Aku bersama Arga mencari celah agar bisa melihat ke halaman rumah pak Agus, tetapi memang benar-benar rapat. Mencari bel pun tidak ada.
Tek tek tek.
Aku mengetuk pintu gerbang dengan uang koin hingga beberapa kali tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ada penghuni di rumah ini.
"Bagaimana ini Mas? Masa kita memanjat pagar sih?" Tanyaku agak ngawur karena kesal.
"Bisa-bisa kita di tangkap satpam, karena dikira pencuri, Tri," Jawab Arga. Saat sedang kebingungan pria paruh baya yang sedang bersepeda melewati jalan itu.
"Permisi Pak, saya mau tanya, pemilik rumah ini apa sedang tidak ada di rumah ya?" Tanyaku.
"Saya juga tidak tahu Mbak, soalnya rumah ini memang selalu rapat begini," Jawab bapak.
"Oh gitu ya, terimakasih Pak." Jawabku.
Deeerrtt dreeettt...
Lagi-lagi handphone aku berbunyi. "Mas, aku angkat telepon sebentar ya," Ucapku, agar pembicaraanku tidak terdengar Arga, aku lebih baik menjauh.
"Angkat saja." Jawab Arga. Pria itu masih memindai gerbang. Tampak sedang berpikir sesuatu. Yah mudah-mudahan saja, Arga punya solusi.
"Ratri, aku sekarang sudah di rumah kamu." Suara pria di telepon siapa lagi jika bukan Hendri rekanku.
"Memang sudah bertemu Papa Kak?"
"Sudah... aku baru saja pulang dari kantor Papa kamu. Cepat pulang ke rumah ya, aku tunggu."
Tut.
Aku berdecak kesal belum juga aku jawab, telepon sudah ditutup. Aku memasukkan handphone kemudian kembali mendekati Arga yang masih di depan pagar.
"Telepon dari siapa Tri?" Tanya Arga ingin tahu.
"Dari rekan bisnis aku Mas, Dia Hendri dari Suraya."
"Hendri Wicaksono. Kan?" Tanya Arga, rupanya pria itu mengenalnya.
"Kok Mas tahu," Aku menyipitkan mata.
"Kamu ini bagaimana sih? Hendri kan sering janji bertemu Papa kamu, sudah pasti aku yang mengatur pertemuan itu," Tutur Arga.
Aku mengangguk benar juga apa yang ia katakan. Mengapa aku menjadi bodoh karena banyak memikirkan Emak.
"Rekan bisnis, apa rekan bisnis..." Arga menaik turunkan alis. Terkekeh menggodaku mungkin Arga pikir Hendri itu teman dekat aku.
"Ya memang rekan bisnis Mas, memangnya siapa." Aku hanya menjeb saja.
"Mas.... sebaiknya kita pulang dulu ya, nanti balik lagi," Aku mengalihkan pembicaraan. Lagi pula tidak ada yang bisa kami lakukan di tempat ini. Mungkin aku harus minta saran papa, bagaimana caranya agar bisa masuk ke rumah ini.
"Ya sudah, nanti sore kita kemari lagi, siapa tahu Bapak tirimu sudah kembali."
"Iya Mas" Kami pun kembali pulang, tidak ada hasil yang aku bawa sejak pagi hingga siang ini. Mungkin nanti sore, aku harus sabar. Setidaknya sudah mengetahui tempat tinggal Pak Agus.
"Ratri, kamu kemana saja?" Tanya Hendri ketika aku tiba di rumah. Dia sudah ngobrol bersama papa. Aku segera bergabung duduk berhadapan dengan papa dan Hendri.
"Ada urusan Kak," Jawabku. Aku mengedipkan mata kepada papa agar jangan mengatakan kemana kepergianku hari ini, terlebih masalah Emak. Padahal tanpa aku beri tahu pun, papa tidak mungkin bicara, apa lagi intern keluarga.
"Kok bisa bersama Arga?" Tanya Hendri menatap Arga yang baru saja masuk, setelah memasukkan mobil ke ke garasi. Ngapain sih Hendri, sampai ingin tahu begini. Apa dia tidak tahu jika Arga itu asisten papa, apa salah jika ia mengantar aku kemana-mana.
"Saya diutus Tuan Daniswara agar menemani Non Ratri Tuan," Jawab Hendri diplomamatis.
"Ratri, urusan bisnis aku dengan Papa kamu sudah selesai, besok pagi aku akan kembali ke Jawa timur. Kamu besok bareng aku ya" Ajak Hendri tanpa menggubris jawaban Arga.
"Ratri sepertinya masih agak lama disini Hen, belum hilang rasa kangen saya," Papa akhirnya yang menjawab.
"Benar apa kata Papa Kak, Kak Hendri pulang saja dulu, mungkin saya di Jakarta agak lama." Tegasku, menyambung obrolan Papa.
Hendri pun akhirnya kembali ke hotel, besok pagi baru akan pulang ke Surabaya.
Usai Hendri pergi, kami membicarakan tentang keadaan rumah pak Agus dan aku minta saran papa.
Setelah ashar aku bersama Arga kembali lagi. "Mas, nanti kalau masih tidak ada yang membuka gerbang bagaimana?" Tanyaku rasanya putus asa.
"Kalau sekarang tidak ada yang membukakan pagar juga, sesuai rencana Papa kamu. Nanti malam saya akan berusaha masuk ke rumah itu menyelidiki, tetapi sebaiknya kamu tidak boleh ikut." Jawab Arga.
"Iya Mas, tetapi itu terlalu beresiko," Aku merasa was-was.
"Serahkan pada saya, saya tidak sendiri kok." Arga meyakinkan. Benar saja ketika sampai di depan rumah pak Agus sudah satu jam tidak ada yang membuka, kami memutuskan untuk pulang mengikuti saran papa.
Ketika kami sudah keluar dari komplek perumahan mekar sari, dan tiba di jalan raya. Perhatianku tertuju kepada pria berjalan pincang yang baru saja keluar dari salah satu warung penjual nasi rames, tampak tulisan di etalase. Pria itu jalan menggunakan tongkat kruk di pegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanan menenteng kantong plastik.
"Mas, pelankan mobil" Saranku, ketika pria itu berjalan ke arah kami. Aku membuka kaca untuk meyakinkan pria yang tidak asing di penglihatan aku.
"Mas, itu pak Agus." Ujarku antara percaya dan tidak.
"Kamu salah orang kali," Sanggah Arga. Aku menyipitkan mata ternyata memang benar itu pak Agus. Beliu belok masuk ke dalam gang.
"Mas, parkirkan mobil dulu, kita ikuti pria itu."
"Baiklah," Arga parkir di depan ruko-ruko. Cepat-cepat kami turun. Aku berjalan lebih dulu meninggalkan Arga agar jangan sampai kehilangan jejak pak Agus.
Aku masuk gang yang pak Agus lalui, alhamdulillah... beliau masih terlihat. Dari jarak yang agak dekat aku mengikuti. Ketika pak Agus menoleh segera aku balik badan, agar jangan melihat aku dulu sebelum sampai tujuan.
Perlahan aku putar tubuhku ternyata pak Agus sudah tidak ada. Ya Allah... aku takut kehilangan jejak.
"Dia belok kiri, ayo." Arga menarik tanganku, setengah berlari kami berjalan melewati gang yang sama sempitnya seperti gang di rumah Emak. Hanya bedanya, yang tinggal di gang aku rata-rata rumah sendiri, tetapi di tempat ini kebanyakan kontrak.
"Itu Dia Mas." Kataku. Alhamdulillah... rupanya pak Agus belum jauh. Wajar, karena mengenakan tongkat jalanya tidak bisa cepat.
Pak Agus berhenti di depan kontrakan petakkan sekitar ada lima pintu berjejer ukuran 3 meter. Pak Agus menyenderkan tongkat di tembok kemudian membuka kunci.
Ceklak Ceklak.
"Pak Agus?"
Pluk!
Ketika pak Agus menoleh ke belakang melihatku seperti melihat setan. Beliau tampak pucat, plastik yang di pegang jatuh.
"Pak" Aku ambil plastik bagusnya makananya tidak tumpah.
"Ratri..." Bibir Pak Agus bergetar. Aku menatap pria yang dulu kekar dan gagah. Kini tampak lebih kurus membiarkan rambut dan kumisnya panjang tidak di potong.
"Pak, boleh kami masuk?" Tanyaku.
Pak Agus mengangguk lalu Arga memapah pak Agus tanpa tongkat.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rahma AR
semangat
2023-06-15
0
Nur Hidayah
Kemana mak Ningrum?
2023-05-26
1
mom mimu
semoga pak Agus gak tutup2i keberadaan Mak Ningrum...
2023-05-23
1