“Den Rian sudah pulang?”, tanya seorang wanita paruh baya di usia sekitar 60-65 membukakan pintu untuk seorang pria.
“Sudah, Bi. Saya mau langsung istirahat saja. Jadi tidak perlu menyiapkan makan malam. Bibi bisa langsung pulang.”, ucap pria itu langsung masuk dan naik ke lantai dua dimana kamarnya berada.
Dia adalah Rian Aksa Pandega, dosen di sebuah Universitas Negeri terkenal. Pria itu tinggal sendiri di rumah besar peninggalan kedua orang tuanya. Dia sudah tidak pernah bertemu dengan ibunya sejak kedua orang tuanya bercerai di masa muda mereka. Mungkin saat itu Rian masih berusia 4 tahunan.
Hak asuh Rian dipegang oleh ayahnya, seorang pengusaha sekaligus pemilik beberapa yayasan pendiri sekolah - sekolah swasta di Indonesia. Mereka hidup berdua sampai Rian menginjak usia 25 tahun dan berniat mengambil S2 di luar negeri.
Papa Rian berpulang beberapa tahun yang lalu saat usianya menginjak 32 tahun. Sekarang, dia hanya sendiri di rumah besar ini. Dia sudah beberapa kali berpikir untuk tinggal di apartemen saja, tapi hatinya tetap kembali pada rumah ini.
Wanita paruh baya tadi adalah Bi Risma. Dia warga sekitar sini yang sudah bekerja untuk mereka selama belasan tahun. Kira - kira semenjak papanya pindah dan membangun rumah besar ini disini. Sebelumnya, mereka tidak tinggal disini.
Meski bekerja disini, Bi Risma lantas tidak ikut tinggal disini. Setiap malam pukul 8, dia pasti pulang ke rumah setelah makan malam selesai dihidangkan. Kadang, jika seperti hari ini, Rian tidak makan malam di rumah, dia mungkin bisa pulang lebih awal.
Besoknya, Bi Risma akan datang sekitar jam 6 pagi. Mulai menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, kemudian pulang pukul 10 pagi dan kembali lagi ke rumah ini pukul 2 siang untuk bersiap makan malam atau jika ada pekerjaan lain seperti menyetrika yang bisa dia lakukan.
Sejak papa Rian tiada, jam kerja Bi Risma lebih fleksibel karena tak banyak yang harus dia kerjakan. Tapi, Rian tetap memberikan upah yang sama. Bahkan jika Bi Risma pulang lebih awal pun.
“Malam ini gak makan malam lagi, Den? Kemarin juga ga makan malam.”, ujar Bi Risma yang mulai mengkhawatirkan Rian.
“Tenang aja Bi. Tadi saya sudah makan di luar. Seperti biasa di dalam kulkas sudah stok makanan cepat saji kan? Atau yang bisa dihangatkan? Nanti kalau saya lapar lagi, saya akan ambil itu. Tidak perlu khawatir.”, Rian menoleh tersenyum sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke tangga atas.
Meski Rian tersenyum, tapi Bi Risma tidak merasakan pancaran kebahagiaan sama sekali dari pria itu. Bi Risma tak ingin mencampuri urusan majikannya lebih dalam. Dia kemudian segera berberes dan pulang.
Rian memasuki kamarnya, meletakkan tasnya di atas nakas dan duduk di pinggir kasur. Pandangan matanya tertuju pada frame foto yang berada di atas meja nakas. Frame itu tertelungkup.
Rian menatap frame itu tanpa mengembalikannya pada posisi semula. Posisi yang mungkin sudah tiga tahun lalu. Rian menatap frame itu seolah sudah hafal foto apa yang ada disana, siapa itu.
Dia kemudian menarik nafas dalam dan membaringkan tubuhnya dengan kaki masih menempel di lantai. Rian menatap langit - langit kamar. Tidak ada yang spesial di kamarnya selain dinding berwarna putih, lemari berisi buku - buku, meja rias, dan jendela besar yang saat ini sudah tertutup gorden.
Riang menatap langit - langit dengan pikiran kosong. Tidak, sebenarnya pikirannya kembali pada suasana di kelas tadi.
**********
“Kamu, ditambah lagi nasinya. Masa cuma segitu aja.”, kata ibunda Kirana yang melihat putrinya hanya mengambil satu centong nasi saja.
“Gapapa, ma. Kirana lagi diet. Kirana ambil nasinya sedikit, tetapi lauknya banyak, jadi mama tenang aja.”, ucap Kirana yang sudah mengedarkan pandangannya pada deretan masakan mamanya.
“Mama ada acara apa malam ini? Kok masak banyak sekali.”, kata Kirana heran.
Tidak seperti kebanyakan single parent yang mungkin pandai memasak, ibunda Kirana tak bisa memasak sama sekali. Hingga dua tahun lalu, mereka masih rutin memesan catering. Untuk berdua, seharusnya tidak mahal.
Ibunda Kirana bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Sebentar lagi dia mau pensiun. Dia bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore, bahkan kadang lebih kalau sedang lembur. Jadi, tak ada waktu untuknya belajar memasak, apalagi untuk memasak.
Sudah dua tahun ini, perusahaan tempat dia bekerja akan segera merger dengan perusahaan lain. Job desk ibundanya sekarang sudah banyak tergantikan dengan mesin dan digitalisasi. Dia tak lagi menerima banyak pekerjaan di kantor dan bahkan bisa sering pulang lebih cepat.
Untuk ukuran ibundanya yang sebentar lagi akan pensiun, itu sudah biasa. Sejak saat itulah, ibunda Kirana perlahan belajar masak dan sekarang setidaknya sudah bisa untuk yang basic - basic saja.
“Jadi, mama sudah memutuskan?”, tanya Kirana memberanikan diri.
“Oh? Memutuskan apa?”, tanya ibundanya yang masih belum menangkap kemana arah pembicaraan Kirana.
“Rencana setelah pensiun.”, ucap Kirana sambil memasukkan satu sendok potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Sudah. Mama sudah memutuskan.”, ujar ibundanya mantap.
“Apa?”, Kirana sangat bersemangat mendengarnya.
Beberapa bulan ini, ibunda Kirana sibuk memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah pensiun nanti. Meskipun, Kirana mengatakan pada mamanya untuk beristirahat menikmati masa tua, ibundanya menolak.
Padahal, Kirana sudah menjelaskan. Saat ibundanya pensiun, Kirana sudah lulus dan seharusnya sudah dapat pekerjaan. Jadi, dia sudah bisa menanggung biaya hidup mereka berdua.
Tapi, ibundanya tidak mau hanya diam saja. Lebih dari separuh hidupnya, beliau terbiasa bekerja. Masuk pagi pulang sore. Ketika aktivitas itu tak lagi ada, dia khawatir justru dia akan merasa bosan dan stress.
Oleh karena itu, beberapa bulan ini dia sibuk bertanya - tanya, membuat rencana, dan memilih apa yang akan dia lakukan setelah pensiun nanti.
“Mama mau buka usaha bunga.”, ucap ibundanya mantap.
“Bunga?”, tidak terkejut, tapi hanya heran.
“Hm.. bukan bunga potong. Tapi bunga hias. Mama mau buka usaha bunga hias yang bisa dibeli atau juga disewa.”, kata ibundanya dengan girang.
“Bukannya itu melelahkan?”, tanya Kirana masih bingung.
Dia tak begitu tahu tentang jenis usaha ini.
“Mama akan mempekerjakan karyawan. Mungkin untuk permulaan, satu dulu. Selebihnya mama bayar harian.”, kata ibundanya kemudian menjelaskan tentang model usaha ini.
Meski tak bisa memasak, tetapi ibunda Kirana senang bercocok tanam terutama bunga. Rumah mereka tidak begitu besar, tetapi memiliki pekarangan yang luas. Beruntung, dulu saat bercerai, papa Kirana tidak memasukkan rumah berikut tanah ini sebagai harta gono - gini. Rumah ini sudah dia wariskan pada Kirana.
Hitung - hitung sebagai rasa bersalah papanya karena sudah berselingkuh di belakang ibundanya.
“Bagus… tapi kalau satu karyawan kurang, mama pekerjakan satu lagi, ya. Pokoknya, mama gak boleh yang bagian angkat - angkat atau kerjaan yang bikin capek.”, ujar Kirana.
“Iyaa.. mama bagian perencanaan dan marketingnya, kok. Kamu tenang saja. Bahkan, mama sudah ada beberapa target customer. Jadi, sepertinya rencana mama setelah pensiun sudah matang. Makanya hari ini mama masak banyak.”, kata ibundanya.
“Mama kan pensiunnya masih dua tahunan lagi.”, kata Kirana bertanya sambil mengambil satu potong telor dadar gulung yang ada di tengah.
“Harus dari sekarang dimulai. Mama kan sudah punya banyak koleksi, tinggal lihat permintaan market bagaimana. Kamu nanti bantu bikin sosial medianya, ya. Mama gak ngerti kalau yang seperti itu.”, kata ibundanya mengambil satu potong perkedel dan meletakkannya di piring Kirana.
Jika putrinya tak mau makan nasi, hitung - hitung kentang bisa menambah karbohidratnya.
“Iyaa.. kalau itu serahkan ke Kirana. Plus, foto juga.”, ucap Kirana bahkan berpose seolah - olah sedang memotret,
Kirana memang sangat ahli di bidang fotografi. Di semester awal, saat masih semangat - semangatnya jadi mahasiswa, Kirana sering ikut hiking dan memotret keindahan pegunungan. Tetapi, karena ibundanya terlalu khawatir, Kirana jadi berhenti dan memilih untuk memotret perkotaan.
“Kamu benar - benar sudah tidak kontakan dengan dia lagi?”, setelah membicarakan hal - hal yang menyenangkan, ibunda Kirana mencoba untuk membuka topik yang sensitif.
“Siapa?”, tanya Kirana.
Meski dia sudah bisa menebak siapa sebenarnya yang sedang dibicarakan bundanya, tetapi dia memilih untuk kembali bertanya.
“Mantan suami kamu.”, jawab ibundanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
abdan syakura
Kiraaan...What's Going on?
aaaaaa penasaran.....
Lanjutttt kak Mosa....🤔🤔🤺
2023-05-15
1