Dosenku Mantan Suamiku
“Gue suka sama lo”, insiden pagi itu sukses menjadi berita heboh seantero kampus.
Bagaimana tidak? Seorang pria dan wanita sedang membuat suasana kampus yang biasanya tenang dan serius, mendadak menjadi drama bergenre romantis. Kejadian yang sudah lebih sepekan berlalu masih terus menjadi pembicaraan para mahasiswa seolah tidak ada masa expired-nya.
Ibarat channel gosip, headlinenya terus saja membahas hal yang sama berulang - ulang sampai ada berita fantastis lainnya. Adegan beberapa hari lalu juga begitu.
Seolah tak ada berita yang tak kalah fantastisnya dari situ, sampai - sampai semua orang di kampus membicarakan hal yang sama terus menerus.
Dari setiap sudut kampus terdengar kalimat itu lagi itu lagi. Adegan itu lagi itu lagi. Tatapan itu lagi itu lagi. Seolah mereka sedang kehabisan tugas kampus saja.
“Apa – apaan sih orang – orang. Hello... ini udah minggu keberapa? Kenapa omongannya masih nggak jauh – jauh dari berita basi itu.”
“Memangnya mereka kekurangan tugas? Ke kampus buat apa? Ngomongin berita cinta orang aja? Mereka kira uang kuliah dibayar dengan daun apa?”
Mereka tidak memikirkan orang tua mereka yang sudah susah payah menyekolahkan anaknya? Hah… aku geram.”, ucap Kirana, seorang gadis yang di tangannya memegang sebuah laptop serta sebuah laporan tugas yang sepertinya tidak kelar - kelar bagaimanapun dia berusaha menyelesaikannya.
“Na, bilang aja lo cemburu. Lo kan ngakunya udah lama tuh nge - gebet si Radit. Eh giliran dia ngungkapin rasa sukanya ke cewek lain, lo jadi diam seribu bahasa. Udah nggak berkicau lagi nih ceritanya?”, ujar Ghea, sahabat Kirana di kampus.
-Perkenalan Karakter-
Hai nama gue Kirana. Gue mahasiswa semester tiga di Fakultas Teknik sebuah kampus negeri terkenal di Indonesia. Gue mengambil jurusan Teknik Arsitektur Interior karena gak lolos masuk kedokteran.
Ini sahabat gue, Ghea. Doi juga ngambil jurusan yang sama.
Hampir terdiam seribu bahasa, Kirana hanya bisa menoleh ke kiri dan menatap tajam pada teman yang dia pikir adalah sahabat terbaiknya di kampus.
“Kenapa lo menatap gue begitu? Bukannya memang bener lo udah lama ngincer yang namanya ‘Radit’? Salah ya gue? Huh?”, ucapnya yang bukannya takut ditatap dengan mata membulat seperti itu, malah menantang dengan kalimat yang lebih pedas.
“Ihhhh ...apa - apaan, kapan gue pernah bilang kalo gue suka Radit? Ngarang banget lo, ya. Kalo lo bisanya ngarang, jangan masuk Fakultas Teknik. Masuk sana Fakultas Ilmu Budaya biar jadi penulis.”, balas Kirana sambil nge-gas.
“Nggak ada ya dalam buku sejarah gue yang namanya ‘Kirana suka sama Radit’. Enak aja main menyimpulkan sembarangan. Kalo orang bego lewat dan dengar yang lo sebutin, dia bisa nganggepnya bener. BAHAYA, Ghe.”, Kirana terus nyerocos membela diri sambil tangannya masih sibuk mengoleskan cream wash setitik demi setitik ke wajahnya.
Dia sudah meletakkan laptop dan laporannya dengan rapi di samping wastafel. Tentu saja dengan gaya marah - marah karena masih emosi.
“Sejarah? Lo aja berarti yang masuk Fakultas Ilmu Budaya. Pake bawa - bawa sejarah segala.”, ujar Ghea tak kalah lantang.
Saat itu toilet seperti milik mereka berdua. Mereka memang sengaja memilih toilet paling pojok dari ruang laboratorium. Hampir tidak pernah ada mahasiswa yang lewat disini. Ini membuat mereka menjadi lebih leluasa untuk berdandan.
“Iiih… susah banget ya perasaan ngomong sama lo. Sejarah, HISTORY, maksudnya sejarah hidup gue. Bukan sejarah dalam mata kuliah kampus. Perlu banget gue jelasin sejelas - jelasnya.”, Kirana masih mengomel dengan nada tegas. Namun, jari - jari lentik miliknya tetap bisa menempelkan krim ke wajahnya dengan lembut.
“Ah… bilang dong dari tadi kalau yang lo maksud itu adalah lembaran sejarah hidup lo. By the way, mau gue buka lagi lembar sejarah lo. Perlu gue putar pake film dokumenter? Biar lo inget kalo lo pernah suka sama Radit. Tunggu, bukan pernah sih, kayanya sekarang masih. Hahahhaha”, Ghea tertawa heboh sambil mencuci tangannya.
Toilet ini sudah menjadi tempat persembunyian mereka dan markas untuk bergosip. Karena memang sejarang itu ada yang menggunakan toilet ini. Tapi, mereka juga tidak pernah menyangka kalau kata ‘JARANG’ bukan berarti tidak ada yang lewat.
“Udah gue bilang kan, itu cerita lama. Buka hari baru dong. Masih aja ngomongin berita lama. Sekarang sudah abad ke berapa. Harus move-on.. Hello, kalau lo buka bisnis, sekarang udah ga tahu kemana perginya karena lo gak up-to-date.”, ujar Kirana dengan tangannya yang masih sibuk. Entah mau berapa lapis dia mengenakan krim itu.
“Tadi bilangnya nggak ada dalam sejarah, sekarang bilangnya udah cerita lama, yang konsisten dong. Cemburu bilang aja. Gak usah malu – malu kali, Ran. Lo bilang ‘MOVE-ON’, kan? Bener dong lo pernah suka sama Radit.”, meski tak terlihat memperhatikan, ternyata Ghea mengomentari kata per kata dari Kirana.
“Gue nggak cemburu. Catet baik - baik. GUE GAK CEMBURU. Jangan asal ngomong dong. Lagian apa bagusnya sih si Radit itu. Poin dia tuh cuma di jabatannya doang, K-E-T-U-A B-E-M Kampus. Selain itu, apa lagi? Gak adaaa”, kata Kirana menegaskan.
Dia bahkan tidak segan - segan menggunakan gestur tangan dan ekspresinya untuk mempertegas pendapatnya. Lalu, dia kembali fokus dengan dandanannya.
“Anak basket?”, ucap Ghea lagi antara ingin memastikan dan menjahili.
“Ehm.. ya.. itu juga. Cuma itu doang kan? Heh.. basket mah semua laki - laki juga bisa. Gak cuma Radit doang.”, Kirana mengalihkan wajahnya sekilas ke arah Ghea dan mengakuinya sambal ragu - ragu.
“Tajir?”, ucap Ghea lagi yang sudah menaikkan jarinya yang ketiga untuk mendaftarkan satu per satu keunggulan Radit, laki - laki yang mereka bicarakan.
“Yah, cuma itu kan? Tajir mah bokapnya. Bukan dia. Jangan samakan tajir dari lahir sama tajir penjajakan, ya. Beda!”, kata Kirana lagi tidak mau menyerah meski sekarang Ghea sudah mengangkat jarinya yang ke-empat.
“Cakep, putih, tinggi semampai, kaya model internasional, bersahaja, kekar? Apa perlu gue pake jari kaki? Udah gak cukup nih mau daftarin keunggulannya si Radit”, Ghea terus saja mentrigger kemarahan temannya.
“Aahh serah lo dah. Rasa gue ama dia udah lama hilang.”, sanggah Kirana lantang.
Kirana sudah kehilangan kata - kata. Dia ingin menyangkal tetapi mau bagaimana. Perkataan Ghea, sahabatnya barusan ada benarnya juga. Dia juga tidak bisa tidak mengakui hal yang benar adanya.
Kalau dipikir - pikir sekali lagi. Radit memang tampan. Tingginya lumayan. Dia bukannya orang sembarangan di kampus. Ketua BEM yang bisa memikat hati siapapun. Bukan lagi BEM Fakultas tetapi BEM satu universitas. Gimana gak keren?
“Nah, udah ngomongin rasa nih. Berarti pernah ada dong, rasanya. Kapan rasanya? Gimana rasanya?”, ucap Ghea terus menjahili Kirana yang sudah selesai mengoleskan krim di wajahnya.
“Lagian, apa bagusnya juga cewek yang ditembak sama Radit. Kaya gak ada cewe lain aja di kampus ini.”, Kirana memasukkan kembali krimnya ke dalam tas dan merapikan laptop dan laporannya di tangannya.
Semakin Kirana menyangkalnya, semakin terlihat kalau sebenarnya Kirana mungkin punya rasa terhadap Radit. Atau, Kirana hanya tidak bisa mengutarakan maksudnya sehingga membuat sahabatnya salah paham? Atau dia hanya tidak bisa dibilang kalah dengan perempuan yang sekarang sudah resmi menyandang status ‘Pacar Radit’. Yang mana nih kira - kira?
“Cuih, cemburu bilang aja, jangan disembunyiin. Ntar jatohnya nyesek lo, Ran.”, kata Ghea.
Dia masih tidak ingin menyerah.
Ghea, entah sahabat atau bukan. Sedari tadi dia sangat bersemangat untuk memanas - manasi Kirana. Bukan Ghea namanya kalau mengalah tentang urusan perdebatan rasa ini. Mereka belum bersahabat lama tetapi sudah sangat akrab semenjak Ghea dan Kirana berada dalam satu kelompok Ospek yang sama.
Mereka punya sejarah simbiosis mutualisme di jaman itu. Sehingga, persahabatan mereka juga terbilang unik.
“Waaah ni orang ngajak ribut, sini lo...”, kata Kirana sambal menunjuk – nunjuk ke arah Ghea.
Kedua gadis yang mengenakan celana jeans dan kemeja formal itu masih saling bergurau satu sama lain sembari sibuk merapikan diri mereka untuk persiapan presentasi tugas di kelas nanti. Satu gadis sibuk merapikan rambut yang tatanannya yang sebenarnya tidak pernah berubah meskipun sudah disisir ratusan kali. Satu lagi sibuk menyemprotkan parfum ke bajunya.
Begitu asyiknya membicarakan masalah pribadi mereka di depan toilet hingga tak sadar pada keberadaan orang lain. Bahkan sampai Kirana yang sudah selesai dengan ritual siangnya menabrak seseorang. Terasa sekali dada bidang dan tubuh tegapnya, karena setelah menabrak pun tubuhnya masih santai dan tak bergeming.
“Anggap gue nggak denger apapun.”, kata seorang cowok yang tiba – tiba berjalan melewati toilet wanita, tepat saat peri – peri gosip itu meluncur keluar toilet.
Belum lagi Kirana sempat menoleh, pria itu sudah mengucapkan satu kalimat. Bukannya terdengar biasa, kalimatnya justru membuat dia terdengar lebih mencurigakan.
Pria itu juga langsung pergi. Lebih tepatnya berlari terbirit - birit karena sepertinya dia sudah mendengar hal yang tidak seharusnya dia dengar.
Kirana dan Ghea hanya bisa saling bertatap - tatapan.
Wajah mereka merah padam, antara ragu, bingung, dan malu pada kemungkinan kalau pria tadi mungkin sudah mendengar semua perkataan mereka hari ini.
“Ghe, dia nggak denger apa yang kita omongin kan?”, kata Kirana dengan wajah khawatir.
Kirana, gadis ini memang tidak begitu mempedulikan apapun yang orang lain katakan. Tetapi, kalau untuk urusan romansa di kampus, apalagi kalau hal ini berhubungan dengan Radit, dia juga tidak bisa tinggal diam.
Bagaimana kalau pria tadi mengatakan pada yang lain. Bagaimana kalau dia malah salah paham? Ah… tidak mungkin. Memangnya bisa terdengar keluar. Dia saja mengatakan untuk menganggap dia tidak mendengar apapun.
‘Menganggap berarti benar - benar dengar?’, Kirana bersusah payah untuk meyakinkan dirinya sekuat tenaga kalau cowok tadi tidak mendengar apapun atau bahkan salah paham.
“Menurut lo?”, jawab Ghea dengan nada tak menyakinkan.
“Aahhhh bodo! Gara – gara lo sih.”, Kirana langsung menuduh Ghea sambal mengeluarkan nada ngegas dan muka bete-nya.
“Loh kok jadi gara – gara gue. Orang yang suaranya kaya toak tuh elu.”, lagi - lagi, bukan Ghea namanya kalau dia mengalah begitu saja.
“Tunggu, tapi cowok tadi sepertinya bukan dari fakultas kita deh? Atau bukan dari angkatan kita? Kok perasaan wajahnya gak gue kenal sama sekali?”, tanya Kirana yang akhirnya bisa berpikir jernih setelah tadi kalang kabut harus bagaimana mengendalikan situasi ini.
“Bener juga. Kalau dipikir - pikir gue baru pertama kali melihat cowok tadi? Apa adik kelas ya?”, sekarang Ghea pun ikut bertanya - tanya.
“Gak mungkin, walaupun lo jarang ngampus, tapi gue sering. Gue juga anak BEM Fakultas, jadi junior sampai senior gue apal. Dan anak tadi sepertinya bukan.”, Kirana sangat sangat dengan dirinya.
“Bener juga. Lo pasti apal. Atau mungkin dia anak fakultas lain?”, Ghea mulai mengeluarkan berbagai asumsi yang ada di kepalanya.
“Ngapain anak fakultas lain disini? Pake nguping dekat toilet lagi.”, Kirana tak bisa menerima begitu saja asumsi dari Ghea.
“Biasalah. Mungkin ceweknya anak fakultas sini dan lagi jemput atau mau makan bareng. Kan sering. Atau lagi ada keperluan apa gitu.”, kata Ghea kembali menguatkan dugaannya di awal.
“Bener juga. Artinya dia gak bakal kenal dong sama gue, apalagi Radit. Jadi aman dong.”, kata Kirana tersenyum lega.
“Hn. Untuk sementara bisa kita anggap begitu.”, ucap Ghea.
“Loh, kok untuk sementara sih?”, Kirana tak menerimanya.
“Ya mau gimana. Kan kita belum mendapatkan jawaban pastinya.”, lagi - lagi mereka berdebat untuk yang ke sekian kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Uthie
keep 👍
2024-02-02
0
Enung Samsiah
masa ngobrol d toilet smpi 1 bab, membosankan
2023-11-24
0
Eliani Elly
baru mampir
2023-10-03
0