Angga dan Rika menghabiskan akhir pekan dengan mendaki gunung. Kedua sampai di puncak tanpa hambatan sama sekali. Mereka menjadi pusat perhatian karena gelak tawa mereka yang menarik tatapan para pengunjung lain. Jadilah mereka harus dengan segera menghentikan tawa mereka dan bersikap biasa.
Angga merasa kalau Rika sudah lebih baik sekarang. Gadis itu bisa tertawa lepas dan tak lagi menghindari tatapan dari orang lain. Yah, mungkin saja mereka akan berhenti melakukan hal seperti ini dan kembali menjalani hidup masing-masing seperti dua orang hanya pernah saling mengenal. Menyapa saat berpapasan, tapi tak akan menghubungi satu sama lain karena sudah tak ada urusan.
"Ayo kita turun. Sebelum matahari semakin tenggelam," ajak Angga. Pemuda itu melirik jam tangannya, sudah pukul tiga, berjalan santai saja butuh waktu setidaknya kurang lebih sampai dua jam. Jadi kalau mereka turun sekarang, mereka akan sampai di bawah tepat pukul lima sore. Tak terlalu terlambat untuk turun gunung kalau jam segitu, tak mungkin juga ada bahaya karena masih siang.
"Tak bisakah kita menyewa peralatan berkemah? Biar aku yang bayar," tukas Rika yang enggan untuk turun gunung. Dia ingin melihat pemandangan malam dari atas sini. Pasti indah kalau melihat jutaan bintang yang berkelip di langit malam dari tempat setinggi ini.
"Jangan aneh-aneh! Ayo, bergerak sekarang!" tukas Angga tak terpengaruh sama sekali.
"Coba pikirkan ini! Jarang-jarang kan kita bisa begini? Kenapa kita tak menggunakan kesempatan ini untuk menikmati keindahan alam di malam hari, hmm?" bujuk Rika tak mau menyerah.
"Oh, kamu benar," timpal Angga seolah setuju. "Tapi kita bisa melihat hal seperti itu dari ponsel di tempat yang lebih aman, misalnya di rumah kita sendiri!" lanjutnya sambil tersenyum. Senyum yang terlihat menyebalkan di mana Rika.
Setelah perdebatan yang menghabiskan waktu kira-kira lima belas menitan, akhirnya Rika yang kalah dengan telak. Semua alasan yang dia berikan ditolak mentah-mentah. Angga selalu memiliki kata sanggahan agar Rika tak bisa berkutik dan selalu tersudut dibuatnya. Dengan tampang kesal, wajah cemberut, serta bibir yang tak berhenti misuh-misuh, Rika berjalan sambil menghentakkan kakinya. Angga tahu kalau gadis yang mengikuti dirinya dari belakang ini sedang kesal, tapi dia tak mau mengambil resiko menghadapi bahaya kalau menginap di alam terbuka.
Memang gunung yang mereka daki hari ini adalah tempat wisata. Tapi hutan tetaplah hutan, banyak tepat tersembunyi yang tak bisa dijangkau oleh tangan manusia. Tak ada jaminan kalau mereka akan tetap aman tanpa terlibat masalah. Seperti petuah dari neneknya dulu, lebih baik mencegah dari pada menyesal karena tak bisa menghindar.
"Aku capek!" keluh Rika begitu mereka sampai di bawah. Gadis itu duduk dengan asal di atas tanah tanpa memikirkan baju yang dia gunakan pasti akan kotor.
Angga mengedarkan pandangannya, lalu mata pemuda itu berhenti di tempat makan sederhana. "Ayo, kita ke sana sebelum pulang," ucapnya sambil menunjuk tempat yang dia maksudkan.
Rika menggeleng pelan. "Aku udah gak kuat jalan lagi," keluhnya tak bergerak sama sekali dari tempatnya.
"Ya, gak mungkin kan kalau kamu minta gendong ke aku?!" bisik Angga pelan.
Rika mengernyit risih. "Ya, gak lah?!" timpalnya cepat. "Biarin aku istirahat seperti ini lebih lama, baru kita ke sana. Itu maksud aku!" lanjutnya menatap kesal ke arah Angga.
"Wk-wk-wk, aku kira kamu bakalan minta gendong karena gak kuat jalan," kekehnya menertawai wajah Rika yang cemberut kesal hanya karena tebakan salah yang dia lakukan barusan.
"Jangan ketawa! Gak lucu, tahu?!" dengan Rika membuang muka.
Angga berdehem pelan, menatap ke arah lain. "Oke, aku diam," ucapnya sambil mengulum senyum. Yah, dia merasa harinya tak pernah buruk kalau dihabiskan bersama dengan Rika.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Angga mengantar Rika pulang. Sebelum masuk ke dalam, Rika mengingatkan Angga untuk mengabarinya kalau sudah membuat keputusan perihal menemani dirinya ke acara perusahaan. Angga pun mengangguk mengiyakan, berjanji akan memeriksa jadwalnya dan mengabari Rika secepat yang dia bisa.
Baru saja Angga akan memutar kemudi untuk kembali ke rumahnya, ponselnya berdering menyita perhatiannya. Rupanya bosnya mengirim pesan untuknya. Bosnya menyuruh Angga untuk datang ke alamat yang dia kirimkan dengan cepat.
Angga menatapi penampilannya. Baju santai, cek. Keringat jelas banyak. Rambut lepek dan berdebu, sudah tak usah ditanya. Bau tak sedap yang menguar, tak perlu diragukan. Intinya, kalau dia harus langsung datang, dia bisa berubah menjadi bom berjalan yang membuat orang di sekitarnya pingsan seketika.
Pemuda itu pun membalas kalau dia butuh beberapa waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Sayang, hal itu ditolak oleh bosnya. Mau tak mau, Angga mengangkat bahu dan menutup matanya, dia pergi dalam keadaan yang serba wow kalau memang dirinya harus dijadikan senjata mematikan untuk membuat lawannya kalah.
Sampai di tempat tujuan, Angga mengirimi pesan pada bosnya kalau dia sudah sampai. Pelayan di sana sibuk melirik ke arah Angga yang memakai pakaian santai di tempat mewah seperti ini. Ingin mengusir, tapi orang yang menjadi penunjuk jalan saja terlihat berkelas. Akhirnya para pelayan itu membiarkan, mereka berpikir kalau Angga mungkin merupakan salah satu anak orang kaya yang sedang menyamar atau memang pada dasarnya dia suka bersikap santai seperti itu.
"Ayo, duduk di sini!" sambut Deni ramah. Angga sudah dianggapnya sebagai anak atau saudaranya sendiri karena pemuda itu sudah menolong neneknya. "Maaf, kalau aku memanggil kamu begitu tiba-tiba dan tak membiarkan kamu bersiap," tambah pria itu terkekeh, memamerkan deretan gigi-giginya yang terlalu putih menyilaukan.
"Tak apa, saya lagi deket di sini, kok pak saat saya menerima pesan dari bapak," tukas Angga sopan.
"Kamu mau pesan apa? Pesan saja dulu, nanti kita bicara lagi,"
Angga tak enak menolak padahal dia sudah kenyang. Yah, pola pikir lama kembali terbuka. Selalu ada tempat untuk makanan, semua ada sekatnya masing-masing. Jadi tak usah khawatir.
"Begini, apa kamu ada waktu jum'at nanti sepulang kantor?"
"Akan saya luangkan kalau memang penting, bos!" balas Angga cepat. Dia memang sering memanggil bos, tapi juga tak jarang memangil bapak pada Deni.
"Kalau kamu sudah ada janji juga tak masalah. Mari buat janji di lain hari," tukas Deni tak ingin membebani Angga.
"Tidak ada, bos. Saya akan hadir kalau anda memberitahu di mana alamatnya atau ke mana kita akan pergi," balas pemuda itu dengan cepat tapi tetap menjaga sopan santunnya.
Deni tersenyum puas, dia suka tipe pemuda yang cekatan dan bersemangat seperti Angga. "Nenek mengajak kamu untuk makan malam di rumah kami, untunglah kalau kamu bersedia," katanya memberitahu alasan kenapa Angga dipanggil.
"Saya akan memenuhi panggilan dari nenek anda, bos!" ucap Angga berpose layaknya serdadu. Keduanya pun tertawa bersama, mereka berbicara tentang ini dan itu. Juga tentang sang nenek yang sejak lama ingin bertemu dengan penyelamatnya setiap beliau mengingat kejadian tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments