‘Kenapa tu cowok sering banget muncul depan gue sih’, bathin Kirana kesal.
‘Mulai dari percakapan tentang Radit di toilet. Bahkan hal itu terjadi dua kali. Terus tuh orang juga kayanya yang nabrak gue di toko headphone waktu pergi sama Radit, deh. Kenapa dia selalu aja ada di sekitar gue?’, ucap Kirana menumpahkan kekesalannya.
‘Terus, tadi dia juga muncul tiba - tiba di depan pintu ruangan kak Rian. Aduhhhh… apa jangan - jangan dia dengar lagi omongan gue sama dia. Kalau dia tahu kak Rian itu mantan suami gue gimana?’, Kirana langsung pusing berjalan ke kiri dan ke kanan di depan kelas yang seharusnya dia hadiri selanjutnya.
“Ran!”, panggil Ghea dari kejauhan.
Ghea memegang dua botol minuman di tangannya. Satu botol langsung dia berikan pada Kirana begitu mereka bertemu.
“Hah.. tahu banget lo kalo gue lagi haus.”, ucap Kirana langsung menenggak minuman itu semuanya sekaligus dalam satu tegukan saja.
“Heh.. pelan - pelan minumnya. Gak takut tersedak ya, lo.”, ucap Ghea menepuk bahu temannya.
Nasehat Ghea sudah terlambat. Saat Ghea selesai mengatakan kalimatnya, Kirana sudah lebih dulu menghabiskan minumannya.
“Lo tadi jadi ke ruangan pak Rian? Ngapain? Jangan bilang lo benar - benar protes sama beliau? Lo udah ga waras, ya? Lo ga takut dikasih nilai ‘I’ sama doi?”, Ghea langsung mengomeli Kirana tanpa titik dan koma sama sekali.
Kirana tidak menghiraukan perkataan Ghea. Dia mengambil duduk sambil menarik nafasnya.
“Heh.. Ran. Cerita dong. Jadi gimana? Lo jadi ketemu Pak Rian ga? Trus doi bilang apa? Doi ga kasih nilai ‘I’ ke lo, kan?”, tanya Ghea memastikan.
Kirana masih belum bersuara.
“Enggak, gak mungkin lo masih normal - normal dan bersikap biasa aja kalau doi sudah kasih lo nilai ‘I’. Ayooo cerita, gue kepo, nih. Lo gak jadi ngomong sama dia, kan? Kalau enggak, gue yakin sekarang lo pasti udah nangis bombay.”, ujar Ghea.
Sedari tadi, hanya dia yang terus berbicara tanpa henti. Sedangkan Kirana masih mencoba mengumpulkan nyawanya dari kekesalan. Tidak hanya pada Rian, tetapi pada mahasiswa baru bernama Raka itu.
“Pak Rian minta gue menemuinya nanti sore. Dia bakal kasih kesempatan untuk gue cek lembaran jawaban dan penilaiannya.”, jawab Kirana.
“Beneran?”, tanya Ghea tidak percaya.
Rian terkenal sebagai dosen yang tidak mau buang - buang waktu. Apalagi kalau harus memeriksa kembali lembaran jawaban mahasiswa.
Kirana mengangguk.
“Lagian, siapa banget dia berani kasih gue nilai ‘I’. Dia kan belum resmi gantiin Bu Rika.”, balas Kirana lagi.
“Tapi kan Bu Rika udah kasih tahu tadi kalau selanjutnya, Pak Rian yang akan gantiin kelasnya beliau.”, jelas Ghea.
“Ya.. kan belum hari ini. Kalau dia sudah masuk di kelas selanjutnya. Baru, dia resmi jadi dosen mata kuliah Fisika kita. Sekarang belum.”, ucap Kirana.
“Terserah lo, deh.”, ucap Ghea menyerah.
************
“Kamu kenapa bisa mendadak pindah kesini?”, tanya Rian lugas setelah memastikan di luar ruangan sudah tidak ada siapa - siapa lagi.
Kirana yang tadi sempat masih berdiri di sekitar situ sudah pergi. Mungkin kembali ke kelas yang harus dia hadiri selanjutnya.
Setelah itu, Rian kembali masuk dan menutup pintu ruangannya.
“Serah gue dong. Bagus juga ruangan, lo”, ucap Raka dengan tatapan angkuh.
Raut wajah penuh hormat dan tatapan bersahabat layaknya mahasiswa baru yang bertemu dosennya sekejap hilang dari wajah Raka. Begitu juga sebaliknya. Rian, pria yang tadi bersikap ramah ternyata hanya berpura - pura.
Wajah tegang mereka sudah dimulai saat Kirana keluar dari ruangan. Hanya saja, untuk tidak memberikan rasa curiga, keduanya masih berkata - kata layaknya mahasiswa dan dosen.
“Kita sedang di kampus, jadi saya mohon kamu gunakan bahasa yang formal.”, Rian tak bisa menerima sikap kurang ajar Raka barusan meskipun sebenarnya keduanya sudah saling mengenal, jauh sebelum pertemuan mereka di kampus ini.
“Heh .. kata – kata yang sama lagi dengan kata – kata yang lo bilang ke cewe tadi itu. Ada hubungan apa lo sama dia? Sepertinya bukan hubungan biasa. Dia terlihat sama beraninya dengan gue. Jangan - jangan kalian punya hubungan spesial antara mahasiswa dan dosen. Ha-ha.. Menjijikkan.”, respon Raka yang menggebrak meja.
“Raka! Jaga sikap kamu. Kalau kamu ingin terus bersikap seperti ini, lebih baik kita berbicara di tempat lain. Satu lagi. Jangan coba - coba untuk mencampuri urusan saya. Sekarang kenapa kamu mau menemui saya disini?”, tanya Rian dengan wajah yang menegang.
“Simpel. Gue cuma mau kasih surat ini ke lo.”, entah ada hubungan apa antara Raka dan Rian. Begitu selesai meletakkan surat itu di hadapan Rian, Raka berdiri dan undur diri dari ruangan itu sambil membanting pintu.
“Hah…”, Rian langsung menghela nafasnya sambil kemudian mengambil duduk.
Dia cukup terkejut melihat Raka berada di kampus ini. Sebenarnya apa yang sedang direncanakan oleh anak itu.
Raka berjalan melewati sebuah koridor yang membatasi sebuah lapangan basket dan kantin.
Tiba - tiba, seperti mengulang kejadian beberapa waktu lalu, Ia kembali bertabrakan dengan seseorang di koridor arah ke perpustakaan. Ya, selain area gedung dosen, koridor itu juga menjadi penghubung menuju perpustakaan. Disampingnya terdapat lapangan basket dan kantin kecil seperti mini market.
Ternyata, orang yang bertabrakan dengan Raka adalah Radit. Entah ada keperluan apa, ia berlari terlalu kencang hingga tak sadar menabrak orang. Mereka tanpa sengaja berpapasan dan bertemu di sudut jalan.
Beruntung tidak ada orang lain disana. Jika tidak, tabrakan itu tentu saja akan menyebabkan efek domino.
“Awww.”, ujar Raka mengaduh.
Radit ingin meminta maaf, namun alisnya mengerjit tatkala dia merasa keluhan Raka terlalu lebay. Radit tidak berada di satu kelas yang sama dengan Raka. Dia belum pernah bertemu dengannya kecuali saat hari dia pergi bersama Kirana.
Namun, Radit juga tidak menyadari hal tersebut. Dia melirik ke arah Raka sebentar. Rasanya, tabrakan mereka tidak terlalu kuat.
Radi bisa melihat Raka beberapa kali mengusap kakinya. Tak lama kemudian, Radi melihat ada darah yang mengalir pada bagian pergelangan kaki Raka yang tidak tertutup kaus kaki.
Sontak tentu saja Radit bingung, padahal ia merasa cowok yang baru pertama kali dilihatnya itu tak menabrak apapun. Mereka benar - benar hanya bersinggungan sedikit.
Kirana, gadis itu juga berada disana beberapa waktu lalu dan melihatnya. Ia sama terkejutnya dengan Radit saat melihat ada darah di kaki Raka.
“Eh.. bawa ke UKS dit, buruan. Ntar dia kehabisan darah.”, Raka hanya berdecak lucu mendengar perkataan Kirana yang begitu lebay
Radit segera memapah Raka menuju ruang kesehatan yang untungnya bersebelahan dengan Perpustakaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments