“Arghhhh! Kenapa dia kejam banget sih? Bisa ga sih ga sok - sok berkuasa jadi dosen? Memangnya kalau dosen, bisa suruh - suruh kerjain soal sebanyak itu terus kumpulin pagi dini hari? Dia kira aku apa? Kenapa cuma karena protes aku langsung disuruh kumpulin jam 6 pagi? Memangnya dia sudah di kantor jam segitu? Kesel banget ngadepin dosen killer tuir kaya dia.”, Kirana yang sudah sampai di rumah segera melepaskan kekesalannya pada bantal dan kasur yang tidak bersalah.
Apapun yang ada di rumahnya langsung menjadi korban Kirana. Dia tidak hanya mengeluarkan sumpah serapah dengan mulutnya, tetapi Kirana sudah melakukan reog dan srimulat di kamarnya dengan bantal - bantal miliknya yang dia anggap sebagai Pak Rian, si dosen killer.
“Heh… dia kira orang di kampus hanya mengerjakan tugas dari dia? Apa hebatnya sih jadi dosen Fisika? Tahu banget aku gak pinter Fisika sama sekali. Kalau otaknya sehebat itu, kenapa dia ga ngajuin jadi penerima Nobel aja sekalian? Arghhhh… terus besok aku harus gimana? Sekarang sudah jam segini. Pertama, aku gak akan bisa bangun pagi. Kedua, aku gak bakal bisa ngerjain tugas sebanyak itu dalam semalam. Help!!!”, Kirana berteriak di kamarnya seperti orang gila.
“Kenapa lagi sih Ran? Pulang kampus kok langsung marah – marah begitu. Malu dong, kamu kan perempuan. Sudah kuliah lagi, masa kelakuannya masih seperti anak SD saja. Siapa sih yang kamu marah - marahin?.”, tanya ibundanya yang kebetulan lewat di depan kamarnya.
Tadinya, ibunda Kirana bermaksud untuk mengambil beberapa buah buku yang ada di ruangan samping kamar Kirana sekaligus mengajak anaknya untuk makan malam. Mendengar kehebohan dari ruang sebelah, ibundanya langsung berhenti di kamar Kirana.
Kirana membaringkan badannya di kasur dan bertumpu pada bantal guling. Sesekali dia melihat ponsel yang isinya kosong tanpa pesan dengan kesal. Pertama, Ghea sudah mengajak ribut perkara Radit. Kedua, hal itu didengar oleh cowok misterius yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Ketiga, dia harus diajar oleh dosen killer yang dia pikir tidak akan pernah ditemui lagi karena sudah berhasil mendapatkan kelas yang tentram dan damai. Siapa kira dosen itu malah menggantikan dosen yang seharusnya mengajar di kelasnya.
Keempat, dia yang sudah sangat menghindari dosen itu malah harus terlibat masalah dengannya mengerjakan setumpuk soal bodoh yang tidak disukainya. Plus, besok dia mau tidak mau harus kembali menemui pria itu. Eh, salah. Dosen itu.
Mendengar ibunya bertanya, Kirana langsung membalikkan badannya dan bersiap untuk sesi curhat.
“Gimana Kirana gak marah - marah kalau dosennya suka cari gara - gara, ma. Mama kan tahu perjuangan Kirana biar dapat guru Fisika yang tidak bawel dan kerjaannya nyusahin orang. Kirana sampe pasang WiFi yang bandwidthnya gede supaya bisa dapat kelas itu.”, Kirana bercerita dengan menggebu - gebu. Bahkan dia tidak memberikan titik koma sama sekali.
Mungkin semua kalimatnya tadi dia katakan hanya dalam satu tarikan nafas saja.
“Iya, mama tahu. Kamu sampai cari kerja sampingan untuk bisa masukin WiFi yang cuma kamu pakai satu bulan. Terus? Bukannya kamu ngabarin mama kamu akhirnya berhasil dapat kelasnya. Sekarang masalahnya dimana?”, tanya ibunda Kirana sambil meletakkan baju yang yang dia taruh sembarangan.
“Udah mama gak usah beresin. Nanti Kirana beresin sendiri. Itu cuma karena Kirana lagi marah aja makanya Kirana sengaja berantakan.”, kata Kirana yang merasa tidak enak melihat ibundanya mengutip satu persatu baju dan tasnya.
“Ya udah. Terus?”, kata ibunda Kirana sambil kembali duduk mendengarkan isi hari putri semata wayangnya.
“Sekarang ga ada gunanya, ma. Dosen itu tetap aja masuk ke kelas yang Kirana ambil. Alibi banget gantiin dosen sebelumnya.”, kata Kira masih dengan berdecak kesal setiap kali berbicara tentang dosennya.
“Ya, siapa tahu memang dosen yang sebelumnya berhalangan. Kok malah dibilang alibi, sih. Dia juga masuk mungkin sesi hari ini aja. Besok - besok enggak masuk lagi.”, kata ibunda Kirana menenangkan.
“Cuma dosen pengganti aja, dia udah kasih kita satu kelas PR yang luar biasa banyak. Terus besok harus dikumpul pagi - pagi. Kirana gimana ngerjainnya. Terus mama tahu, dia suruh Kirana kumpulin jam 6 pagi. Beda sama anak - anak lainnya, cuma karena Kirana ngomel pas dikasih tugas. Killer banget, kan dosennya.”, kata Kirana kesal.
“Siapa sih nama dosennya yang killer itu?”, tanya ibunda Kirana berusaha melanjutkan percakapan dengan putrinya agar rasa kesalnya hilang. Tanya - tanya sedikit dan mengobrol panjang mungkin bisa membuat amarah Kirana berkurang.
“Ada pokoknya dosen killer bin sadis yang Kirana gak mau ketemu lagi. Cuma dia alasan satu - satunya Kirana mau lulus 3.5 tahun biar ga liat muka dia lagi di kampus. Kesel pokoknyaaa.”, teriak Kirana sambil meremas bantal guling dihadapannya.
“Ya sudah.. Marahnya udahan. Saatnya kamu mandi terus makan malam. Setelah itu kerjain PR nya sebisa kamu. Besok kumpulkan. Yang penting ngerjain. Toh, yang akan menilai kan nanti dosen yang kamu enroll. Beliau hanya pengganti.”, kata ibunda Kirana.
‘Hm.. bener juga. Kenapa aku tidak berpikir kesana, ya. Memikirkan dia, membuat aku kesal sampai lupa kalau dia toh bukan dosen yang aku enroll. Yang akan kasih nilai kan dosen yang memang aku enroll. Ngapain pusing.’, pikir Kirana dalam hati.
Seketika itu juga, Kirana langsung berdiri dan mengambil handuk. Bersiap untuk masuk ke kamar mandi.
Meski Kirana masih tidak bisa melenyapkan rasa kesal dalam dirinya. Bayang - bayang aktor - aktor antagonis yang hari ini membuat harinya sulit bermunculan di kepalanya. Dia sudah bisa mengontrol emosinya. Dia simpan dulu amarahnya untuk dia luapkan nanti - nanti.
“Ya udah, kamu mandi dulu. Mama udah buatin jus kesukaan kamu, jus melon sayur. Mama tunggu di bawah ya. Kita makan malam bareng. Mama juga udah bikin Ayam Taliwang kesukaan kamu. Harus makan banyak pokoknya biar bisa menyelesaikan PR dari si dosen killer. ”, ibunda Kirana memang sudah menyiapkan jus ini untuk putrinya itu.
Setiap pulang dari kampus, ibunda Kirana pasti punya menu jus baru yang dia selang seling selama seminggu agar tidak bosan. Dia yakin dengan mengkonsumsi jus dan buah setiap hari bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Kesehatan kulit juga terjaga.
“Mama emang tahu kesukaan aku, tiap hari kayak gini kan enak ma, aku jadi nggak gampang marah – marah mulu.”, ucap Rana langsung masuk ke dalam kamar mandi.
“Lah, kan memang tiap hari. Tapi sepertinya kamu tetap tidak bisa mengendalikan amarah kamu yang suka meledak - ledak, ya. Sepertinya mama harus buat jusnya dua kali sehari.”, sahut ibunda Kirana sambil bercanda.
Kirana memang anak yang keras. Dia juga tegas. Meski seorang perempuan, dia tidak lantas kalem seperti anak - anak lainnya. Meski di rumah dan saat bersama teman - temannya dia sering meledak - ledak, tetapi Kirana adalah anak yang baik.
Dia rajin dan terbukti selalu berprestasi di sekolah. Awalnya dia sangat ingin untuk mengambil kuliah kedokteran, tetapi apa daya meski nilainya bagus, Kirana sulit untuk mendapatkan beasiswa.
Biaya kuliah sangat besar kalau harus ditanggung oleh ibundanya yang single parent sendirian. Meski kadang papanya yang sudah resmi bercerai saat dia masuk SMA, Kirana tidak bisa membebankan hal itu karena istri baru papa pasti akan mengganggu mama terus.
Jadilah Kirana mengambil jurusan Teknik Sipil. Dia tidak begitu tahu saat pertama kali mengambil jurusan ini. Perhatian pertamanya tetaplah di jurusan kedokteran. Tapi, saat ditekuni ternyata jurusan ini juga menarik untuknya dengan sendirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments