Robi sudah menjelaskan kalau itu uang miliknya, namun Abah tetap tidak percaya, Abah mulai terpengaruh oleh ucapan Ustad Fikri.
"Abah kecewa padamu, sekarang Abah tidak mau melihatmu lagi di sini, pergi!!!, teriak Abah sambil menunjuk ke arah pintu gerbang Pondok.
"Tapi Bah, aku tidak pernah berbuat kesalahan selama di sini, aku selalu berbuat baik di sini, aku juga sudah mulai mengikuti keinginan Abah untuk sholat?", jelas Robi.
"Ya, itu memang benar, tapi Abah tidak mau melindungi penjahat di sini, Abah tidak mau menampung pencuri di sini, dan satu lagi, Abah sudah salah karena telah menolongmu", tegas Abah.
Ustad Fikri menyeringai puas, akhirnya usahanya untuk mendepak Robi berhasil.
"Tapi Abah, saya sudah mulai betah di sini, saya seperti memiliki keluarga baru di sini", tunduk Robi.
"Pergi, ini bukan tempatmu, keberadaanmu di sini hanya akan membawa pengaruh buruk bagi anak santri , sekarang cepat, pergi!!!", ulangi Abah.
"Sini!, kamu ini nggak tahu malu ya, Abah sudah tidak mau kamu di sini, cepat pergi sebelum kami memaksa mengeluarkanmu dari sini", Ustad Fikri setengah menggusur tubuh Robi menuju gerbang, semua itu disaksikan oleh para santri yang kebetulan lewat.
"Semua ini kamu yang atur kan?", bisik Robi kepada Fikri .
Fikri hanya tersenyum evil , hatinya bersorak karena rencananya berhasil.
"Tunggu, aku bisa pergi sendiri", Robi mengibaskan lengannya dari cengkraman tangan Fikri. Ia menuju motor sport barunya yang masih terparkir di halaman kobongnya, ia naiki motor itu, Robi melirik ke kanan dan kiri, ia mencari keberadaan Tiara, namun tidak ada.
"Tunggu apa lagi?", Teriak Fikri, ia bisa membaca kalau Robi sedang mencari Tiara.
Robi menatap Abah yang melihatnya dengan sorot mata marah, tanpa berpikir lagi, Robi mulai menghidupkan motornya dan melesat menuju gerbang, raungan mesin motornya bergema di area Pondok, dan menghilang dengan semakin jauhnya Robi pergi.
Robi memacu motornya cepat sekali, ia lampiaskan semua rasa kesalnya di atas jalanan, ia memacu motornya tanpa tujuan, yang terpenting ia bisa berlari secepat mungkin.
Seketika suara Pondok menjadi hening, seolah terhipnotis oleh raungan deru mesin motor Robi.
Para santri saling bertanya, namun mereka semua tidak tahu, hanya Abah dan Ustad Fikri saja yang mengetahuinya.
"Ada apa dengan orang asing itu?", Ustad Fadil dan Ustad Dzaqi menghampiri Ustad Fikri.
"Dia ternyata bukan orang baik-baik, lihatlah, uang sebanyak itu di dapat darimana kalau bukan hasil kejahatannya", terang Fikri, ia menunjuk tas ransel berisi uang yang masih berada di atas meja.
"Masya Allah..., uang sebanyak itu", Ustad Fadil melongo.
"Ada apa ini Abah?", Tiara yang baru pulang dari Madrasah menghampiri Abah.
Ia tidak mengetahui , bahkan suara deru motornya Robi pun tidak mendengarnya, karena tadi Tiara sedang berada di Madrasah yang letaknya di belakang kobong putri.
Umi Anisa pun menghampiri. "Itu Robi ternyata penjahat Umi", ucap Abah.
"Astaghfirullah..., dari mana Abah tahu kalau Robi itu penjahat, selama di sini sikapnya baik", bela Umi.
Tiara pun tidak kalah kagetnya, ia mencari keberadaan Robi, dan motor barunya pun sudah tidak ada ditempatnya semula.
"Terus, Robinya mana Abah?", tanya Tiara.
"Sudah pergi, sudah Abah usir", ucap Abah datar.
"Astaghfirullah..., kenapa di usir Abah..., dia itu sudah mulai mau menjalankan ibadah", Tiara kecewa.
"Dia itu penjahat Ara, tuh lihat!, uang hasil kejahatannya", Abah menunjuk ke tas ransel Robi yang penuh dengan uang.
"Iya..., tapi masih bisa dibicarakan dengan baik-baik kan Abah, tidak perlu sampai mengusirnya dari sini", lirih Tiara.
"Ada apa dengan kamu Neng?, kamu mulai menyukai penjahat itu?, kamu harusnya curiga, dari mana dia bisa punya uang untuk membeli motor bagus tadi, pasti itu uang hasil kejahatannya juga kan?", tegas Abah.
"Bukan Abah, Ara tahu semuanya, Robi tidak seperti yang Abah kira", isak Tiara, ia mulai menangis.
"Nah lho..., kamu menangisi kepergian dia?, Apa kamu benar-benar sudah mencintai dia?, orang yang tidak jelas itu?", bentak Abah.
Tiara langsung berlari ke dalam rumah sambil terisak. Pemandangan itu lagi-lagi membuat terbakar hati ustad Fikri, ia benar-benar merasa kecolongan, hanya beberapa minggu saja Robi sudah berhasil mencuri hati Tiara.
"Sabar Abah ..., belum ada bukti kalau Robi itu seperti yang Abah pikirkan", Umi memegang tangan Abah.
"Sudah, suruh semua santri kembali ke Madrasah", pinta Abah, ia melirik Fikri, Fadil dan Dzaqi.
Sementara ia mengikuti Tiara ke dalam rumah, sambil membawa tas ransel Robi.
Di dalam, Tiara sedang berusaha menghubungi ponsel Robi, tapi tidak bisa, ponselnya pu mati.
"Sudah..., tidak usah hubungi dia lagi, sudah tepat Abah usir dia, karena disanalah tempatnya, bukan disini", ucap Abah.
"Terus kenapa, orangnya di usir, tapi uangnya masih di sini?", Tiara menunjuk tas ransel ditangan Abah.
"Astaghfirullah..., iya, terus kita apakan tas ini?", Abah menatap tas ditangannya.
"Abah sih..., main usir saja, apa barang-barangnya pun tidak ia bawa?", Tiara kembali bertanya.
Abah menggelengkan kepala, "Robi hanya membawa motornya saja " , ucap Abah, hatinya mulai merasa iba kepada Robi.
"Abah...Abah...", Umi Anisa pun menggelengkan kepala.
Sejenak suasana hening. "Ara..., kamu bisa kan mencari Robi, kasih kembali tas ini kepada dia", tatap Abah.
"Jangan Ara attu Abah, Umi khawatir", tolak Umi.
"Nggak, sudah biar Ara saja yang mencarinya, tapi nanti saja, saat ini Robi pasti sedang marah karena di usir dari sini", terang Tiara.
"Padahal dia itu sudah menuju baik Abah, kalau pun benar ia seorang penjahat, kita bisa kan membuatnya menjadi orang baik, di sini Abah", lirih Tiara.
"Iya..., Umi setuju, dia itu pada dasarnya anak baik, hanya kurang perhatian saja, jadi sikapnya liar begitu", terang Umi.
"Hah..., Abah hanya tidak ingin anak -anak santri terpengaruh sama dia", Abah menerawang.
"Semua sudah terjadi, semoga Nak Robi baik-baik saja di luar sana", terawang Umi.
"Abah ...Assakamu'alaikum Abah....", Mang Daman nyelonong masuk.
"Wa'alaikumsalam, Mang ada apa?", tanya Umi Anisa.
"Itu..., apa benar Den Robi pergi?", Mang Daman bersimpuh di lantai.
"Iya Mang, mungkin Mang Daman tahu ini benar milik Robi?", Abah kembali menunjuk ras ransel.
"Oh..itu benar milik Den Robi, isinya uang, katanya itu uang jajan dari orang tuanya, karena di sini jauh ke ATM, jadi Den Robi mengambil banyak, biar tidak bolak-balik", jelas Mang Daman.
Abah dan Umi saling pandang, ternyata ucapan Mang Daman sama dengan penjelasan Robi tadi.
"Mang Daman percaya?", tatap Abah.
"Ya..Mang percaya saja, habis dari mana lagi Abah uang sebanyak itu",
"Ini uang hasil kejahatan Robi Mang, dia terjatuh ke jurang saat dikejar Polisi", terang Abah.
"Waduh...penjahat?, Ah...Mang tidak percaya, selama di sini Den Robi baik, sudah mau shalat juga", jelas Mang Daman.
"Itu..., paling cuma akal-akalan dia saja buat menutupi belangnya", ucap Abah datar.
"Sudah!, mulai saat ini jangan bahas Robi lagi, seperti dulu sebelum dia kita temukan, anggap saja dia tidak pernah ada di sini", ucap Abah.
"Aduh ..., Den Robi, Mang padahal sudah sayang sama Aden", ucap Mang Daman, ia keluar dari rumah Abah dengan wajah sedih, ia menuju kobongnya.
Robi yang masih berpacu dengan motirnya, tak henti-hentinya berteriak di atas kuda besinya.
"Aaaahhhkkk....kenapa....?...kenapa...disaat mau berubah...., ini terjadi lagi?,
"Apa memang di sini tempatku?, dijalanan?",
"Mau jadi orang baik saja susah?".
Robi menepikanmotornya dipinggir sungai , ia terduduk disamping motornya, ia lempari air sungai itu dengan batu, lama ia seperti itu.
Lalu Robi rebahkan tubuhnya, ia pandangi langit sore itu, langit yang mulai menguning oleh lembayung.
Apa setinggi langit itu harapannya untuk bisa menjadi orang baik-baik, sangat jauh dan tinggi.
Akankah ia bisa meraihnya. Ia pejamkan mata, dan bayanganTiara yang kini memenuhi ingatannya. Wajah teduh itu, suara lembut itu, semua menari -nari dalam ingatannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments