Aku bersama Ratri sudah duduk di kursi meja makan. Pandanganku tertuju kepada Mas Agus yang baru keluar dari kamar berjalan pincang dengan tongkat di pegang satu tangan. Aku tahan air mataku agar jangan sampai jatuh. Dan tidak mau memperlihatkan kesedihan ini di depannya.
"Saya bantu Pak," Ratri beranjak hendak membantu.
"Tidak usah Nak, Bapak bisa sendiri Ko," Tolaknya menatap aku sendu. Tetapi aku cuek saja, justru Ratri yang memapah kemudian menarik kursi untuk nya.
"Setelah sarapan Nanti, Bapak kontrol ke rumah sakit. Mas Arga mau menjemput," Ratri ambil satu centong nasi untuk Mas Agus. Rupanya anakku tahu jika bapak tiri nya aku diamkan.
Kontrol ke rumah sakit? Aku terkejut dan akhirnya mau tak mau menatapnya juga. Sebulan yang lalu saat aku tinggalkan di rumah Arin. Badanya tampak bugar dan berisi, tetapi kini kurus dan rambutnya panjang tidak di urus.
"Tidak usah Nak, Bapak sudah tidak perlu kontrol." Tolaknya, satu suap nasi masuk ke mulutnya, tampak tidak selera makan. Ia angkat kepala menatapku. Segera aku menunduk rupanya ia sadar jika aku perhatikan.
"Bapak jangan membantah, biar Bapak cepat sembuh, dan bisa melindungi Emak. Memang Bapak mau? Jika Emak di culik orang lagi." Tegas putriku.
Deg.
Aku tidak menyangka jika Ratri tahu bahwa aku di culik dan ucapannya itu menyindir Mas Agus. Mas Agus berhenti mengunyah menarik napas panjang seperti ada yang ia pikirkan. Setengah gelas air ia teguk mungkin mendorong nasi yang tersangkut di tenggorokan.
Ratri lantas diam gantian menyuap, suasana meja makan sunyi sepi. Karena kami fokus dengan nasi di piring masing-masing.
"Bapak... kok makanannya tidak dihabiskan?" Ratri yang awalnya mengumpulkan piring menatap Mas Agus heran.
"Bapak sudah kenyang Nak" Mas Agus lalu beranjak "Bapak siap-siap dulu," Sambungnya. Seraya ambil tongkat yang disenderkan di meja, kemudian ke kamar. Jika tidak sedang kesal begini rasanya ingin membantunya.
"Ratri, berarti Bapak kamu waktu itu memang benar kecelakaan?" Tanyaku, ingat kata-kata Arin satu bulan yang lalu ketika menyuruh aku ke rumah sakit.
"Iya Mak, kasihan Bapak, setelah kecelakaan dan dirawat di rumah sakit, beliu tidak ada yang menemani. Jesi yang awalnya menunggu pun hanya beberapa hari lalu menghilang. Mak, tolong jangan usir Bapak," Ratri menatapku memohon.
Aku mencerna ucapan Ratri, kenapa Jesi sampai tidak mau menunggui ayahnya? Padahal setahu aku, Jesi sangat menyayangi Mas Agus.
"Kalau gitu aku juga mau siap-siap Mak, mau ikut mengantar Bapak," Ratri mengangkat piring kotor ke belakang. Terdengar suara mbok Sri melarangnya, akupun menyusul Ratri yang sedang mencuci tangan.
"Ratri, Mak mau ikut mengantar Bapakmu," Ucapku. Rasanya tidak tega juga pada Mas Agus. Senyum lega terukir di bibir Ratri. Ternyata Ratri pun sebenarnya menginginkan ini. Namun mungkin Ratri tidak mau menegurku agar aku inisiatif sendiri.
"Rum" Ujar Mas Agus, ketika aku sampai di kamar. Ia sudah selesai ganti pakaian. Aku membuka lemari mencari baju. Satu menit kemudian, satu tangan merangkul perutku.
"Maafkan aku," Ucapnya.
"Sudah mendengar! Karena kata itu sudah sering Mas ucap bahkan sampai ribuan kali. Tetapi sayang, maaf itu hanya di bibir saja. Sok-sok-an! belain bini yang tidak punya hati! Terus mana?! Wanita yang kamu bela mati-matian? Ada nggak, saat kamu tidak berdaya begini mengurus kamu?! Hah?!" Tangis yang aku tahan sejak tadi pun akhirnya pecah. Tidak mau terlihat rapuh di depan Mas Agus. Aku singkirkan tangannya yang masih di perutku lalu ke kamar mandi, ganti baju disana.
Keluar dari kamar mandi, Mas Agus sudah tidak ada. Aku segera keluar, namun sebelumnya memastikan wajahku di depan cermin hawatir terlihat habis menangis. Tiba di luar ternyata Mas Agus sedang ngobrol bersama Ratri dan Arga.
"Bu Ningrum sudah lebih baik?" Tanya Arga. Mungkin menanyakan kondisi psikologis aku.
"Alhamdulillah... sehat Ga, terimakasih Nak, untungnya ada kamu yang Selamatkan Mak. Jika tidak, pasti Mak sudah mati bunuh diri, daripada menjadi wanita malam. Ada ya, orang yang tega menjual Mak." Sindirku kepada Mas Agus panjang lebar.
Mas Agus terkejut lalu menatapku sekilas.
"Sudahlah Bu, yang penting Ibu sudah kembali dengan selamat."
Mas Agus tampak ingin berucap tetapi Arga sudah beranjak karena kami harus berangkat. Ratri mengeluarkan motor baru dari garasi.
"Ratri... kamu beli motor lagi? Terus motor kamu yang lama kemana?"
"Nah, itu yang ingin aku tanyakan sama Mak, ketika aku tiba di rumah tiga hari yang lalu, motor Ratri sudah tidak ada. Aku pikir Mak tahu. Kalau mau kemana-mana repot kalau nggak ada motor, makanya aku beli lagi." Tutur Ratri.
"Pasti ini ulah si Arin brengsek itu!" Ketusku tidak perduli lagi dengan Mas Agus yang terkejut di sebelah aku begitu juga dengan Arga.
"Arin? Jadi maksudnya Arin kesini Ratri?" Tanya Mas Agus.
"Iya Pak, masalah ini kita bahas nanti saja, sekarang lebih baik kita berangkat." Ratri mengantar kami satu persatu hingga tiba di pinggir jalan dimana mobil Arga di parkir. Setelah menitipkan motor di pangkalan ojek, kami berangkat.
Di depan Ratri duduk di samping kemudi, mereka ngobrol akrab. Sementara aku di tengah bersama Mas Agus, tidak saling sapa. Hingga tiba di rumah sakit Ratri dan Arga yang mengurus ini itu. Aku dan Mas Agus menunggu di depan ruang periksa hingga waktu pemeriksaan tiba.
"Pak, Bu. Sebaiknya menunggu di mobil saja," Kata Arga ketika Mas Agus selesai diperiksa.
"Terimakasih Ga."
"Sama-sama Pak."
Arga mengantar kami ke mobil dulu, menurut Ratri agar Mas Agus bisa rebahan, karena Ratri masih menunggu obat. Anakku itu memang baik dan perhatian sekali kepada bapak tirinya, setelah apa yang dilakukan Mas Agus kepadaku. Nyatanya Ratri ingin kami tetap bersatu.
"Rum, tolong katakan sebenarnya apa yang di lakukan Arin?" Tanya Mas Agus ketika kami sudah berada di mobil. Sementara Arga menyusul Ratri ke dalam rumah sakit.
"Kamu jangan pura-pura tidak tahu!" Jawabku ketus.
"Rum, sumpah. Aku memang nggak tahu, sekarang tolong ceritakan Rum." Mas Agus menggenggam tanganku lembut.
"Kalian sekongkol ingin menjual aku kepada pria hidung belang kan? Kamu tega Mas, demi uang sampai mengorbankan istri kamu sendiri!" Aku menangis sejadi-jadinya.
"Apa maksudnya Rum, aku berani bersumpah tidak tahu menahu tentang Arin. Apa kegiatan Arin di luar pun aku tidak tahu. Apalagi sampai menjual kamu." Tegas Mas Agus.
"Bohong! Dua bulan aku tinggal di rumah kamu. Dan kalian semua menyiksa aku secara batin. Itu sudah cukup bukti bagi aku! Sekarang ceraikan aku. Aku tidak sudi mempunyai suami yang tidak punya perasaan seperti kamu!"
"Rum, tolong jangan ucap kata yang satu itu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Baiklah, sekarang dengarkan aku akan ceritakan semuanya."
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
LENY
AGUS LAKI2 LEMAH GAK TEGAS SAMA ARIN JGN MAU NINGRUM CERAI AJA
2025-04-09
0
Nur Hidayah
Akan aku dengarkan pak Agus😁
2023-06-05
0
Eka elisa
crito opo gus... stlah smua ancur kek gini bru cerita... iiuuh... mless bgt 😏
2023-06-03
1