusul Ratri yang sedang main handphone. Begitu aku ikut naik ke atas ranjang Ratri meletakkan benda tersebut.
"Ratri... kenapa Arga bisa menjemput Emak?" Tanyaku penasaran.
"Sebelum aku jawab, Mak sebenarnya selama sebulan ada dimana?"
"Kamu ini ditanya malah balik nanya." Aku hanya menggeleng, terlalu berat jika hal ini aku ceritakan kepada Ratri.
"Sekarang jawab Emak, kenapa kamu malah bertanya."
"Ceritanya panjang Mak, karena Emak susah di hubungi. Aku merasa khawatir lalu pulang ke kesini. Tetapi ketika tiba di rumah ini Mak nggak ada. Aku syok Mak. Karena dua wanita yang tidak aku kenal yang membuka pintu, kalau nggak salah namanya Jesinta dan Arinta."
"Arin dan Jesinta?" Tanyaku memotong. Berarti saat aku pergi satu bulan yang lalu mereka tinggal di rumah ini. Kurangajar Arin! Aku mengepal.
"Iya Mak, sudah gitu... ngeselin lagi, rumah Emak seperti kapal pecah. Dan anehnya kamar kita di gunakan untuk menyimpan baju mereka. Sedangkan pakaian aku di simpan di kardus. Terus baju Emak di simpan di kamar Mbok Sri," Adu Ratri kesal.
"Lalu, setelah kedatangan kamu apakah mereka tetap tinggal disini?" Tanyaku lagi.
"Nggak Mak, sejak tiga hari yang lalu mereka tidak kembali. Bajunya sekarang aku simpan di gudang."
Aku menarik napas berat, berarti Arin memang nekat ingin menguasai rumahku. Lalu kemana Jesinta? Jangan-jangan anak itu di jadikan pekerja s*x juga. Astagfirullah... mudah-mudahan Arin tidak setega itu, jika benar aku kasihan kepada Jesi.
"Terus Nak" Ucapku setelah kami saling diam.
"Ketika aku mau beres-beres menemukan buku harian milik Emak. Aku baca tulisan Emak sampai selesai. Saat terakhir Mak menulis hendak ke rumah sakit, aku bingung Mak, ternyata Mak pergi sudah satu bulan.
"Tidak ada jalan lain kemarin itu, selain aku menemui Papa bagaimana caranya mencari Emak. Lalu Papa menyuruh Mas Arga mencari dan ternyata Arga bisa membawa Mak pulang. Aku seneng... Mak." Tutur Ratri lalu memeluku erat.
Ratri menceritakan tentang buku harian yang aku tulis. Ternyata ada gunanya juga aku menulis buku. Jika tidak mungkin aku sampai saat ini belum kembali.
"Terus, kamu belum cerita tentang Pak Agus" Aku tidak sabar.
"Langkah terakhir, aku dan Mas Arga mencari Pak Agus Mak, dan aku menemukan di kontrakan, kecil,"
"Bapak tinggal di kontrakan?" Aku terkejut. Ada apa lagi ini.
"Iya Mak, terus... keadaannya menyedihkan, makanya aku ajak Pak Agus tinggal disini," Papar Ratri ketika Mas Agus tinggal di kontrakan mau makan saja susah. Ya Allah... berarti Mas Agus waktu itu memang benar kecelakaan.
Tidak terasa sudah jam tujuh aku ngobrol dengan Ratri. Lalu simbok memanggil kami agar sarapan.
Saat aku dan Ratri sudah duduk di meja makan, Mas Agus keluar dari kamar berjalan pincang dengan tongkat tidak terasa air mataku jatuh.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
neng ade
sekarang tinggal kasus nya si Arin dan keberadaan Jesinta
2024-10-29
0
mom mimu
pak Agus masih penuh misteri nih...
2023-06-02
0
Nur Hidayah
Masih banyak misteri dari pak Agus dan Arin?
2023-06-02
0