Suara adzan subuh membangunkan Robi, ia membuka matanya, suara merdu di cerobong Masjid memanggil hatinya untuk mulai mendatangi tempat itu.
Mang Daman bilang kalau shalat di Masjid, tinggal mengikuti gerakan imam saja. Robi mulai membersihkan diri, dan ia segera memakai baju koko dan sarung instant yang sempat ia beli kemarin, ia bergegas pergi ke Masjid.
Shalat subuh sudah hampir di mulai, ia datang paling akhir, jadi kedatangannya tidak diketahui oleh para santri yang lebih dahulu datang. Robi bardiri di shaf paling akhir, santri di sampingnya pun tidak sempat meliriknya, karena rakaat pertama baru di mulai.
Robi melihat santri di sampingnya melipat tangan di dadanya, ia pun menirunya. Ini shalat berjamaah pertama bagi Robi, hatinya bergetar mendengar bacaan shalat dari Abah Ilham yang menjadi imam.
Ia ikuti gerakan demi gerakan dengan sesekali mengintip gerakan orang disampingnya. Sampai rakaat terakhir selesai dan salam.
Robi masih duduk mengikuti semua bacaan dzikir Abah, ia merasa tenang dan hatinya serasa melayang saat melafaskan bacaan dzikir, ini luar biasa sekali.
Sampai saat semua santri sudah mulai meninggalkan Madjid, is masih duduk ditempatnya.
"Den Robi ?, Alhamdulillah..., Aden ikut shalat?", Mang Daman menghampiri Robi dan duduk disampingnya. Robi hanya tersenyum.
Abah Ilham pun menghampirinya, "Alhamdulillah..., semoga istiqomah Nak, awal yang bagus", senyum Abah, ia menepuk pundak Robi sambil berlalu. Pagi ini ada undangan pengajian di acara Khitanan, Abah pergi bersama ketiga Ustadnya, Ustad Fikri, Ustad Dzaqi, dan Ustad Fadil.
"Paling juga ada maunya, makanya ia ke sini" , gumam Ustad Fikri sambil berlalu mengikuti Abah.
"Ssttt..., nggak boleh begitu, semoga ini hidayah, dia mulai mau shalat ", tegur Ustad Fadil. Mang Daman pun mendengar ucapan Ustad Fikri, ia meliriknya dengan mata membeliak.
"Kalau tahu Aden mau shalat, tadi Mamang bangunkan", senyum Mang Daman.
"Nggak usah Mang, ini juga spontan kok, tiba-tiba saja terbangun dan ingin pergi ke Madjid", cicit Robi.
"Ya, itu hidayah Den, Allah sudah memberikan hidayah kepada Aden, untuk kembali melaksanakan shalat lima waktu", jelas Mang Daman.
"Sudah mau siang Mang, saya mau menagih janji sama Umi", Robi bangkit dari duduknya.
"Janji apa?", Mang Daman mengikuti Robi.
"Mau ngobrol sama Tiara Mang, kata Umi kan harus siang hari", senyum Robi.
"Oh... Itu, ternyata Aden masih ingat", kekeh Mang Daman.
"Saya langsung ke rumah Abah ya Mang", pamit Robi, ia bergegas menuju rumah Abah.
"Iya Den, dasar anak muda" Mang Daman mengulum senyum, memperhatikan Robi yang makin menjauh. Ia masuk ke kamar dan mulai membereskannya, sebelum kembali ke pekerjaannya membersihkan kebun milik pondok.
"Umi...umi...", Robi mengetuk pintu rumah Abah, ia memanggil Umi karena tahu Abah sudah pergi.
Kebetulan Tiara yang membukakan pintu. "Ucapkan salam kalau bertamu, bukannya teriak-teriak",
"Oh...iya, salam", ucap Robi.
"Assalamu'alaikum, begitu, masa sudah lupa kan sudah diberitahu", Tiara menatap kesal.
"Oh maaf lupa , Assalamu'alaikum Umi", ucap Robi, ia melihat Umi Anisa keluar dari pintu dapur.
"Wa'alaikum salam, ada tamu kok malah diajak ngobrol, suruh masuk Neng!", ucap Umi.
Tiara menggeser kakinya karena Robi nyelonong masuk, ia meraih tangan Umi dan mencium punggung tangannya. "Terima kasih Umi, hanya Umi yang mengerti saya" , senyum Robi
Tiara dan Umi saling pandang, mereka tidak menduga dengan tindakan Robi.
"Umi, saya mau menagih janji", ucap Robi.
"Janji apa?", Umi mengernyitkan dahinya.
"Umi bilang, saya boleh ngobrol dengan Tiara, di siang hari kan, ini sudah siang Umi", senyum Robi.
"Oh...itu", Umi tersenyum sambil melirik ke arah Tiara yang melambaikan tangan pertanda tidak mau.
"Boleh, silahkan saja, asal janji ya, bawa kembali Tiara utuh, tidak kurang apa pun", senyum Umi.
"Terima kasih Umi, saya janji", Robi mengangkat telapak tangan kanannya.
"Di sini saja, nggak usah ke mana-mana", ucap Tiara cemberut.
"Emh..., tadinya saya mau kita sambil jalan-jalan di pasar sana, kan kata Umi ngobrolnya harus di tempat ramai, iya kan Umi?"
Umi Anisa kembali tersenyum, "Di teras depan juga nggak apa-apa", Umi kembali melirik Tiara.
"Ya sudah di teras saja", Robi melangkah ke luar menuju kursi yang ada di sana dan duduk menunggu Tiara yang masih mematung .
"Iihh..., Umi kok diijinkan sih...",
"Dia sudah menepati janji untuk datang lagi siang ini, nah giliran kita yang menepatinya, sudah, temui saja, Umi lihat dia tidak ada niat jelek kok", bujuk Umi, ia memegang tangan Tiara.
Dengan malas Tiara melangkah menemui Robi yang sedang memainkan ponselnya. Ia duduk di depannya.
"Terima kasih ya", ucap Robi sambil tetap fokus dengan ponselnya.
"Untuk apa?",
"Hmm..., cuma kamu yang membuatku senang semalam, kamu yang bukan siapa-siapa aku, tapi kamu yang membuat aku senang di hari ulang tahunnku", Robi menerawang.
"Semalam aku hampir saja mengulangi kesalahan-kesalahanku, aku hampir putus asa, dan hampir berakhir di club malam lagi kalau kamu tidak menelepon aku", terang Robi.
"Oh...itu, memangnya semalam kamu kenapa?",
"Hah..., aku kecewa sama Mamih, sama Papih, sama teman-temanku juga, mereka sudah tidak peduli lagi sama aku, bahkan di hari ulang tahunku.
"Aku seperti menemukan kehidupan baru di sini, tenang, dan damai", Robi kembali menerawang.
"Aku benar-benar sendiri sekarang, orang tuaku sibuk dengan urusannya, teman-temanku sudah menganggap aku tiada, mereka mengira aku sudah mati akibat kecelakaan kemarin, bahkan pacarku saja kini akan menikah dengan teman dekatku sendiri, ternyata mereka menusukku dari belakang", geram Robi. Ia memukulkan tinjunya di atas meja hingga membuat Tiara yang duduk didepannya terperanjat kaget.
"Oh...maaf", Robi menarik tangannya.
"Terus kenapa kamu mencari aku", Tiara menunduk, karena ternyata Robi sedang menatapnya. Mata hitam itu seperti menusuk ke dalam hatinya.
"Aku butuh teman, karena sudah tidak ada lagi yang bisa aku ajak bicara, Mang Daman, pasti nggak akan nyambung, aku ini nggak punya saudara, aku anak tunggal",
"Sebenarnya aku bingung, harus ngapain setelah ini?", kembali Robi menerawang.
"Kamu mau berteman dengan aku dan tinggal di sini, begitu?", tebak Tiara.
Robi mengangguk, "aku sudah tidak punya tempat kembali, di rumah sudah nggak nyaman, di jalanan pun sudah tidak aman, temanku ternyata pengkhianat, apa lagi rivalku",
"Hmm..., boleh saja , tapi kamu ikuti aturan di sini, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", senyum Tiara.
"Maksudnya?", Robi menatap Tiara.
"Kalau di sini, kamu harus mau shalat, dan bersikaplah sopan, kalau bertamu dan bertemu siapa pun, ucapkan salam", senyum Tiara. Ia menjadi punya alasan untuk mulai mengajak Robi kembali menjalankan perintah agama.
"Oke, aku akan berusaha, ini untuk sewa motornya kemarin, tolong antar aku untuk membeli sepeda motor baru", Robi menaruh bungkusan di atas meja.
"Nggak usah", tolak Tiara.
"Simpan saja, siapa tahu nanti kamu membutuhkannya, nanti aku akan kirim gambar sepeda motor yang aku mau, kamu tinggal transaksi saja, nanti aku transfer uangnya", pinta Robi.
"Ini kuenya sudah matang, silahkan cicipi!", Umi Anisa menghampiri dengan membawa nampan berisi sepiring kue dan dua gelas teh manis
"Terima kasih Umi, jadi merepotkan", senyum Robi.
"Ini kue buatan Ara", senyum Umi. Ia kembali meninggalkan Robi dan Tiara berdua.
"Pintar memasak juga kamu", Robi mengambil satu kue dan mulai memakannya, bukan satu, ia mengambil lagi dan lagi",
"Itu enak apa lapar?", senyum Tiara.
"Dua-duanya , aku belum sempat sarapan tadi", kekeh Robi.
Tak lama Abah kembali dengan tiga Ustadnya. Kembali Ustad Fikri nampak tidak senang dengan kehadiran Robi di sana, apalagi ada Tiara yang menemaninya.
'Sudah kelewatan ini bocah, makin berani saja', Ustad Fikri mengepalkan tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
😁😁😁😁👊🏼👊🏼👊🏼
2023-12-13
0
Mustarika
ustadz jangan cemburu... kan bukan siap a siapanya ara
2023-10-21
0
GOLDEN DRAGON GOD EMPEROR
lanjut thor up nya , semangat 🤗
2023-05-23
1