Angga mengeluh ringan sebelum dia jatuh tertidur. Saat dia membuka mata karena sinar matahari yang menggangu, dirinya mendapati kalau dia sedang berada di dunianya. Angga tak langsung percaya kalau dia sudah kembali, pemuda itu malah menganggap kalau ini hanyalah mimpi karena dia begitu inginnya kembali.
Begitu sadar kalau ini kenyataan dan dirinya sudah kembali. Angga segera berkaca dan melihat penampilannya, tak ada yang berubah. Dia masih sama saja dan masih terlihat sangat muda seperti sebelumnya. Untuk memastikan berapa lama waktu yang dia habiskan di dunia novel, Angga segera melihat ponselnya. Hanya satu bulan yang berlalu, untuk menggantikan bertahun-tahun yang dia lewati dengan susah payah di sana. Kalau ada yang mengatakan ini candaan, dia akan menerkam orang itu saat ini juga.
Angga membuang kekesalannya, sekesal apa pun dia tak akan ada yang berubah. Kejadian yang sudah terjadi tak akan bisa dihapuskan. Jadi pwmuda itu memilih untuk mandi dan kemudian mengisi perutnya yang lapar.
Kelar menyelesaikan dua pekerjaan yang dia anggap penting, Angga pun membuka komputernya. Dia berniat menghapus semua novel yang dia tulis tanpa tersisa. Baru saja pemuda itu akan menyetujui penghapusan novelnya, sebuah notif muncul. Pesan surel dari orang yang sama yang mengutuk dirinya. Angga meragu apakah dia harus membukanya atau mengabaikannya. Dia tak ingin dikirim ke novelnya yang lain untuk ke dua kalinya.
Angga meneguk ludah susah payah, pemuda itu membulatkan tekad untuk membuka dan membaca surel yang diterimanya. Apa pun yang terjadi, dia harus mengetahui isi surel tersebut. "Bukannya seperti aku bisa menganggap tak pernah menerima ini," gumam Angga meng-klik surel yang dia dapatkan. Rupanya isinya adalah ucapan permohonan maaf dari si pemberi kutukannya.
Angga malah menyesal sudah membaca surel tersebut. Kalau dengan meminta maaf saja dia bisa menghapus kejadian yang dia lewati di sana, dia tak akan merasa sekesal ini. Pemuda itu mengetik balasan kalau dia tak mempermasalahkannya, jadi dia tak menginginkan permintaan maaf dalam bentuk apa pun. Dari sanalah dimulai awal mula keduanya bertukar kata lewat surel. Angga yang menjawab singkat dan terlihat menarik batas dan Rika yang terus-menerus mengirimkan permintaan maaf tanpa henti.
"Si*l, bisa gila aku kalau begini terus?!" umpat Angga melihat jumlah surel yang dia terima semakin hari semakin banyak.
"Baiklah, mari kita bicara kalau begitu!" jemari Angga melayang di atas keyboard, di mengetik dan mengirimkan surel balasan untuk Rika. Tak ada balasan meski Angga sudah menunggu lebih dari setengah jam, pemuda itu pun bangkit dari duduknya dan memilih untuk membersihkan kamarnya. Sudah lama sejak terakhir kali dia beberes.
Bahkan sampai matahari kembali muncul, tak ada balasan yang dikirim dari pihak sana. Angga tersenyum lega, merasa satu masalahnya sudah teratasi. "Kalau kutahu segampang ini, seharusnya sudah aku kirimkan dari kemarin-kemarin saja ajakan bertemu dan berbicara langsung seperti ini!" Angga bersiul senang, kemudian memutuskan untuk mandi dan mencari pekerjaan lain selain kerja paruh waktu yang biasa dia lakukan.
Tiga hari kemudian, kembali surel dari Rika diterima Angga. Pemuda itu mengumpat karena terkejut mendapatkan surel baru dari pihak sana setelah lama tak mendapatkan balasan apa pun. Isinya ternyata kesanggupan untuk bertemu, tapi harus di tempat yang sepi karena Rika tak suka keramaian, pemalu, dan anti sosial sekali. Jadinya dia membutuhkan waktu lama untuk menyanggupi permintaan dari penulis yang dia sukai untuk bertatap muka.
Hari yang dijanjikan tiba, Angga menyerahkan tempat pertemuan pada pihak lain. Terserah dia mau memilih bertemu di mana, dia bisa pergi ke sana dengan mudahnya. Dan di sinilah Angga menangi, di taman terbengkalai yang tak terlihat satu pun manusia selain Angga di sini. Tempat yang sepi dan terlalu hening, mengingatkan Angga pada tempat yang beberapa waktu lalu dia habiskan waktunya untuk bertahan hidup di sana.
Setiap satu menit sekali, Angga melihat jam tangannya. Memastikan kalau benda itu berfungsi dengan baik. Bahkan Angga juga melihat layar ponselnya, memastikan apa waktu yang ditunjukan kedua benda itu sama. "Ck, apa aku ditipu?" gumam Angga menatap sekitar. Masih tak ada siapa pun, padahal dia di sini sudah lebih dari sepuluh menit.
"Maaf, terlambat. Banyak orang tadi di jalan," seru sebuah suara mencicit kecil nyaris tak terdengar.
Angga menengok, sedikit aneh melihat penampilan wanita di depannya yang sangat-sangat tertutup rapat. Saking tertutupnya, Angga berani bertaruh bahwa udara pun susah untuk dihirupnya. Bagaimana tidak, pakaian tebal lengkap dengan topi kuncung yang besar menutup bagian kepala atasnya. Masker yang menutupi mulutnya serta sarung tangan yang membalut lengan orang tersebut. Padahal ini musim panas, tapi penampilan orang di depannya ini seakan hari sedang dalam cuaca buruk yang sangat berangin.
"Pengirim surel?" tanya Angga ingin memastikan kalau dia tak salah bertemu orang.
Orang tadi mengangguk pelan. "Rika. Nama saya Rika," cicitnya lirih.
Angga bergerak maju, ingin berjabat tangan dengan pembacanya yang sekaligus orang yang sudah membuat dia terdampar di dunia iblis.
"Bisakah anda jangan mendekat? Kita bicara begini saja," suara pembaca yang mengenalkan dirinya sebagai Rika terdengar bergetar. Mungkin dia panik atau takut karena melihat Angga mendekat.
Angga terdiam. Yah, pasti orang ini aneh. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa mengirim kutukan padahal mereka tak pernah bertemu. "Aku Angga," tukas Angga yang tak mempermasalahkan mau bicara seperti apa, yang penting gadis di depannya ini berhenti mengiriminya surel yang mulai menggangu.
"Tolong maafkan saya, saya hanya terlalu marah karena semua tulisan anda berakhir begitu saja tanpa ada cerita tambahan lagi," ucap Rika terdengar tulus.
"Lupakan saja, lagian udah lewat juga!" tukas Angga berdecak pelan.
"Biarkan saya memberi kompensasi, Tuan Angga," pintanya sebagai bentuk kalau dia benar-benar menyesal.
"Tak ada yang aku inginkan sepertinya," balas Angga ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Kalau sudah, aku boleh pergi, kan?" tambah pria itu tak betah di tempat sepi.
"Bisakah anda menolong saya?" pertanyaan Rika menghentikan langkah Angga.
"Menolong yang bagaimana maksudnya?" ucap pria itu berbalik menatap Rika.
"Tolong ajari saya supaya bisa sedikit saja berbaur dengan manusia lain," cicit Rika memejamkan matanya.
Angga tersenyum mengejek, tentu saja Rika tak melihatnya karena wajahnya yang benar-benar dia tutupi. "Kenapa harus?" ucap Angga dengan nada datar. "Kita tak saling kenal. Tak terikat apa pun selain sebagai penulis dan pembaca! Lagi pula aku tak akan menulis lagi, terima kasih pada seseorang yang memberikan aku pengalaman pribadi yang tak akan aku lupakan sama sekali!" sarkasnya.
"Sudah, ya. Aku pergi!" dengus Angga berbalik pergi.
"Akan saya bayar!" ucap Rika mengumpulkan keberanian untuk membuat suara lebih keras. "Bantu saya dan saya akan membayar sesuai dengan harga yang anda minta!" tambah wanita itu terdengar meyakinkan. Angga berhenti sejenak, berpikir beberapa saat sebelum dia tersenyum tipis lalu mendengus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments