Terjebak Di 'Novel Iblis'

Terjebak Di 'Novel Iblis'

1

Angga Pratama, seorang pemuda yang memilih untuk menjadi penulis novel sejak dirinya duduk di bangku sekolah. Hanya sekedar hobi iseng di awal. Namun, semakin ke sini. Dirinya semakin merasa tertantang dan tertarik untuk membuat novel dengan berbagai genre.

Semakin banyak ide yang mengalir, semakin cepat dirinya merasa bosan dengan satu cerita yang ditulisnya. Tak jarang pemuda itu menyelesaikan ceritanya dengan cepat, tak peduli kalau akhirnya sangat-sangat tak bisa diterima.

Angga juga tak pernah mengurus ada atau tidaknya yang membaca semua karyanya. Dia hanya menulis dan terus menulis, menyalurkan ide-ide yang mengalir bagai air.

Hingga satu ketika, datang satu surel yang berisi permintaan supaya menulis cerita yang benar. Surel tersebut dikirim oleh seorang pembaca yang mengatakan kalau dia tak bisa menerima akhirnya yang seperti dituliskan Angga di novel. Kalau tak berakhir semuanya mati, maka dunia akan hancur. Atau ada penyerangan makhluk asing dan orang-orang di dalam sana semuanya diubah menjadi budak. Semua berakhir tragis, tak ada cerita yang menceritakan kisah bahagia bagi tokoh utamanya.

Angga yang menerima peringatan tertulis seperti itu, bukannya mengubah gaya penulisannya, dia malah semakin gila dalam memberikan ending untuk cerita yang ingin dia tamatkan. Segala bentuk bencana alam dia buat di sana, para tokoh utama dan pemeran pembantu terjebak lalu mati dengan sendirinya saat tak ada lagi yang bisa dimakan.

Surel kedua kembali dilayangkan. Menyatakan kalau si pembaca meminta dengan sangat akhir ceritanya diubah, atau dia sendiri yang akan mengambil tindakan. Angga hanya membaca sekilas, lalu mengabaikannya. Dia lebih memilih menulis novel selanjutnya.

"Kalau jadi pembaca, ya tinggal baca aja. Jangan minta ini-itu?!" dengusnya sambil mengetik naskah.

"Kalau mau lihat ending yang disuka, ya nulis aja sendiri sana!" kekehnya semakin cepat mengetik setiap deret kalimat yang tersusun dengan rapi.

"Sebelum mengirim yang ini, yang mana lagi yang harus aku tamatkan kali ini, ya?" ucapnya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya. "Ini saja!" pemuda itu membuka novel yang baru-baru ini dia tulis, novel berlatar dunia iblis. Dia mendapatkan ilham saat sedang menonton film dan langsung membuat novel seperti itu. Tapi kini, dia hanya ingin membuat cerita baru dan segera mengakhiri cerita yang satu ini.

"Bagusnya ... aku buat bagaimana, ya?" ucapnya sambil berpikir.

Sesaat kemudian, jari-jemarinya mulai menari di atas keyboard. Pemuda itu mulai kembali merangkai kata yang akan menjadi akhir dari novelnya kali ini.

"Karena ini tentang iblis, tentu tak jadi masalah kalau aku membuat Tuhan atau Dewa turun tangan, kan?" kekehnya sambil terus mengetik.

Jadilah akhir yang dia rampungkan dalam waktu singkat. Begitu dia mengirim naskah terbarunya, dia segera mengklaim bahwa novelnya sudah tamat. Setelah itu, Angga kembali menulis cerita lain yang dia miliki di kepalanya.

Dua hari kemudian, sebuah surel dari alamat yang sama kembali diterima. Angga membuka surel tersebut lalu membacanya karena penasaran akan isinya. Pemuda itu menyemburkan air yang baru saja dia minum begitu selesai membaca isi surel yang diterimanya.

"Apa-apaan ini? Ini bisa dikatakan sebagai ancaman, kan?" tukasnya menatap surel yang tertera di layar komputernya. "Wah, harus dilaporkan ini?!" ucapnya lalu mengetik.

Sebelum dia melaporkan si pengirim surel, Angga mengirimkan surel balasan untuk orang tersebut. Angga mengetik kalau dia menulis hanya untuk sekedar hobi, berharap si pembaca tak menuntut lebih karena dia hanya manusia yang berkeinginan menulis tanpa meminta imbalan apa pun. Angga juga berterima kasih atas kesediaan si pengirim surel untuk membaca tulisan yang dia buat, tapi sangat disayangkan Angga tak bisa memenuhi keinginan pembaca itu untuk menulis lebih banyak lagi untuk novel terakhir yang dia tamatkan.

Surel lain terkirim dengan cepat. Isinya lebih mengancam dari pada yang sebelumnya. Di dalamnya terdapat sebuah ancaman kalau Angga akan menyesal karena telah mengabaikan permintaan si pembaca.

"Mata kau, aku bakalan nyesel!" umpat pemuda itu menyunggingkan senyum sinis.

"Aku bakalan nyesel kalau nurutin kemauan pembaca macam ini!" ucapnya lagi memilih mengabaikan surel barusan.

Angga memilih terus mengetik dan tertidur setelah dia mulai mengantuk. Tak lupa pemuda itu menyetel alarm agar dia bisa bangun lebih awal. Dia harus bekerja untuk bertahan hidup di dunia yang serba duit seperti ini.

Keesokan harinya, saat Angga membuka mata. Dia menatap tak percaya ke sekitar. Ini bukan kamarnya, dia tahu jelas kalau dia sudah berpindah entah ke mana. Apa dia diculik. Apa pembaca yang mengirimkan surel padanya yang melakukan ini. Mungkin dia akan dipaksa menulis ulang semua novel yang dia tamatkan. Lalu kenapa di sini terlalu sepi dan tak ada satu suara pun yang terdengar.

Angga mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah yang terlihat lusuh dan hampir roboh, sarang laba-laba menggantung di mana-mana seakan merupakan hiasan yang memperindah rumah. Jendela dan pintu yang tertutup apa kadarnya. Ini rumah apa kandang. Kenapa dia bisa berakhir di tempat aneh seperti ini. Masa iya penculiknya tak punya modal untuk mencari tempat persembunyian dan berakhir membawanya ke tempat antah-berantah yang tak diketahui di mana pastinya.

"Aku harus bangun dan melihat keadaan di luar," gumam pemuda itu pada dirinya sendiri. Angga menatap tak percaya selimut yang dia gunakan. Entah kenapa dia malah merasa kasihan pada nasibnya di sini, selimutnya bahkan lebih buruk penampakannya dari pada kain lap yang biasanya dia gunakan kalau di rumahnya.

Begitu ke luar dari rumah. Satu hal yang ditangkap oleh indera penglihatan Angga. Sepi, hanya itu yang dia rasakan. Tanah gersang nan luas tanpa satu pun rumput yang tumbuh, rumah yang tak jauh berbeda dengan tempatnya tadi terkurung, yang jumlahnya bahkan bisa dihitung dengan jari.

"Sebenarnya ini ada di mana? Apa aku dibuang ke tempat terpencil hanya karena tak menuruti permintaan pembaca?" gumam pemuda itu terus melangkah menuju rumah yang paling dekat dengannya.

Sesampainya di depan pintu rumah, Angga mengetuk dengan sopan. "Pergi! Menjauh! Tak ada apa-apa yang bisa kami bagi untuk mu di sini!" ucap sebuah suara terdengar berbisik dari balik pintu.

Angga mengernyit, apa dia terlihat seperti orang yang ingin meminta sesuatu. "Saya hanya ingin menanyakan sesuatu, tuan," kata Angga mengatakan kepentingannya.

"Katakan dari sana, tapi jangan bersuara terlalu keras!" ucap suara tadi kembali terdengar. Bahkan dia memperingatkan Angga untuk bicara dengan pelan.

"Ini di mana?" hening, tak ada jawaban dari dalam sana. Meski Angga menunggu beberapa saat, tetap saja pemilik rumah itu memilih untuk diam. Apa mereka tak boleh mengatakan lokasi mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!