‘Kak Rian, sakit? Perasaan kemaren - kemaren masih fit - fit aja. Sampai bisa peluk - pelukan sama mahasiswanya?’, Kirana bertanya - tanya dalam hati di sepanjang koridor ruangan dosen menuju ke lantai bawah yang tak jauh dari perpustakaan.
‘Parah ga ya? Dia di rumah sama siapa? Ah.. paling ada asisten rumah tangga nya. Gak mungkin dia gak hire orang.’, pikir Kirana lagi.
Kadang dia berjalan maju ke depan. Kadang dia kembali berputar arah.
‘Apa aku perlu cek kesana?’
‘Apa - apaan kamu Ran. Mau jengukin kesana? Buat apa? Memang kamu siapanya?’
‘Tapi, gimana kalau ternyata dia benar - benar sendirian? Teman dosennya aja ga tau rumah dia dimana. Masa sih?’
‘Ih.. apa peduli aku. Mau dia sakit, mau dia lagi mesra - mesraan sama cewe. Sudah bukan urusan aku. Dia kan cowo playboy, ngapain harus dikhawatirin.’
‘Tunggu, khawatir? Siapa yang khawatir. Aku? Engggaaaaak.’
‘Hah.. tapi sudah dua hari, sudah ke rumah sakit belum ya? Jangan - jangan parah? Kiranaaaaaaaaa.’, Kirana berteriak dalam hati saking stressnya.
Seolah ada dua orang yang ada di dalam dirinya sekarang. Satu orang yang masih mencintai Rian. Dan satu orang lagi yang ingin melupakan dan membenci Rian.
“Ran.”, panggilan seseorang dari belakang mengejutkan Kirana.
“Oh? Aku tidak mau menjenguknya kok.”, balas Kirana tiba - tiba.
“Menjenguk? Menjenguk siapa? Keluarga kamu ada yang sakit? Atau teman kamu?”, tanya laki - laki yang ternyata adalah Radit.
“Enggak. Aku tadi lagi baca dialog. Iya.. dialog ha-ha.”, jawab Kirana canggung.
Saking gugupnya, entah dari mana tiba - tiba saja alasan tersebut muncul begitu saja dari mulutnya.
“Dialog? Kamu ikut klub teater? Aku baru tahu.”, jawab Radit.
‘Aku? Apa - apaan sih si Radit.’, Kirana baru sadar kalau Radit malah menggunakan ‘Aku’ dan ‘Kamu’ saat berbicara dengannya.
“Enggak. Tumben lo ada di kampus. Perasaan belakangan lo sering banget ada di kampus.”, Kirana berusaha menarik Radit untuk masuk ke topik lain yang ternyata malah memperkeruh suasana.
“Wah.. perhatian banget sampai tahu kalau gue sering di kampus.”, balas Radit.
Mendengar Kirana menggunakan ‘gue’ dan ‘lo’, Radit kembali mengganti kata panggilannya.
‘Syukurlah dia kembali ke panggilan itu. Tapi, sekarang dia malah ke-GR-an. Ya sudahlah. Itu kan urusan dia.’, ucap Kirana dalam hati.
“Ghea yang bilang. Oiya, gue masih ada urusan, gue cabut duluan, ya.”, kata Kirana langsung mengambil langkah mundur dari hadapan Radit.
“Ran, lo mau kemana? Bukannya jam 1, lo ada kelas ya?”, teriak Radit karena Kirana sudah melesat dengan cepat.
Alhasil pertanyaan Radit tak dijawab olehnya karena Kirana pun sudah berada jauh dari radarnya.
***********
“Pak, nanti ada perempatan, disana bapak lurus aja ya. Nanti sebelah kiri ga jauh dari jalan itu ada perumahan. Langsung masuk ke sana aja. Rumahnya pas di sebelah kiri.”, ujar Kirana pada sopir taksi yang sedang ditumpanginya.
Setelah berdebat lama dengan dirinya, Kirana akhirnya tanpa sadar sudah berada di dalam taksi. Dia bahkan bolos dari kelasnya.
‘Apa yang sedang aku lakukan sekarang? Tapi, sudah terlanjur kesini. Ya sudahlah. Aku tinggal cek saja ke ART nya.’, pikir Kirana.
Kalau dia hanya kesana untuk memeriksa ke ART Rian, dia masih bisa kembali ke kampus dan masuk ke kelas. Masih ada sekitar 1 jam 30 menit lagi sebelum kelasnya dimulai.
Kring kring kring kring
“Halo.”, jawab Kirana.
“Ran, dimana lo? Gue cari - cari dari tadi mau makan siang bareng ga muncul - muncul. Gue kirim pesan, kenapa gak dibales?”, tanya Ghea dengan latar belakang hiruk pikuk mahasiswa di yang ricuh di dalam kantin.
Ya, jam - jam segini memang jam - jam sibuk kantin. Kirana bisa mendengarkan dengan jelas berbagai pesanan yang disebutkan. Membuat perutnya lapar saja.
“Gue lagi ada urusan. Kalau gue gak dateng. Gue boleh titip absen ya, Ghe.”, kata Kirana meminta bantuan.
“Eh.. enak aja. Lo gak tahu? Ini dosen tuh paling alergi sama yang namanya titip absen alias T.A. Kalau doi tahu, kita bisa gak boleh ikut ujian nanti.”, tutur Ghea.
“Iyaa.. gue lupa. Ya udah. Gue cuma sebentar kok. Harusnya sebelum kelas dimulai gue udah balik lagi.’, jawab Kirana lagi.
“Bener ya. Yah.. gue makan sendirian dong.”, keluh Ghea melalui sambungan teleponnya.
“Sekali - kali. Biar lo gak jomblo terus.”, ucap Kirana sekenanya.
“Enak aja. Lo juga jomblo, pake ngatain orang segala.”, kemudian Ghea menutup sambungan teleponnya.
“Maaf, mba. Sudah sampai, rumahnya yang mana?”, tanya sopir taksi itu pada Kirana.
“Itu Pak, yang sebelah kiri ujung mendekati perempatan.”, balas Kirana.
“Oh.. baik, Mba.”
Kirana melihat sekeliling rumah yang ternyata sudah banyak ditemani oleh beberapa perumahan yang lain. Dulu, seingatnya disini banyak sekali kebun ala - ala yang dibuat oleh mendiang mantan mertuanya (papa Rian).
Sepertinya sebagian tanahnya sudah dijual. Kebun - kebun itu juga sudah tidak ada lagi. Kirana celingak - celinguk melihat ke dalam dari arah pagar. Tidak ada tanda - tanda kehidupan. Sepi sekali.
“Apa dia memilih untuk tinggal di apartemen? Aduh, aku tidak tanya lagi. Tapi ngapain dia tinggal disana. Bukannya dia tidak suka tinggal di apartemen.”, Kirana ragu - ragu untuk menekan bel.
Dia bingung. Sudah sampai disini, tidak mungkin balik lagi. Tapi, kalau dia menekan bel dan ada yang menjawab, bagaimana dia harus menghadapi pertanyaan - pertanyaan yang mungkin akan di lontarkan Rian?
‘Bismillah’, ucapnya dalam hati kemudian menekan bel rumah.
Kirana menekan sekali, namun ia tunggu selama beberapa detik, tidak ada yang menyahut.
Kirana mencoba menekannya satu kali lagi.
Kali ini, dia menunggu selama lebih kurang satu - dua menit. Dan masih tidak ada yang menyahut.
“Apa aku pulang saja, ya. Mungkin dia tidak disini. Siapa yang tahu. Mungkin dia sudah memiliki wanita lain dan sekarang sedang bersamanya. Yang lebih dewasa dibandingkan aku yang masih bocah.”, ungkap Kirana kesal.
“Cari siapa neng?”, tiba - tiba seoran wanita yang seumuran dengan ibunya lewat dan bertanya.
“Oh.. saya cari yang punya rumah. Sudah tekan bel dua kali tapi tidak ada yang membukakan. Apa Bi Risma sudah tidak bekerja disini lagi?”, tanya Kirana ragu.
“Oh.. Den Rian ya?”, ucap wanita itu seketika ingat.
“Iya, Bu.”, jawab Kirana.
“Saya juga ART di perumahan dekat sini. Dua blok dari sini. Baru. Hahaha.. Saya kenal sama Bi Risma. Setahu saya Bi Risma lagi pulang kampung. Anaknya sakit. Sudah seminggu.”, terang wanita tersebut.
“ART yang lain?”, sebelumnya, ada dua orang ART lain yang membantu di rumah keluarga Rian.
“Yang lain? Seingat saya cuma ada Bi Risma, neng. Tidak ada yang lain. Saya baru, jadi hanya kenal dengan Bi Risma saja.”, jawab wanita itu.
Kring kring kring
Seperti ada yang bergetar di saku celana wanita itu. Dia buru - buru mengangkatnya.
“Halo, iya Bu. Saya sudah beli. Iya, saya segera pulang, Bu.”, ujarnya.
Saat itu dia sedang mengendarai sepeda motor. Begitu dia menutup teleponnya, wanita itu langsung menstarter kembali sepeda motornya.
“Neng, coba telepon Bi Rismanya saja. Saya buru - buru. Maaf ya neng.”, sahutnya langsung pergi meninggalkan Kirana saat itu juga.
“Telpon Bi Risma? Apa nomor ponselnya masih sama? Apa aku coba telpon Kak Rian saja? Ah.. bodoh.. Dia kan sudah tidak menggunakan nomor itu lagi. Hah.. ribet. Aku pulang saja lah kalau begitu.”, setelah lama berpikir, akhirnya Kirana memutuskan untuk pulang.
“Kirana?”
Namun, langkah Kirana langsung berhenti ketika seseorang yang dia kenal memanggilnya dari dalam. Seketika itu juga bunyi kunci pintu pagar terbuka. Sepertinya Rian menggunakan pintu pagar otomatis yang bisa dibuka langsung dari dalam. Seingat Kirana, dulu masih supirnya yang membuka dan menutup pintu secara manual.
“Masuk.”, lanjut Rian kemudian melangkah ke dalam.
Dia bahkan tak menunggu Kirana yang masih terdiam di depan pagar.
‘Apa - apaan dia. Normalnya kan kalau orang bertamu, yang punya rumah nunggu dong orangnya sampai masuk. Ini cuma bukain pintu doang trus ngilang? Dia mau aku masuk atau enggak sih.”, protes Kirana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments