"Ada apa Bah kok rame?", Tiara menghampiri Abah Ilham.
"Itu kita dapat kiriman makanan, Alhamdulillah, ada buat makan para santri", senyum Bah Ilham.
"Alhamdulillah Bah, pasti orang yang memberinya sangat baik, apa Abah mengenalnya?", Tiara melirik ayahnya.
"Abah Ilham hanya tersenyum, dia tidak menjawab.
"Oh..iya Bah, Tiara mau ke Madrasah dulu, sekarang ada jadwal mengaji anak-anak", pamit Tiara.
Abah Ilham mengangguk, ia menerima uluran tangan putrinya yang hendak pamit.
Abah Ilham memandangi kepergian Tiara hingga menghilang di ujung gang.
"Gimana sudah selesai Bah?", Robi tiba-tiba menghampiri kembali. Kini penampilannya sudah berubah kembali. Diia memakai celana jeans lagi dan lengan oblongnya.
Jalannya masing pincang , ia memanggil kembali Mang daman yang baru selesai membantu menurunkan barang yang diberikan olehnya.
Mobil boks yang mengirimnya pun sudah kembali , "Terima kasih Den Bos, kapan-kapan pesan lagi, kami siap mengantarnya kembali", ucap sopir mobil boks sebelum pergi meninggalkan Pondok.
"Ada apa Den?" Mang Daman menghampiri Robi.
"Mang, antar saya kembali ke atas bukit sana, siapa tahu masih ada barang saya yang tertinggal", ajak Robi.
"Gimana Bah ", Mang Daman meminta persetujuan Abah Ilham. "Sudah...sana antar saja, mumpung masih sore", senyum Abah Ilham.
"Ayo attu Den, kita berangkat sekarang?", Mang Daman berjalan menuju bukit diikuti oleh Robi, ia memakai topi yang dapat menyembunyikan sebagian wajahnya.
Santri-santri yang kebetulan berpapasan dengan mereka merasa aneh dengan penampilan Robi yang bak preman kampung saja. Preman yang ganteng.
Saat melintasi Masjid yang diujung jalan, Robi berhenti sejenak, ia mendengar suara merdu mendayu, tapi bukan sedang bernyanyi, liriknya asing baginya.
"Sebentar Mang", panggil Robi.
"Mang , dengerin !, itu suara orang bernyanyi ya?", tanya Robi.
Mang Daman mendekat, ia merapatkan ujung telinganya ke tembok, maklum pendengarannya sudah tidak sebagus waktu muda dulu.
"Oohh..., itu mah suara orang sedang mengaji", jelas Mang Daman.
"Mengaji al-qur'an Den, kedengarannya itu suara Neng Ara", senyum Mang Daman.
"Neng Ara itu putrinya Abah Ilham", terang Mang Daman.
"Oohhh...",
"Neng Ara itu cantik dan pintar. Dia guru termuda di Pondok ini", terang Mang Daman.
Semua ucapan Mang Daman tidak menarik hati Robi, pikirannya kini tertuju sama Marisa, gadis pujaannya.
"Mang, kemarin tidak menemukan apa pun saat menolong saya", Ti...dak, kemarin kan buru-buru, tidak memperhatikan barang, yang penting Aden selamat ", senyum Mang Daman.
"Memangnya apa yang di cari Den?", Mang Daman melirik Robi yang sedang menyibak-nyibak semak dihadapannya.
"Ada Mang, semoga saja jatuh disekitar sini", Robi melanjutkan pencariannya. Ia sedang mencari ponselnya, walaupun sudah rusak, tapi yang terpenting adalah sim card nya , banyak nomer penting di sana.
"Huh..., tidak ada Mang", keluh Robi, ia nampak putus asa.
"Hari mulai gelap lagi, kita pulang saja Mang", ajak Robi. Ia terduduk lemas di atas batu.
"Ya sudah, kita pulang saja, kalau masih milik Aden, pasti akan ketemu, walau pun sudah ditemukan oleh orang lain, pasti akan kembali kepada Aden", Mang Daman membesarkan hati Robi.
"Iya Mang, kita pulang saja, ini kaki kok malah tambah sakit ya", Robi meringis.
"Aden sih ..., memaksakan untuk ke sini", Mang Daman menghampiri Robi lalu memapahnya menuju ke Pondok.
"Aawww...", Robi menginjak sesuatu.
"Ini apa Mang?, di bawah kaki saya", Robi menjinjit.
Mang Daman menunduk, ia mengambil benda yang ada di bawah, ada sebuah benda pipih berwarna hitam di sana.
"Ini Den, ini apa?", Mang Daman mengangkat benda yang ditemukannya.
Dalam remang , Robi masih bisa melihat benda itu, "Ini yang saya cari Mang, itu Ponsel milik saya", Robi sumringah.
"Alhamdulillah, jadi ini yang Aden cari?, sekarang kita pulang saja", ajak Mang Daman. "Hari hampir gelap.
Mang Daman dan Robi menuruni bukit dengan susah payah, karena kegelapan. Namun di bawah nampak banyak cahaya, ternyata Abah Ilham menyuruh sebagian santrinya untuk menyusul Mang Daman dan Robi, mereka membawa obor sebagai penerangan.
"Alhamdulillah Mang , sampai gelap begini, Abah khawatir", Ustad Fikri menghampiri, ia membantu Mang Daman memapah Robi.
Hampir Isya, mereka baru sampai kembali di Pondok. Robi langsung di bawa ke kamarnya , kamar itu biasanya ditempati oleh santri mukim.
Santri mukim itu sebutan bagi santri yang sudah cukup lama tinggal di Pondok, ia menuntut ilmu di sana, bahkan sampai ada yang menikah dengan keluarga Pondok ataupun dengan sesama santri lagi.
Ustad Fikri, Ustad Dzaqi dan Ustad Fadil, mereka diantaranya yang termasuk santri mukim. Bahkan Ustad Fikri itu rencananya akan dijodohkan dengan anak Abah Kyai, Tiara Khoerunnisa.
Abah sudah mendidiknya sejak Ustad Fikri SD, Abah tertarik dengan kepintarannnya, banyak kitab yang sudah ia kuasai, bahkan ia sering kali mewakili keluarga Pondok untuk berceramah di luar saat Abah jadwal Abah Kyai bentrok.
"Mang, kok kaki ini malah tambah sakit saja, ada rasa panasnya juga", keluh Robi.
"Apa sebaiknya kita ke Dokter saja Den?",
"Tidak usah lah Mang, ini sudah terlalu malam, besok lagi saja", tolak Robi.
Ia memilih tidur , berharap dengan tidur rasa sakit di kakinya akan hilang.
Namun dalam tidurnya itu, ia merasa pikirannya tambah kacau, ingatannya berseliweran kembali pada saat dirinya bersama teman-teman di geng motornya.
Ia merasa dirinya sedang menunggangi kuda besinya, berada di atas lintasan.
"Ayo cepat, kejar aku...ha...ha...ha...,dasar siput, lambat sekali", teriak Robi.
Mang Daman terkejut, ia terbangun melihat Robi yang terus menceracau.
"Mah..Pah..., kenapa kalian tidak datang di hari ulang tahunku, aku tidak butuh dengan semua hadiah-hadiah itu, aku ingin kehadiran kalian berdua, aku kesepian di rumah Mah, Pah...., aku kangen kita berkuda bersama , main golf berdua, aku kangen kita touring-touring lagi", kembali Robi menceracau.
Mang Daman terlihat bingung, ini kali pertama Robi seperti ini, malam sebelumnya ia terlihat tidur tenang.
"Dasar kamu Mahes, berani-beraninya kamu goda Marisa, dia itu pacar Gue, jangan ganggu dia!, jauhi dia!, paham!!", kembali Robi berteriak.
"Aduh Den..., kok kayak main lenong saja, bicara sambil tidur, aneh-aneh saja Aden ini", senyum Mang Daman. Ia menyentuh tangan Robi.
"Masya Allah..., panas sekali, Aden demam ya..., Gusti Allah ....bagaimana ini?", Mang Daman mulai panik. Ia bingung harus bagaimana. 'Apa minta bantuan Ustad Fikri saja,' pikirnya.
"Ah...iya, kan Ustad tadi pamit mau pulang dulu", gumam Mang Daman , ia garuk-garuk kepala.
Di saat sedang bingung, datanglah Tiara" Mang, sedang apa?, mau ke Abah?, kan Abah lagi ada ceramah ,, tadi di antar Ustad Fikri", jelas Tiara.
"Aduh..., gimana ya Neng, itu Den Robi demam sepertinya, ia mengigau terus",
"Robi?, siapa dia Mang?, santri baru?", tanya Tiara.
"Itu..., orang yang kita temukan di sungai kemarin, sekarang demam, Mamang bingung", Mang Daman termenung.
"Di kompres saja Mang, mudah-mudahan bisa membantu, sebentar, saya ambilkan", Tiata masuk ke rumah dan kembali sambil membawa obat penurun panas .
"Kasih obat ini dulu, baru kompres ya Mang, semoga bisa membantu", senyum Tiara.
"Terima kasih Neng, Aamiin...aamiin..., semoga demamnya reda dengan ini",
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
😘😘
2023-12-11
0