Kirana sudah lelah celingak celinguk sedari tadi, namun dia tetap tak bisa menemukan Rian, Dosen Fisika Dasar di kantornya. Tidak hanya Fisika Dasar, pria itu juga merupakan dosen andalan untuk beberapa mata kuliah tingkat atas untuk mahasiswa S2 juga. Bahkan mayoritas, sepertinya dia lebih banyak mengajar mahasiswa S2.
‘Apa aku tinggalkan di mejanya saja, ya?’, Kirana berpikir, toh dia sudah tahu mejanya dimana, kenapa tidak dia taruh saja disana.
‘Tidak, tidak. Bagaimana kalau nanti dia tidak tahu aku mengumpulkan disana. Bagaimana kalau nanti bertumpuk dengan dokumen lain? Aku harus mengantarnya langsung.’, sisi Kirana yang lain mengatakan hal sebaliknya.
‘Kirana, memangnya kamu mau kembali berbicara dengannya? Sejak pria itu menginjakkan kaki di kampus ini, kamu tidak pernah mengajak, diajak, berinteraksi, atau bahkan sekedar bertatapan dengannya. Sekarang apa kamu yakin kamu bisa kembali berbicara seperti biasa padanya?’, bathin Kirana sekarang sedang berdebat.
Setiap kemungkinan keputusan yang dia ambil memberikan konsekuensi yang berbeda.
‘Bagaimana kalau dia ternyata mengungkit kembali masalah. Tidak, apa haknya untuk mengungkit hal yang bahkan sudah lebih dari dua tahun yang lalu terjadi. Kirana, keputusan dia kembali ke sini tidak ada hubungannya dengan kamu. Tidak sama sekali. Berhenti bermimpi.’
‘Mimpi? Memangnya aku bermimpi untuk dia masih memikirkanku. Oh come on, Kirana, sepertinya kurang tidur membuat kamu berpikir terlampau berlebihan. Ini hanya tentang kamu mengumpulkan tugas saja. Bukan hal lainnya.’, gadis ini benar - benar sedang perang batin dalam dirinya.
‘Ya sudahlah, daripada kelamaan mikir, lebih baik aku tunggu saja. Lagipula kan semakin siang nanti akan ada dosen lainnya yang datang.’, Kirana akhirnya bisa memutuskan sesuatu setelah sibuk berpikir dengan keras dari tadi.
Gadis itu duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan dosen tersebut. Sepertinya sofa baru berwarna hijau. Dia tidak tahu kalau di ruangan dosen ada juga furniture yang millennial seperti ini. Jarang - jarang dia bisa melihat ada furniture sofa berwarna hijau daun di dalam ruangan dosen yang notabene dari kampus negeri ini.
Biasanya kalau tidak coklat tua pasti merah. Kirana melepaskan tasnya dan menaruhnya di samping sambil memposisikan duduknya agar lebih nyaman.
2 menit, 4 menit, Kirana melihat jam tangannya. Dari yang tadinya hanya duduk biasa seperti orang yang sedang menunggu antrian, Kirana perlahan mencoba merebahkan punggungnya ke bagian belakang sofa.
Bahan sofa yang halus, masih baru, ruangan yang wangi, suasana dingin yang tenang, dan rasa lelahnya setelah mengerjakan sebegitu banyaknya soal Fisika membuat mata Kirana perlahan - lahan menutup.
Sesekali ia terlihat kembali membukanya karena merasa dia tidak boleh tertidur. Satu kali, dua kali, tiga kali, dia masih bisa menahannya. Namun sekarang sepertinya matanya sudah semakin berat hingga terlelap. Nafasnya beraturan seolah ruangan tersebut adalah kamarnya dan sofa itu adalah tempat tidurnya yang nyaman.
Kirana sudah berhasil tertidur pulas. Dia sudah tidak sadar pada keadaan sekitarnya sama sekali. Seolah terbawa ke dimensi yang berbeda.
***********
“Oke, kemaren udah nyampe mana?”, akhirnya Kirana yang sudah sampai di cafe memulai rapat mereka.
Rapat yang sudah tertunda sehari kemarin akhirnya berhasil mereka lakukan hari ini. Semua anggota tim setuju untuk berkumpul sore ini di Cafe tempat mereka berkumpul kemarin malam. Salah satu alasan utamanya adalah proposal yang sudah di acc dan Radit selaku ketua BEM kampus yang juga ikut memantau perkembangan proker fakultas.
“Oh .. jadi gini, kita bakal bikin setting-nya jadi 3 panggung. Panggung MC, tema tempo dulu ama kekinian. Jadi gampang buat pengisi acara untuk masuk, dalam artian pas kita bolak balik era, tinggal pindah - pindah view panggungnya aja. Nah untuk ngedapetin panggung yang bagus gitu, dananya juga pasti bakal banyak. Gimana menurut lo?”, pembicaraan makin serius.
Sang presentator mulai memindahkan kursor untuk memberikan gambaran ilustrasi melalui laptop miliknya.
“Masalah dana gue rasa gampang – gampang aja selama donatur kita banyak dan cewe gue juga ortunya bakal donaturin ini kok. Jadi tenang aja.”, teman – teman yang lain suit – suit begitu Radit bicara tentang cewenya.
Ya, disisi lain, salah satu alasan yang membuat mereka setuju anak BEM kampus apalagi ini ketua BEM datang ke rapat ranah fakultas mereka adalah karena pacar Radit terkenal rutin memberikan donasi untuk acara - acara kampus.
Jadi, bagian keuangan tidak terlalu sulit untuk mencari dana besar.
‘Tuhkan mulai lagi’, ujar Kirana dalam hati.
“Oke deh kalo gitu. Jadi kita tinggal ngerencanain acara ama setting kedatangannya. Jadi tu gue mau kayak premier gitu, ntar yang datang bakal ada MC yang menyambutnya trus ada sesi foto - fotonya dari anak fotografer, ntar bakal tanda tangan di poster premiernya bla bla bla.......... ”, tutur Kirana menjelaskan.
Kirana berusaha menjelaskan secara detail agar anggota yang lain bisa memvisualisasikan idenya di kepala mereka. Dia juga ingin terhindar dari kesalahpahaman yang menghambat acara. Jadi, Kirana harus bisa memastikan semua mengerti dengan idenya.
Lama Kirana menjelaskan semuanya sampai mulutnya mati rasa dan bergerak menyeruput es lemon tea yang tadi di pesannya. Kafe ini adalah kafe pertama di dekat kampus mereka dan memang sudah tidak ada kafe lain.
Kafe ini banyak digunakan untuk rapat BEM fakultas dan kerja kelompok. Suasananya identik dengan suasana kampus jadi mereka sudah merasa ini rumah mereka.
Tiga jam lebih mereka membicarakan tentang acara pagelaran teknik yang dibalut dengan sastra kampus yang bakal diadakan 6 bulan dari sekarang. Kirana terpilih menjadi Project Officer acara ini karena ide – idenya yang briliant selama 2 tahun terakhir di dunia BEM.
“Abis ini lo ada rencana apa Ran?”, Radit menghampirinya di depan kafe. Ia tampak tengah merapikan letak tas raket tenisnya, sejak insiden itu ia memang beralih menjadi pemain tenis dibandingkan Basket. Padahal Rana sangat terkesima waktu melihatnya bermain basket saat mereka masih maba dulu.
“Gue mau beli earphone titipan sepupu gue, katanya waktu itu dia lihat di toko sekitar sini, cuma nggak ada kesempatan buat beli.”
“Oh... mau gue temenin. Gue juga mau beli sesuatu.”, ujar Radit yang ditatap serius oleh Kirana.
Kirana sedikit mengernyit heran mendengar tawaran Radit. Mengingat tak biasanya ia seperti ini padanya. Setidaknya setelah beberapa bulan yang lalu. Dulu, Radit begitu akrab bahkan sempat dikira berpacaran dengan Kirana. Tapi tak ada perkembangan yang jelas seputar hubungan mereka.
“Oh..boleh kok boleh. Tapi lo yakin nggak bakal ada yang marah nih?”, Kirana memang nyaman dekat Radit dan sangat suka ajakan ini. Tapi, dia juga tidak ingin ada yang salah paham.
“Maksud lo? Nyantai aja kali.”, jawab Radit berusaha untuk memastikan semuanya akan baik - baik saja.
Tanpa disadari nya, sepasang siluet halus memandanginya dengan tatapan nanar seolah tak mampu menyentuh rembulan yang sinarnya begitu menyilaukan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Eliani Elly
next
2023-10-05
0