Aku harus menyelidiki apa sebenarnya yang menimpa Emak, setelah kepergian aku. Apa salah jika aku berburuk sangka kepada pak Agus, karena terakhir aku tinggalkan, Emak bersamanya.
Aku hapus air mataku, lalu membuka lemari pakaian. Mencari sesuatu yang bisa aku jadikan bukti. Oh iya, aku ingat. Emak gemar sekali menulis, entah berkhayal membuat cerpen kala senggang, atau menulis tentang kisah pribadinya di buku harian.
Sroook...
Aku buka laci kesatu tidak ada, kedua, dan ketiga. Buku selebar telapak tangan tetapi tebal mirip buku saku, aku ambil membuka lembaran pertama.
PoV Ningrum.
Sah, sah, sah.
Aku tidak percaya, setelah usiaku tidak muda lagi mempunyai suami tampan seperti Mas Agus.
"Ningrum." Kata Mas Agus mencium bibirku, kemudian menyelipkan cincin.
Aku tersipu malu kepada pria yang baru sah menjadi suamiku ini. Dan juga malu kepada kerabat dekat yang menjadi saksi pernikahan aku.
Sebenarnya Mas Agus akan mengadakan resepsi. Namun aku menolak, rasanya tidak pantas pernikahan seusiaku dirayakan.
"Terimakasih Mas," Jawabku. Lalu aku sungkem kepadanya.
"Selamat Mak, semoga pernikahan Emak langgeng dan jangan lupa segera beri aku adik." Ujar Ratri Putriku. Aku malu mendengar ucapan putriku. Apa iya? Usiaku yang sudah menginjak 50 tahun bisa mempunyai anak.
"Terimakasih sayang... kamu yang harus segera menikah dan memberi Emak cucu," Jawabku. Setelah Dia mencium pipiku.
"Doakan lulus kuliah dengan nilai bagus Mak, baru nanti aku memikirkan pacar," Tegas Gayatri.
"Pasti dong sayang..." Jawabku. Setelah Ratri bergeser, tergantikan Gendis di ikuti Bima suminya di belakang yang mengucap selamat.
"Selamat Mak, aku senang, setelah sekian lama Emak akhirnya mendapatkan jodoh yang baik seperti Pak Agus," Ucap Gendis, ia menangis memeluku.
"Jangan menangis sayang..." Aku usap bahu Gendis yang menangis di pelukan aku. Walaupun sebenarnya aku juga menangis, ingat perlakuan aku dulu, kepada putri Banuwati yang lemah lembut ini. Namun Gendis tidak pernah membalas perlakuan aku. Hingga anak ini mendapat balasan yang setimpal. Punya orang tua harmonis, mertua yang sayang padanya, terlebih suami seperti Bima yang sayang mencintai dirinya.
"Mak... aku sama Gendis senang, sekarang Mak Ningrum sudah ada yang menemani. Ijinkan saya mengajak Gendis mengurus perusahaan kami yang baru ya, Mak." Kali ini Bima yang bicara setelah Gendis.
"Baiklah Bima, jaga anak Emak." Jawabku pendek. Bima akan mengajak Gendis ke luar negeri. Mengurus perusaahan yang Bima rintis sendiri bukan pemberian orang tuanya.
"Pak Agus, titip Emak. Jaga dengan baik," Pesan Bima kepada Mas Agus.
"Jangan khawatir Bima, semoga kalian sukses," Jawab Mas Agus.
Secara bergantian mereka mengucap salam. Banuwati mama Gendis bersama suami, yakni Daniswara. Seruni dan Ganendra orang tua Bima dan juga kerabat dekat yang lain.
"Ningrum, setelah Ratri Wisuda minggu depan, ijinkan Dia mengurus perusahaanya di kota S" Kata Daniswara.
"Saya bagaimana Ratri saja Tuan, yang penting Ratri senang, saya akan selalu mendukung." Jawabku. Daniswara tampak lega. Pria itu rupanya sudah ingin pensiun. Nyatanya perusahaan yang di Jakarta sudah di serahkan kepada Gendis, kemudian yang di kota S, kepada putriku.
Aku senang semuanya berkumpul di rumahku. Rumah peninggalan kedua orang tuaku di sulap Bima menjadi rumah bagus, berlantai dua walaupun mobil tidak bisa masuk. Orang seusiaku sudah tidak memikirkan itu.
Diantara tamu yang datang tidak ada satupun keluarga suamiku yang hadir. Sebelum kami menikah, Mas Agus pernah cerita jika mempunyai anak perempuan, padahal aku meminta agar Mas Agus mengundangnya kesini. Namun menurut Mas Agus, anaknya tidak mau.
Seperti ada rahasia yang Mas Agus sembunyikan dari aku tentang keluarganya, tetapi hanya Mas Agus yang tahu.
Jika aku menanyakan tentang mantan istri Mas Agus. Mas Agus selalu menjawab. "Jangan bahas wanita itu lagi." Tegasnya. Semenjak itu aku tidak pernah bertanya lagi.
Semua tamu mencicipi hidangan sambil ngobrol panjang lebar hingga sore para tamu membubarkan diri.
Aku segera mandi sore, tubuhku terasa segar dan enteng. Tiba di kamar, Mas Agus yang masih mengenakan blangkon sudah merebahkan tubuhnya di kasur. Aku kaget, sebab baru kali ini Mas Agus masuk ke kamar aku. Namun tampaknya pria itu tidak ada rasa canggung lagi.
"Mas Mandi dulu gih," Perintahku segera aku duduk di depan kaca menyisir rambut.
"Ningrum..." Ujar Mas Agus. Entah kapan bangunya, tiba-tiba ia sudah merangkul aku dari belakang. Jantungku berdetak lebih cepat ketika tangan kekarnya melingkar di perut.
"Mas mandi dulu... bau keringat ih, aku sudah wangi." Kilahku, padahal Mas Agus aromanya wangi. Hanya rasanya aku masih belum siap jika Mas Agus meminta haknya sore ini juga.
Cup!
"Okay... aku mandi." Ujarnya. Setelah mencium kepalaku ia segera membuka blangkon dan lain sebagainya hingga menyisakan kaos dan celana pendek.
Segera aku keluar, lagi-lagi masih malu melihat anggota tubuh suamiku. Mungkin saat ini Mas Agus sedang mandi.
Tiba di luar kamar Mbok Sri dan Gayatri sedang merapikan tikar bekas para tamu.
"Mak, Pak Agus sudah ke kamar?" Tanya Ratri sambil menggulung karpet.
"Sudah, kenapa memang?" Aku balik bertanya.
"Tadi kan Pak Agus menanyakan kamar Emak, terus aku antar kesana.
Pantas, Mas Agus sudah tahu kamarku, ternyata bertanya kepada Ratri.
Malam harinya kami sudah berada di kamar berdua. Mas Agus segera meminta haknya, dan tidak hanya sekali melakukan. Malam itu sampai tiga kali.
Hari demi hari rumah tanggaku bersama Mas Agus adem ayem. Kami saling rukun hingga pernikahan aku berjalan dua bulan putriku berangkat ke kota S.
Namun, akhir-akhir ini. Mas Agus sering mendapat tawaran pekerjaan keluar kota. Padahal baru di rumah sehari, Mas Agus besok sudah akan berangkat lagi. Aku merasa sepi, karena ditinggal hingga berhari-hari.
"Mas... besok aku ikut keluar kota ya, aku sepi Mas, di rumah sendiri. Ratri kan sudah nggak ada," Kataku. Hingga beberapa menit Mas Agus tidak menyahut.
"Jika aku ikut, aku juga bisa ikut bekerja kan Mas, dapat duit." Pintaku.
"Kalau alasan kamu ikut ingin mendapat duit, memanag uang yang aku kasih tidak cukup?" Tanya Mas Agus serius.
"Cek! Bukan begitu Mas, kok malah baper sih..." Aku sedikit kesal.
"Boleh saja, kalau kamu tidak capek, bagus juga ide kamu. Kita jadi selalu bersama." Jawab Mas Agus.
"Benar Mas," Aku tersenyum senang lalu memeluknya.
Seperti biasa malam ini, Mas Agus menghabiskan malam bersamaku. Wajar seminggu tidak bertemu. Keesokan harinya, aku ikut Mas agus keluar kota.
Semenjak saat itu, kemanapun Mas Agus kerja aku selalu diajak. Walaupùn kadang tidur dimana saja, tetapi aku senang.
Aku juga mendapat uang dari hasil keringatku. Walaupun tiap bulan Ratri selalu mengirim uang ke rekening aku. Tetapi biar saja uang itu aku gunakan jika aku sudah tidak mampu bekerja.
Aku senang, Ratri dan Gendis selalu telepon aku, kami selalu komunikasi via telepon.
Hingga suatu ketika, Mas Agus mendapat tawaran pekerjaan di Jakarta. Mengawasi pembangunan apartemen dalam jangka waktu yang lama. Kami tinggal di rumah aku lagi seperti dulu. Tetapi selama di Jakarta, sikap Mas Agus sedikit berubah banyak diam.
"Mas... kenapa sih, aku perhatikan akhir-akhir Mas Agus sering melamun?" Tanyaku penasaran.
"Rum, besok kita pindah ke rumah aku ya," Ajaknya tiba-tiba.
"Ke rumah Mas, dimana?" Tanyaku. Karena selama menikah sudah hampir 5 bulan, Mas Agus belum pernah bercerita tentang tempat tinggalnya.
"Di jakarta juga kok, tidak jauh,"
"Kenapa harus pindah sih Mas, kalau sama-sama tinggal di Jakarta, apa salahnya tinggal disini." Saranku.
"Cek! Aku ini laki-laki Rum, masa mendompleng terus menerus sama kamu." Wajahnya berubah kesal. Sampai aku takut, padahal selama ini Mas Agus tidak pernah marah.
"Iya, iya... aku mau ikut kemana suami aku pergi." Aku mengalah.
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
neng ade
belum terkuak awal mula emak nya Ratri tak pulang2 ke rumah nya sendiri
2024-10-29
1
🌷💚SITI.R💚🌷
bunaaaa aku baca lg br sempet..udh ketinggalan jauh aku like aja ya no comen bab berikuty
2023-06-26
1
🤗🤗
3 bab dulu
2023-05-21
0