Robi pulang dari rumah Abah dengan wajah berseri, ganjalan dalam hatinya, seketika plong, setelah diobrolkan dengan Tiara. Ia menuju kobongnya kembali.
Mang Daman masih belum pulang, Robi memilih mantengin ponselnya, ia sedang memilih-milih sepeda motor di sana, ada satu yang ia klik dan langsung dikirimkan fotonya ke Tiara, [Aku mau yang itu, tolong carikan],
Lama Robi menunggu jawaban dari Tiara, bahkan sampai lama, "Duh...kemana lagi, jam segini lagi ngapain, balas chat aja nggak bisa", Robi mendumel
Ia simpan ponselnya karena lama tidak ada balasan, lama-lama ia pun tertidur kembali.
Di luar Pondok , setiap akhir pekan selalu ada pasar tumpah, banyak pedagang yang menjajakan dagangannya di sana, para santri pun selalu antusias mendatangi pasar itu, ya...itung-itung refresing saja dari mumetnya belajar setiap hari.
Mereka kebanyakan hanya jalan-jalan saja, paling cuma mencari sarapan saja, karena sebagai santri mereka tidak dibekali banyak uang oleh orang tuanya.
"Ini sepertinya lokasi yang kita cari, tepat di atas bukit sana , Robi jatuh, seharusnya dia ada di bukit itu", Ronal memperhatikan gundukan bukit yang ada di atas pemukiman.
"Aku lihat ini komplek atau apa ya?", Ilyas terus memperhatikan bukit yang ada dibelakang sebuah komplek.
Mereka sudah sampai di depan Pondok, mereka yakin tempat jatuhnya Robi adalah bukit di atas sana.
Ronal dan Ilyas sedang sarapan di tukang kupat tahu, sambil terus menerka-nerka lokasi jatuhnya Robi.
"Pak, apa Bapak pernah mendengar ada orang ditemukan di atas sana?", Ronal mencoba bertanya kepada penjual kupat, panggil saja Mang Amat.
"Orang hilang begitu?", Mang Amat balik bertanya.
"Ya seperti itu, apa pernah ada warga sini yang menemukan orang atau pun mayat di atas bukit sana?", kembali Ronal menegaskan.
"Ah...sepertinya tidak ada, Mang ini asli orang sini, dan tiap hari minggu jualan , tapi belum pernah mendengar hal itu", jelas Mang Amat, sambil tangannya sibuk menyiapkan pesanan kupat tahunya.
"Oh..., kalau bangunan yang di sana itu, komplek atau pemukiman warga Mang?", sepertinya banyak juga rumahnya", Ronal kembali bertanya.
"Yang itu bukan komplek Den, itu bangunan pesantren, yang berjejer itu kobong-kobong. Banyak yang mondok di sini, ada yang berasal dari luar kota juga, anak Mang juga ada satu yang belajar di sana, gurunya terkenal, Abah Ilham, ahli kitab kuning", jelas Mang Amat.
"Oh...., jadi semua yang ada di bawah bukit itu, komplek pesantren semua ya Mang?", Ilyas menegaskan.
"Iya Den", Mang Amat mengangguk.
"Apa mungkin, Robi ada di sana?", bisik Ronal.
"Kan tadi sudah dibilang, si Mang nya yang asli sini juga tidak pernah mendengar ada orang ditemukan di sana, gimana kamu ini", Ilyas nampak kesal.
"Aduh...kemarin kamu lihat nggak, orang itu ganteng sekali, apalagi saat ikut shalat, memakai koko dan sarung, alamak...., Ustad Fikri saja lewat", cicit beberapa wanita berjilbab yang melewati Ronal dan Ilyas.
"Huh..., wanita kalau melihat cowo cakeup pasti heboh", gerutu Ronal.
"Apa mungkin itu Robi?", tebak Ilyas.
"Kamu kan dengar, tadi cowo itu katanya pake koko dan sarung, mana mungkin Robi, dia illfeel banget sama dua baju itu", cicit Ronal.
"Iya juga ya, waktu acara syukuran di rumahku saja, dia pake setelan jaket dan jeans belelnya", kekeh Ilyas.
"Terus..., gimana, kita cari kemana lagi?", Ronal mendesah.
"Ya, kita sabar saja, kalau misal Robi ada di sana pun, biarkan saja kali, biar dia aman dari Dery dan Eko, kita hanya ingin tahu saja , kita coba kirim pesan ke ponselnya, kalau dia selamat, dia pasti bisa membaca pesan dari kita", usul Ronal.
"Ya...ampun, kok baru kepikiran?", Ilyas menepuk jidatnya.
"Ya sudah, kita balik sekarang saja, jangan buat si Dery curiga, bawa makanan juga buat dia, biar dia senang",
Ronal dan Ilyas membeli beberapa makanan untuk dibawa ke Markas, setelah itu mereka kembali melajukan sepeda motornya meninggalkan Pondok.
Tak lama setelah Ronal dan Ilyas pergi, datanglah Ustad Fikri, Ustad Dzaqi dan Ustad Fadil, mereka juga sarapan di kedai kupat tahu Mang Amat.
"Kupatnya tiga Mang", pesan Ustad Fadil, ia memesan duluan karena kedua temannya malah duduk terdiam.
"Terima kasih Mang", senyum Ustad Fadil.
"Ini kupatnya, ayo di makan!, kok malah bengong begitu", Ustad Fadil menyodorkan dua piring kupat ke depan fikri dan Dzaqi.
"Ustad Dzaqi langsung melahap kupat itu, hanya Ustad Fikri yang diam, ia menerawang jauh.
"Masya Allah, ini Ustad kita dari tadi kok malah bengong saja, ayo makan dulu kupatnua, jangan terus makan hati", kekeh Ustad Fadil, ia melahap suapan terakhirnya.
"Alhamdulillah, aku sudah selesai", senyum Ustad Fadil, ia kembali melirik Ustad Fikri yang masih mematung.
"Ini semua pasti gara-gara orang asing itu, dia merasa mendapat saingan berat tuh untuk mendapatkan cintanya Tiara", lirik Ustad Dzaqi.
"Robi..., namanya Robi",senyum Ustad Fadil.
"Ya, Robi, dia gadis pujaanku, jangan kau ambil dia dari sisiku", goda Ustad dzaqi.
"Apaan sih kalian, bisa diam tidak, lagi pusing nih", gertak Ustad Fikri.
"Ya, Ustad jangan galau begitu, masih ada cara ,kalau sudah jodoh tidak akan kemana, berdo'alah , Ustadku", goda Ustad Fadil.
"Sudah tinggal selangkah lagi, datang dia secara tiba-tiba, jadi kacau", gumam Ustad Fikri.
"Kenapa tidak mati saja itu orang", gumam Ustad Fikri.
"Astaghfirullah Tad, ini semua sudah takdir Allah, tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi pada kita, sekarang dan nanti, semua rahasia Allah, termasuk dengan Robi. Bukan maunya dia terjatuh di atas bukit sana dan ditemukan oleh kita", Ustad Dzaqi menepuk pundak Fikri.
"Ingat Tad, jodoh, mati, suka dan senang, itu rahasia Allah", ingatkan Ustad Fadil.
Rupanya obrolan ketiga Ustad tadi di dengar Mang Amat, ia teringat dengan kedua pemuda tadi yang menanyakan orang hilang.
"Sebentar Ustad, maaf saya ikut nimrung, tadi Mang dengar ada orang asing?, di sana?, dia itu orang yang ditemukan di sana?, soalnya tadi ada dua pemuda yang menanyakan hal itu", terangkan Mang Amat.
"Apa Mang, ada orang yang mencari seseorang di sini?", Ustad Fikri membalikkan badan menghadap Mang Amat.
"Iya Ustad, tapi mereka sudah pergi lagi, sepertinya dari Kota, penampilannya keren-keren Ustad", Mang Amat tersenyum.
Ustad Fikri hampir saja bercerita soal Robi, namun Fikri dan Fadil memberi isyarat dengan matanya, agar fikri tidak jadi bercerita.
Ustad Fikri pun faham dengan isyarat itu, ia tidak jadi bercerita. "Sudah makan dulu!, kita masih ada acara di pondok",ajak Ustad Dzaqi.
Setelah membayar, mereka pun kembali ke Pondok. "Kita jangan beritakan soal Robi kepada siapa pun tanpa seijin Abah", Fadil melirik Fikri.
Ia takut Fikri memperpanjang masalah ini, apalagi ia sangat merasa terganggu dengan kehadiran Robi.
"Iya..., aku juga ngerti", Fikri bergumam sambil terus berjalan menuju Pondok. Namun hatinya mulai merangkai rencana untuk menyingkirkan Robi dari Pondok.
Robi terbangun dari tidurnya, ia langsung mengecek ponselnya, ia lihat belum ada balasan chat dari Tiara, "Duh..., masa harus disamperin ke rumah lagi, balas chat saja lama ", kembali Robi mendengus.
Tiara baru membuka ponselnya saat pulang dari Madrasah, ia baru mengajar anak-anak Tk di sana. Ia dapati pesan masuk dari Robi, "Masya Allah, ini orang, apa tidak salah mau motor sport ini?, punya uang apa?", Tiara mendelik melihat foto motor yang dikirim Robi, belum juga hilang kagetnya, sudah ada lagi pesan masuk dari Robi.
[Aku sudah sekalian transfer uangnya, cukup kan untuk membeli motor itu, kalau kurang, gampang, nanti aku transfer lagi],
"Assalamu'alaikum, aduh...kamu itu kok seperti anak kecil yang minta mainan saja, bukannya beli sendiri?", Tiara langsung menelepon Robi.
"Wa'alaikumsalam, aku minta tolong sekali lagi, kalau aku yang beli, semua akan tahu identitasku, bisa kacau, kalau kamu kan sudah biasa, pengoleksi motor , jadi mereka tidak akan curiga", jelas Robi.
"Iya...iya...aku usahakan",
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
😎😎😎
2023-12-13
1
StepMother_Friend
ustad kw, pikiranya dengki mulu
2023-10-29
0
ibeth wati
lah pak ustad Fikri kok punya rasa dengki sih ..malu tuh sama sarung dan songkoknya
2023-09-22
2