Nisa Hilang

Hari ini, entah mengapa Mama dan Ayah sangat cemas. Satu-satunya yang dipikirkan ialah bagaimana cara mengusir makhluk tak kasat mata yang ada di rumah. Semua usaha telah dicoba namun gagal. Kali ini, Mama menyuruh Anita dan Dio untuk izin dari sekolah. Entah mengapa, di hari ini perasaan Mama tidak enak. Begitupun dengan Dio dan Anita, sebenarnya mereka merasa takut. Namun, kenyataannya harus dihadapi. Mereka berharap hari ini tidak terjadi apa-apa.

"Ma, Ayah berangkat ya."

"Iya hati-hati di jalan ya, Yah."

"Iya, anak-anak di mana?"

"Anita dan Dio sedang menjaga Nisa di kamar. Disuruh sarapan, katanya belum mau makan."

"Kebiasaan anak-anak, nanti kan perut mereka sakit."

"Sebentar, aku panggil anak-anak dulu. Sekalian aku suruh sarapan lagi."

"Iya."Akhirnya, Mama memanggil Anita dan Dio, tidak lupa untuk menyuruh mereka menggendong Nisa.

"Anita, Dio, ayo ke sini. Ayah mau jalan. Jangan lupa Nisa digendong."

"Iya, ma," sahut Anita.

Tidak berapa lama, mereka sudah ada di ruang keluarga. Mereka menyapa Ayah yang hendak berangkat.

"Ayah, nanti pulangnya jangan terlalu malam."

"Iya, nanti kalau ada apa-apa, telepon Ayah."

"Iya, Ayah," jawab Anita.

Setelah Ayah berangkat, Mama menyuruh Anita dan Dio untuk makan, sedangkan Anita bersama Mama.

"Ayo, Anita dan Dio, kalian makan dulu sana."

"Tapi, ma, aku belum lapar," jawab Anita.

"Udah, makan sekarang saja. Nanti malah nggak ada waktu."

"Ya, baiklah, ma," jawab Anita.

Dio hanya mengikuti saja perintah mamanya, karena sebenarnya cacing di dalam perutnya sudah berontak. Saat mereka sedang makan, sendok yang ditaruh di piring tiba-tiba jatuh ke lantai. Anita merasa itu pasti ulahnya Dio.

"Dio, kamu bisa nggak sih kalau lagi makan nggak iseng?"

"Apa sih, Kak? Aku salah mulu kalau dekat Kak."

"Ini sendok aku pasti kamu yang melempar."

"Siapa juga yang melempar sendok?"

"Terus, kok ini sendok bisa jatuh?"

"Mana aku tahu, Kak."

Anita terdiam. Dia bingung, siapa yang menjatuhkan sendoknya ke lantai. Akhirnya, Anita berusaha cuek. Dia tak menghiraukannya. Namun, tak berapa lama, kejadian aneh terjadi lagi. Dio ingin mengambil gelas yang ada di depannya. Di saat dia ingin mengambil gelas itu, gelas itu bergeser dengan sendirinya.

"Loh, kok?"

"Kenapa, Dio?"

"Gelas aku kok bergerak sendiri, Kak."

"Ah, itu hanya perasaan kamu saja."

"Beneran, Kak. Aku lihat sendiri."

"Ya, udah diemin aja. Anggap saja gelasnya kegeser angin."

"Angin mana bisa geser gelas yang ada isinya?"

"Angin Mamiri, atau angin kentut. Ahahaha."

"Ih, Kakak nih."

Sebenarnya, dalam hati Anita ada rasa takut yang sangat. Jantungnya berdegup sangat cepat, dan bulu kuduknya mulai berdiri. Untuk menghilangkan rasa takutnya, Anita menghibur dirinya sendiri.

Setelah mereka selesai makan, mereka kembali ke kamar untuk menjaga Nisa. Seperti biasa, Nisa sedang bermain boneka kesayangannya. Kali ini, rumah sangat terasa panas. Entah ada berapa banyak makhluk tak kasat mata yang ada di rumah.

"Kalian sudah selesai makan?"

"Iya, sudah, Ma," jawab Anita.

"Ya, sudah. Mama titip Nisa, karena Mama mau mencuci baju."

"Iya, Ma."

Kini, tinggal mereka bertiga di dalam kamar. Hawa di dalam kamar semakin tidak karuan. Keringat mengucur dari dahi Anita, Dio, dan Nisa.

"Dio, kok hawanya panas banget ya? Kamu ngerasain nggak?"

"Kakak nggak lihat keringat ngucur begini?"

"Iya, Nisa juga berkeringat. Padahal, AC sudah nyala, baru dibersihin juga kemarin."

"Iya, Kak, kenapa ya, Kak?"

"Nggak tahu, aku juga."

"Kamu lagi main apa?" tanya Anita.

"Aku lagi main boneka."

"Kakak boleh ikut main?"

"Sebentar ya, Kak."

"Kamu mau ngapain?"

"Aku mau tanya, Kak."

"Kakak siapa? Kak Dio?"

"Bukan, Kak. Aku mau tanya sama teman aku, soalnya kalau dia nggak mau main sama Kakak, nanti dia marah."

Lagi-lagi, makhluk itu mengganggu Nisa. Seketika itu juga, Nisa dan Dio merasakan bulu kuduk mereka berdiri.

"Kak, kok aku jadi merinding."

"Emangnya kamu doang, aku juga merinding."

"Gimana nih, Kak? Apa kita harus lari?"

"Tapi, Nisa gimana?"

"Bawa saja, Kak, digendong."

"Oke, kita hitung ya. Hitungan ketiga, kita lari."

Anita pun mulai berhitung. Mereka bicara sambil berbisik tanpa diketahui Nisa. Pas di hitungan ketiga, Anita langsung menggendong Nisa dan berlari keluar kamar menghampiri Mamanya. Berbarengan saat mereka lari, Nisa berteriak.

"Kaakaaaaaaak, jangan bawa aku keluar dari kamar. Nanti teman aku marah."

"Nggak ada teman kamu, Nisa."

"Ada, Kak. Nanti, kalau dia marah, dia akan mencelakai kita."

"Nisa, dengar kakak ya. Teman kamu itu tidak ada. Dari tadi, kamu main sendirian."

"Ada, Kak."

Kali ini, Nisa menangis. Mama yang mendengar suara lari-lari dan suaranya yang menangis, langsung menghampirinya.

"Ada apa, Anita?"

"Ma, makhluk itu datang lagi, mengganggu Nisa. Aku takut, Ma, di kamar, akhirnya aku memutuskan untuk membawa Nisa keluar dari kamar. Tapi, Nisa malah menangis."

Akhirnya, Mama langsung menggendong Nisa, dan mencoba menenangkannya.

"Nisa, kamu lihat apa, Nak?"

"Kak Anita membawa aku keluar kamar, padahal aku lagi main sama teman aku."

"Nisa, nggak ada orang lain selain Kak Anita dan Kak Dio."

"Ada, Ma. Sekarang, teman aku sudah marah."

"Marah kenapa?"

"Kak Anita membawaku pergi begitu saja. Kalau aku main dengannya, aku nggak boleh pergi. Kalau aku pergi, nanti dia mencelakakan kita semua."

"Maksudnya?"

"Iya, Ma. Aku harus main dengannya, nanti dia mencelakakan kita."

Bagai disambar petir setelah mendengar penjelasan Nisa, Mama sedikit tidak percaya. Namun, bagaimana jika itu menjadi kenyataan? Lalu, sekarang, harus bagaimana? Seketika itu juga, barang yang ada di meja makan terlempar begitu saja. Mama dan Anita berteriak, sedangkan Dio berusaha untuk tenang dan mencoba untuk menelpon ayah.

[Hallo Dio.]

[Ayah cepat pulang yah.]

[Ada apa Dio?]

[Dirumah sedang kacau yah.]

[Ayah pulang sekarang.]

Namun dalam hitungan menit tiba-tiba saja, barang tidak lagi terlempar. Sekarang, Nisa yang menghilang.

"Ma, Nisa ke mana, Ma?"

"Hah, Nisa?!"

Mereka akhirnya mencari Nisa ke seluruh ruangan, namun Nisa tak ditemukan. Mama langsung menangis karena Nisa yang sebelumnya ada di sampingnya, mendadak menghilang. Mama, Anita, dan Dio mencari Nisa ke seluruh ruangan. namun Nisa tidak ditemukan.

"Nisaaaa, anakku," sambil menangis terisak.

"Sudah, Ma. Mama tenang dulu. Kita cari sekali lagi, mungkin Nisa sedang ketakutan," ujar Anita mencoba menenangkan ibunya.

Mama hanya menangis terisak-isak tanpa mengeluarkan suara. Ada rasa menyesal karena tidak menggendong Nisa tadi. Akhirnya, Mama, Anita, dan Dio hanya duduk di ruang tamu, menunggu ayahnya pulang dari kantor.

Terpopuler

Comments

Niswah

Niswah

gak pernah sholat sama ngaji sih

2023-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!