Kirana masih tidak bisa menerima ini dengan nalarnya. Dia merasa ada yang salah disini. Bagaimana mungkin dia bisa di peringkat terakhir. Meskipun dia hanya memiliki waktu terbatas dan harus mengumpulkan jam 6 pagi, Kirana mengerjakannya dengan sungguh - sungguh.
Dia tidak sembarangan mengisi jawaban meskipun itu adalah tipe pertanyaan optional. Kirana mempertimbangkan semua jawabannya dan bahkan menghitungnya jika itu pertanyaan kalkulasi.
‘Pasti ada yang salah. Walaupun mungkin bukan urutan 10 besar, aku tidak mungkin juga masuk urutan paling terakhir.
“Iya.”, jawab Bu Rika.
Berbeda dengan masa - masa SMA, dosen memiliki banyak mahasiswa dalam satu kali masa pengajarannya. Dia sulit untuk sekedar mengingat bagaimana performa seorang siswa di dalam kelas. Guru masih menaruh fokus mereka pada murid yang mereka ajar karena jumlahnya masih relatif sedikit.
Sedangkan dosen, mereka bisa memiliki 100 mahasiswa dalam satu kelas, belum kelas lainnya, belum fakultas lainnya yang menawarkan mata kuliah yang sama. Apalagi, dosen seperti pak Rian yang mengajar lintas fakultas dan lintas jenjang.
Meski beliau berkantor di Fakultas Teknik, tetapi beliau juga kadang harus mengajar di beberapa fakultas lain yang menawarkan mata kuliah terkait.
Demikian juga dengan Bu Rika yang memiliki banyak peminat di tingkatan kelas S1 untuk berbagai semester. Selain Fisika Dasar, beliau juga mengajar mata kuliah Fisika lanjutan untuk mahasiswa tingkat diatas Kirana. Selain itu, beliau juga merupakan salah satu pembimbing skripsi.
Sehingga, Bu Rika juga tidak begitu memperhatikan nilai Kirana. Untuk mereka yang memiliki nilai - nilai terbaik, mungkin Bu Rika ingat. Tapi untuk yang naik turun di peringkat pertengahan, mungkin tak semua bisa Bu Rika ingat.
Oleh karena itu, dia tidak terlihat terkejut dengan penurunan nilai Kirana yang drastis. Terlebih, mereka baru saja memasuki masa - masa awal semester. Bu Rika juga belum terlalu mengenal para mahasiswanya.
Saat Kirana bertanya, Bu Rika menjawab datar apa adanya. Bu Rika memang ramah, tetapi dia dikenal tegas dan cuek.
“Belajar lagi yang rajin, ya.”, hanya itu yang dia katakan saat Kirana mencoba untuk memastikan kembali.
Kirana tak mengucapkan apa – apa lagi setelahnya. Tak ada gunanya bertanya lebih lanjut pada Bu Rika karena yang jelas bukan dia yang menilai hasil tugas kemarin. Daripada citranya buruk di depan Bu Rika, lebih baik Kirana mundur.
Ia hanya menggerutu hebat di dalam hati seakan naga pun bisa keluar dari dalam mulutnya.
‘Sebaiknya setelah ini aku perlu menemuinya, pasti ada yang salah dengannya. Kenapa bisa - bisanya merusak nilaiku.’, kata Kirana.
Dia tidak bisa menerima nilai ini. Memang porsinya tidak besar, tetapi Kirana harus bisa mengumpulkan nilai yang baik pada setiap kesempatan untuk mata kuliah ini. Jika tidak, mungkin dia tidak bisa untuk lulus 3.5 tahun.
Meskipun bukan mata kuliah inti, banyak mata kuliah di semester selanjutnya yang mempersyaratkan kelulusan di mata kuliah Fisika untuk bisa mengambilnya. Apalagi ada satu mata kuliah yang hanya tersedia setahun sekali.
Jika Kirana telat mengambil kuliah itu, rencananya untuk bisa lulus 3.5 tahun bisa hancur berantakan.
‘Lebih baik aku tidak mengatakannya pada Ghea. Dia pasti akan melarangku menemui Pak Rian.’, pikir Kirana dalam hati.
Sahabatnya itu selalu mencegahnya mengurusi hal – hal seperti ini. Ya seperti itulah dia, ia menganggap tak perlu mengurusi hal – hal kecil seperti ini.
Ghea memang ember, tapi dia juga khawatir kalau temannya sampai harus berhadapan dengan dosen killer.
**********
“Permisi, Bu.”, panggil seseorang di depan pintu.
Seorang mahasiswa laki - laki. Dia memastikan dirinya sudah mengetuk bagian pintu kaca itu agar dosen yang sedang berdiri di mejanya bisa mendengarnya.
Awalnya tak ada yang peduli. Bu Rika juga tampaknya sedang sibuk melihat beberapa dokumen di tangannya. Kemudian seperti sedang mencocokkan sesuatu di ponselnya.
Tapi, begitu mahasiswa itu masuk, beberapa pasang mata mulai menghentikan aktivitas mereka, terlebih para mahasiswa perempuan langsung mengalihkan perhatiannya dan fokus pada siluet mata gelap yang berkharisma di depan mereka.
Tingginya semampai, mungkin bisa sekitar 178 cm. Bibirnya tipis dengan tekstur soft berwarna pink cerah. Kemudian tubuhnya atletis meski tak terlalu tegap. Tetapi setidaknya, bahunya bidang dan lebar.
“Hm?”, Bu Rika pun baru menyadari kalau ada mahasiswa yang masuk menghampirinya.
Tidak seperti kelas Pak Rian, peraturan kelas Bu Rika jauh lebih fleksibel. Beliau tidak peduli jika mahasiswa datang terlambat, memilih tidak datang, atau hanya hadir saat ujian saja. Menurut beliau, kampus sudah tidak seperti bangku sekolah menengah dan sekolah dasar dimana murid wajib datang dan duduk mendengar guru mengajar.
Bu Rika tidak masalah jika ada yang merasa lebih mengerti dengan penjelasan di media lain, belajar sendiri, atau dengan dosen lain. Yang terpenting, mahasiswanya mengerjakan tugas dan mengikuti ujian. Karena dengan begitu beliau bisa menilai apakah seorang mahasiwa telah menguasai dan dapat dinyatakan lulus dalam mata kuliah ini atau tidak.
Tidak hanya Bu Rika, tetapi mahasiswa lain juga tampak kebingungan. Mereka merasa tidak pernah melihat mahasiswa tersebut.
“Perkenalkan Bu, nama saya Raka. Lengkapnya Prasetya Raka. Saya akan masuk di kelas ini.”, ucap mahasiswa tersebut memperkenalkan diri.
“Hn. Baik. Kamu tidak perlu memperkenalkan diri. Silahkan langsung duduk. Kamu baru masuk kelas saya? Seingat saya, saya sudah menjelaskan kalau tidak masalah jika kalian ingin atau tidak ingin masuk ke kelas ini. Yang penting kalian ikut ujian.”, kata Bu Rika datar.
“Iya betul, Bu. Saya baru masuk ke kelas Ibu. Saya telat masuk karena harus mengurus berbagai surat kepindahan dan hal - hal operasional lainnya.”, kata Raka, mahasiswa itu melanjutkan.
“Hm.. ya sudah. Kamu bisa duduk.”, kata Bu Rika tanpa banyak bertanya.
Para mahasiswa mulai mencoba mencuri - curi dengar apa yang dibicarakan oleh mahasiswa itu pada Bu Rika. Beruntung bagi mereka yang duduk di bagian depan, mereka bisa mendengar dengan jelas.
‘Siapa ya? Kok gue gak pernah lihat? Walaupun anak angkatan atas atau bawah sekalipun, kayanya gue gak pernah lihat dia. Siapa sih?’, tanya seorang mahasiswa bertanya - tanya dengan rekan satu gengnya.
“Waaaah ... “, terdengar ucapan memuja dari mulut para mahasiswa perempuan.
Seiring Raka berjalan mencari kursi yang kosong, wajah dan pandangan mereka juga turut mengikuti.
Setelah mengedarkan pandangannya sebentar, Raka langsung menempati tempat duduk paling belakang. Tepat di belakang bangku Kirana. Dia duduk dan langsung meletakkan tasnya.
Berbicara tentang Kirana dan Ghea, mereka sejak tadi sudah terpaku melihat lelaki itu. Pandangan mereka jelas sekali berbeda dengan mahasiswa yang lain. Mereka tidak mengitari pandangannya seiring dengan Raka berjalan mengambil kursinya.
Kirana dan Ghea justru menghindari pandangan dan berusaha untuk tidak bersitatap dengan anak laki - laki itu.
Mereka tak percaya lelaki yang kini duduk di belakangnya adalah lelaki yang dua kali tanpa sengaja mendengar percakapan mereka di toilet. Ya, wajahnya tidak bisa lupakan. Jika saja hanya mendengar sekali, mereka mungkin bisa lupa. Tapi ini sudah dua kali.
Ditambah, sikap mahasiswa itu sesaat setelah tertangkap mendengarkan omongan mereka sangat tidak meyakinkan.
“Mampus gue.”, Kirana berbicara sedikit berbisik pada teman di sebelahnya.
“Menurut lo dia denger semua yang kita omongin, ga?”, tanya Kirana.
“Kalau dari ekspresinya sih gue 100% yakin dia dengan yang kita bicarakan.”, balas Ghea.
Mereka memastikan kalau mereka berbisik - bisik mengatakannya.
“Tapi gue yakin dia gak tahu siapa yang sedang kita bicarakan. Ya, gue yakin banget dia gak tahu.”, kata Kirana mantap.
“Oh iya.. Ibu minta perhatiannya sebentar ya….”, ucap Bu Rika sedikit memukul meja dengan penggaris agar perhatian menuju padanya.
“Alhamdulillah setelah menanti selama 5 tahun, saya sekarang hamil anak pertama. Kehamilan saya sudah berjalan 3 bulan. Tidak seperti kehamilan pada umumnya, saya harus ekstra hati - hati.”, ucap Bu Rika tiba - tiba memberikan pengumuman.
“Jadi, saya memutuskan untuk mengurangi kelas yang diambil. Saya akan fokus mengajar mahasiswa tahun pertama saja. Untuk kalian tahun kedua, saya menyerahkan tanggung jawab kelas ke Pak Rian. Jadi, selanjutnya dosen yang akan mengajar kalian adalah Pak Rian.”, ucap Bu Rika yang baru saja seperti melemparkan bom atom pada Kirana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments