Bab 12

Aku menatap pak Agus yang awalnya bugar, dan selalu menjaga penampilan kini berpakaian lusuh, sungguh prihatin. Rambut tidak disisir seperti gelandangan. Rasa dendamku yang awalnya berkobar kini meredup. Menghadapi kenyataan bahwa keadaan pak Agus yang sekarang bukan pak Agus yang dulu, jika aku menghakimi tentu tidak adil rasanya. Walaupun aku belum tahu apa yang terjadi akan aku tanyakan nanti perlahan-lahan.

"Pak Agus mau makan?" Tanyaku ketika kami sudah tiba di dalam kontrakan tidak ada apapun selain tikar yang di gulung dan satu bantal. Itu artinya tidak ada Mak Ningrum disini.

"Tidak, makanan ini saya beli untuk makan nanti malam." Jawabnya lirih dan tidak mau menatapku seperti menyimpan rasa bersalah.

"Ya sudah, saya simpan dulu Pak..." Aku ambil bungkusan kemudian ke dapur. Niat hati ingin mengambil piring tetapi di dapur tidak ada apapun selain wastavel yang sudah ada dari sananya. Terpaksa membawa lagi makanan ke depan.

"Biar di plasti saja Tri, biasanya bapak sangkutkan di paku itu," Pak Agus menunjuk paku di tembok.

"Iya Pak," Aku sangkutkan ke paku tetapi paku itupun goyang tidak menempel sepenuhnya. Jadi begini keadaan pak Agus. Tidur di tikar, kontrakan tiga ruang kosong semua. Tidak ada fasilitas sama sekali.

"Pak Agus, saya mau tanya, kenapa pak Agus bisa kecelakaan?" Kali ini Arga yang bertanya.

"Motor saya tabrakan dengan mobil dua bulan yang lalu Dek," Jawab pak Agus, mengusap kakinya. Aku dan Arga bersila di depan pak Agus yang duduk selonjor di lantai tanpa alas. Aku perhatikan kakinya susah di tekuk.

"Astagfirrullah... lalu bagaimana keadaan Bapak?"Arga kembali bertanya.

"Sekarang sudah lebih baik, seharusnya masih harus kontrol tetapi..." Pak Agus tidak melanjutkan ucapanya.

"Tidak ada biaya, gitu kan maksud Bapak?" Tanyaku nimbrung. Aku sudah bisa menebak bahwa pak Agus sedang krisis uang dilihat dari keadaan kontrakan.

Pak Agus mengangguk cepat. Aku menatap lekat wajah pak Agus. Banyak sekali pertanyaan yang mengganjal di benak tentang Mak Ningrum, tentang Arin, Jesinta dan masih banyak lagi. Rasanya bingung sendiri untuk memulai bertanya.

"Pak, kemana Emak? Kenapa Bapak disini hanya tinggal sendirian?" Tanyaku memberondong.

"Mak kamu pulang ke rumahnya sebelum Bapak kecelakaan dua bulan yang lalu Nak," Tutur pak Agus

"Tetapi Mak di suruh Arinta, menemui Bapak di rumah sakit, dimana Bapak dirawat." Jawabku menuturkan seperti yang Mak tulis di buku harian. Pikiran buruk bermunculan di kepalaku.

"Apa? Maksudnya, Arin ke rumah Mak, terus mengabarkan bahwa saya kecelakaan?" Tanya pak Agus terkejut.

"Iya Pak, saya pikir Bapak tahu, terus Emak kemana Pak?" Aku mengguncang tangan pak Agus.

"Tenang dulu Tri." Sela Arga.

"Bagaimana saya mau tenang Mas! Emak selama itu tidak ada kabar." Aku langsung menangis.

"Pak, sekarang ceritakan saat kejadian," Kata Arga lembut.

"Dua bulan yang lalu saya ribut besar dengan Emak kamu. Lalu Emak pergi meninggalkan Bapak" Pak Agus manarik napas panjang.

"Bapak merasa bersalah karena sudah menyakiti hati Mak kamu." Gurat penyesalan tergambar jelas di wajah Pak Agus.

"Selama tiga hari Bapak selalu melamun, hingga sore itu ketika pulang kerja terjadi kecelakaan. Saya tidak ingat apa-apa lagi Nak. Selama tiga hari Bapak baru sadar, dan ketika bangun tidak ada siapapun yang menemani." Pak Agus tampak menatap kosong ke depan.

"Selama bapak di rawat, hanya Jesi yang menemani, itupun hanya sore hari karena pagi harus sekolah." Tutur pak Agus tertangkap beban berat yang beliau pikul.

"Tetapi saya membaca buku harian Emak, setelah diberi tahu Arin bahwa Bapak kecelakan, Mak menuju rumah sakit Pak," Aku menjelasakan.

"Saya juga heran Nak, kenapa Arin sampai tahu tempat tinggal Emak kamu, padahal Bapak tidak pernah memberi tahu alamatnya." Jujur pak Agus.

"Maaf Pak, saya mau tanya, siapa Arin?" Tanya Arga.

"Arinta itu, mantan istri saya Dek."

"Jika memang Arin adalah mantan istri Bapak, kenapa Bapak mengajak Mak Ningrum tinggal bersama?" Aku nyambung pertanyaan Arga.

Bapak hanya diam rupanya beliu berat untuk bercerita. Arga mengedipkan mata kepadaku seolah berkata "Jangan terlalu dicecar"

"Okay... kalau Bapak belum mampu cerita, tetapi kenapa Bapak bisa kontrak di tempat ini? Kenapa Bapak tidak tinggal di rumah Bapak sendiri?" Aku tanyakan masalah ini dulu, untuk bahan penyelidikan keberadaan Emak. Benar juga kata Arga, aku tidak mau memojokkan pak Agus tentang pribadinya saat kondisinya seperti sekarang.

"Itulah Nak, yang membuat saya bingung. Ketika saya hendak pulang dari rumah sakit, tidak ada yang menjemput. Jesinta pun sudah seminggu tidak menjenguk saya lagi. Saya diantar ambulan pulang. Tetapi ketika tiba di rumah, tidak bisa masuk ke rumah saya sendiri. Saat itu saya bingung mau kemana, tabungan saya sudah habis untuk berobat. Mau pulang ke rumah Emak kamu, tetapi saya malu setelah apa yang sudah saya perbuat kepada Ningrum." Pak Agus menyusut air mata nya.

"Lalu Bapak mendapat uang darimana untuk membayar kontrak rumah ini?" Tanyaku.

"Kontrakan ini supir ambulan dan perawat yang membayar, karena mereka tidak tega lantas patungan. Sedangkan untuk makan setiap hari saya hanya mendapat belas kasihan orang-orang yang selama ini mengontrak." Pak Agus tampak prustasi.

Mendengar penuturan Pak Agus, aku menangis sesegukan. Ternyata bapak tiriku begitu menderita.

"Sekarang juga, Bapak harus pulang tinggal di rumah Emak." Tegasku.

"Tidak Nak, Bapak tidak pantas lagi kamu tolong. Saya sudah jahat sama Mak kamu." Tolak pak Agus.

"Jika Bapak menolak, lalu Bapak mau minta makan sama orang lain? Bapak pikir saya anak yang tidak punya perasaan!" Sungut ku.

Bapak hanya diam.

"Sudah. Bapak sekarang ikut saya tidak boleh menolak." Tegasku.

"Ratri..." Pak Agus pun menangis seperti anak kecil. Beberapa saat kami membiarkan. Ketika sudah reda Arga membantunya berjalan ke mobil setelah kami pamit kepada penghuni kontrakan dan juga pemiliknya.

Aku mengajak pak Agus tinggal di rumah. Sungguh tidak manusiawi jika aku membiarkan pria yang Emak cintai dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Pak Agus tidur di kamar Emak seperti dulu. Saat ini aku belum menceritakan jika Arin dan Jesinta kemarin tinggal di rumah ini. Entah kemana perginya dua wanita itu, yang jelas. Aku berharap mereka jangan pernah kembali lagi.

Aku segera menghubungi Mbok Sri, biar bapak ada yang merawat. Mbok Sri janji besok pagi baru akan datang.

"Pak Agus, hilangnya Mak Ningrum, sepertinya ada kaitanya dengan Arinta mantan istri Bapak. Apakah boleh jika saya meyelidiki rumah Bapak?" Ijin Arga. Saat ini kami masih di dalam kamar membiarkan pak Agus istirahat.

"Tidak apa-apa Nak, Bapak juga Ingin tahu keadaan Jesinta. Sebernarnya anak saya anak baik," Tutur Pak Agus.

Malam harinya.

"Ratri, saya berangkat. Doakan lancar, dan Mak Ningrum bisa kami bawa pulang dalam keadaan sehat" Pamit Arga.

"Ya Mas, hati-hati,"

Aku mengantar Arga keluar. Dua pria orang suruhan papa sudah menunggu. Mereka bertiga termasuk Arga jalan kaki menuju jalan raya. Kali ini lebih baik aku mengantar kepergian mereka dengan doa, semoga menemukan Mak Ningrum dalam keadaan sehat seperti yang Arga janjikan. Lebih baik aku menunggu di rumah agar orang-orangnya papa bekerja tanpa hambatan. Aku tidak ingin jika aku ikut justeru merepotkan.

...~Bersambung~...

Terpopuler

Comments

LENY

LENY

MANTAN ISTRI PAK AGUS INI JAHAT

2025-04-08

0

neng ade

neng ade

Semoga cepat terkuak misteri hilang nya mak Ningrum.. seperti nya emak waktu. itu ga pernah sampai ke RS

2024-10-29

2

himawatidewi satyawira

himawatidewi satyawira

suka ma cerita" buna seta, membumi, kl pun ada typo ya wajar aja..namanya jg othor manusia biasa...gbu ya buna

2024-09-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!