“Lo juga suka lagu ini? Gue juga suka, ini enak banget didenger. Kalo bahasa kitanya tuh, easy listening. Bener nggak?”, Radit tidak berhenti berbicara sesampainya mereka di toko komputer dan aksesoris.
Selepas meeting, Radit sudah lebih dulu mendekati Kirana. Dia bertanya apa rencana Kirana hari ini. Kirana yang awalnya ragu kemudian memilih untuk mengatakan yang sebenarnya.
Kebetulan, hari ini sepupu Kirana akan datang dari luar kota. Berhubung dia tinggal di desa, Kirana ingin memberikan hadiah sepasang headphone yang sudah lama diidam - idamkannya.
Paman dan Bibi Kirana sangat baik padanya. Terutama saat pertama kali mereka mengetahui kalau kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Meskipun dengan pendapatan ibunya yang bekerja di perusahaan Multinasional tergolong mencukupi, namun tetap saja, tinggal di ibukota hanya berdua tidaklah mudah.
Oleh karena itu, sejak perceraian itu terjadi, mereka yang biasanya datang 2 tahun sekali jadi lebih sering untuk berkunjung bersilaturahmi. Kirana juga sering mendatangi kediaman mereka di desa.
Ibunya adalah satu dari lima bersaudara. Dua diantaranya sukses dan tinggal jauh dari desa. Satu di luar negeri dan ibu Kirana menetap di ibukota. Tiga lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di desa.
Hanya saja, dua lainnya adalah adik - adik dari ibunya dan mereka juga tidak tergolong berkecukupan, sehingga mereka jarang mengunjungi Kirana dan ibunya di ibukota.
Seiring berjalannya waktu, Kirana menjadi lebih akrab dari anak - anak paman dan bibinya terutama Sri. Usianya dua tahun di bawah Kirana. Dia sudah lulus SMA namun masih belum bisa memutuskan apakah akan lanjut kuliah atau tidak.
Jadi, sekarang dia masih menganggur. Dia memiliki dua orang kakak laki - laki yang keduanya sudah memiliki rumah tangga mereka sendiri. Bisa dibilang Sri adalah anak yang tak terduga. Di usia yang hampir senja, paman dan bibi memilikinya. Jadi, berbeda dengan kakak - kakak laki - lakinya, dia masih sangat belia.
Paman dan bibi sebenarnya tidak masalah jika Sri memutuskan untuk berkuliah di ibukota. Hanya saja, Sri masih belum bisa memutuskan. Dia masih membutuhkan waktu sampai benar - benar bisa memilih yang terbaik.
Tetap tinggal di desa, atau ke ibukota untuk kuliah.
Kembali pada Radit yang saat ini sedang membantu Kirana memilih headphone yang terbaik. Mereka baru mencoba satu. Layaknya orang yang ingin mencoba performa headphone, Kirana juga menyambungkan headphone itu ke ponselnya. Lalu, dia memutar salah satu lagu di playlistnya.
Kirana belum sempat mengatur volume sehingga Radit bisa mendengar suara yang keluar dari headphone itu.
“Aku gak nyangka loh, Ran. Kamu suka lagu - lagu tipikal ini juga?”, ucap Radit masih terpana saat melihat lagi playlist Kirana dari samping.
Kirana hanya tersenyum.
“Kamu suka band ini?”, kemudian Radit menyebutkan nama salah satu band inggris ternama yang dia sukai.
“Wah.. gue suka banget sama band itu. Baru banget, kan?”, Kirana paling tidak bisa diajak mengobrol tentang topik ini.
Kenapa? Dia langsung jadi lupa diri. Dia bahkan sudah tak ingat sekarang kalau yang ada di depannya ini adalah Radit, Ketua BEM Kampus yang sudah punya pacar.
“Coba deh kamu pasang lagu yang ini. Gila.. ini hits banget.”, sahut Radit menyebutkan satu judul lagi yang paling dia sukai.
“Bener – bener. Selera kita sama ya?”, ujar Kirana.
Sedetik kemudian dia baru sadar bahwa sepertinya dia sudah melemparkan statement yang berbahaya. Senyum merekah yang tadi Kirana lontarkan langsung berubah perlahan menjadi ekspresi canggung saat dirinya sadar apa yang sudah dia katakan.
“Soulmate kali ya.”, ekspresi wajah Kirana yang berubah menjadi canggung, lantas tak mengubah Radit untuk ikut menjadi canggung.
Dia bahkan ikut balas melemparkan statement yang lebih berbahaya lagi.
‘Apa coba maksudnya bilang ‘soulmate’. Dia kan sudah punya pacar. Kenapa mengatakan soulmate?’, komentar Kirana dalam hati.
Kirana kembali mengernyit sambil memandang Radit. Katanya – katanya hari ini sungguh tak biasanya.
‘Jangan – jangan ini orang mau pedekate ama gue lagi, pikirnya. Atau jangan – jangan dia memang seperti ini ama orang lain, even itu bukan gue.’, Kirana begitu asyik dengan berbagai asumsi yang dibuatnya sendiri hingga tak menyadari seorang cowok datang dari arah berlawanan dengannya.
BRAAAK
Tabrakan itu tak bisa terelakkan, Kirana yang saat itu sedang memegang dua buah headphone dan ponsel miliknya menjadi kelimpungan hingga merelakan salah satunya terjatuh dan untungnya tidak sampai pecah.
Mungkin memang headphone yang kualitas bagus memang berbeda, pikir Kirana. Sementara laki – laki yang tak sengaja di tabraknya nampak kesakitan memegang kakinya.
‘Nih orang kenapa lebay banget, pikir Kirana. Padahal cuma nabrak dikit, headphonenya aja nggak kenapa – kenapa. Kenapa malah dia yang ada apa - apa’, gumamnya dalam hati.
Pandangan Kirana juga mengarah ke Radit yang ikut bingung kenapa pria otu mengeluarkan reaksi yang berlebihan. Bukannya minta maaf, si cowok yang menabrak malah keluar dan terlihat dari etalase toko memasuki sebuah sedan hitam kemudian berhembus bagai angin.
Kirana dan Radit kembali berpandangan. Keduanya heran, baru kali ini dia bertemu orang seperti itu.
Kirana segera membersihkan headphone yang terjatuh dan membawanya ke meja kasir. Belum lagi Rana mengeluarkan dompet dari tasnya, Radit sudah siap dengan sebuah kartu di tangannya.
“Eh .. nggak usah Dit. Ini biar gue yang bayar, kan punya gue.”, kata Kirana langsung menolak.
Ia bahkan menahan tangan Radit agar tidak memberikan kartu itu pada kasir hingga membuat sang petugas kasir jadi kebingungan.
“Anggap aja hadiah dari gue.”, jawabnya sambil tersenyum.
“Hadiah? Jangan bercanda deh Dit. Ngapain lo kasih gue hadiah. Udah sini, biar gue yang bayar. Mba, jangan diterima.”, kata Kirana bersikeras.
“Memangnya kenapa? Ga perlu ada alasan tertentu, kan buat kasih lo hadiah. Anggap aja dari teman satu komunitas. Kita kan penyuka genre musik yang sama. Lain kali selain headphone, gue kasih tiket konsernya kalau kebetulan datang ke Indonesia.”, kata Radit.
Kirana saja sudah tidak ingin menerima hadiahnya yang ini. Sekarang pria itu malah menawarkan hadiah yang lain lagi.
Alhasil, daripada perdebatan ini berlangsung lama dan tidak selesai, Kirana memilih untuk mengalah. Dia bisa membayarnya kembali dalam bentuk lain. Misalnya dengan mentraktir Radit lain kali.
“Aduh, nggak usah. Gue bisa naik taksi kok. Lagian rumah gue juga nggak jauh – jauh amat dari sini.”, Setelah Radit membayar belanjaan Kirana di toko tadi, sekarang teman satu kampusnya itu menawarkan tumpangan untuk pulang.
Tentu saja Kirana lagi - lagi menolak. Menemaninya ke toko ini saja sudah membuat Kirana merasa sangat tidak nyaman, apalagi kalau dia harus berada satu mobil dengannya. Dari tadi sikap Radit juga sangat aneh. Tidak, sejak Radit mengajak Kirana ke toko bareng saja sudah aneh.
Dia bersikap sangat bersahabat padanya. Padahal sebelum - sebelumnya, meski mereka saling mengenal, Radit tidak akan seakrab ini dengannya. Sekarang, tidak hanya akrab, tapi Radit malah terlihat seperti orang yang sedang PDKT.
Siapa lagi cowok yang mau menghabiskan waktunya nemenin cewek beli sesuatu yang ga ada hubungannya sama sekali dengan dia, plus mau nganter pulang. Padahal, Radit juga punya cewe. Kirana tahu benar itu. Apalagi status Radit itu adalah Ketua BEM. Dia pasti sibuk banget.
“Naik aja, udah lama gue nggak nganterin lo pulang.”, ujar Radit kembali memaksa.
“Aduh, gue bener – bener nggak enak ama lo. Ama pacar lo juga.”, Kirana masih ingin menolaknya.
“Nyantai lah. Kan gue bukan suaminya haha.”, Radit hanya terkekeh dan akhirnya dengan setengah hati Kirana masuk ke mobil Radit dan melaju menuju rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments