Tiara sudah tidak bisa menolak permintaan Robi, ia segera menghubungi pemilik showroom langganannya, ia kirimkan foto sepeda motor yang dipesan Robi, setelah sedikit melakukan tawar menawar, dicapailah harga deal, Tiara langsung mentransfer uangnya, dan tinggal menunggu pengiriman barangnya
"Alhamdulillah..., beres, tapi dari mana Robi bisa punya uang sebanyak itu, dia kan di sini hanya diam saja, tidak bekerja", Tiara menerawang, ia mulai curiga, tapi cepat-cepat ia tepis kecurigaannya itu, ia tidak ingin berburuk sangka.
[Sudah beres semua, tinggal tunggu saja, nanti barangnya di kirim ke sini], Tiara mengirimi pesan ke Robi.
[Oke, thanks, ] balas Robi singkat.
"Tumben, biasanya panjang lebar", senyum Tiara.
[Tapi uang itu halal kan?, aku tidak mau terjadi sesuatu lho, ], kembali Tiara mengirimi pesan kepada Robi .
[Itu uang dari Mamih dan Papih, untuk hadiah ulang tahun aku], Robi kembali menegaskan.
Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang terjadi. Suasana di Pondok sudah kembali sepi, hanya suara binatang malam yang terdengar.
Suara adzan awal mulai terdengar, suasana kembali ramai dengan aktifitas para santri, namun ada yang lebih menghebohkan suasana pagi itu, ada sebuah mobil dari dealer yang mengirim sebuah sepeda motor sport.
"Wah...ini pesanan siapa , pasti mahal ini, bisa ratusan juta ini mah", Mang Daman memelototi sepeda motor itu.
"Ini siapa yang pesan?, apa Non Tiara lagi?", gumam Mang Daman.
Tak lama seseorang turun dari mobil itu, "Pagi Pak, saya Doni, rumahnya Tiara Khoerunnisa yang mana ya, ini pesanannya sudah sampai", ucap Doni.
"Tuh, kan Non Tiara, tidak salah lagi", gumam Mang Daman.
"Sebentar Pak", Mang Daman beranjak.
Semua santri kini mengelilingi mobil dealer itu hanya untuk melihat sepeda motor sport yang ada diatasnya.
"Eh...eh...eh..., kok malah pada di sini, ayo semua ke Masjid", suara Abah mengagetkan semua.
"Ini ada pesanan Non Tiara Abah", Mang Daman menghampiri. Tadinya ia mau menyusulnya ke rumah, tapi Abah keburu datang.
"Ara?, pesan apa?", Abah menghampiri mobil itu dan mendekati kurirnya.
"Pagi Pak kyai, ini ada kiriman buat Non Tiara", rengguh Doni.
"Kiriman buat Ara?, ini?, lho kok Abah tidak tahu kalau Ara pesan ini", Abah tampak bingung.
Tak lama Tiara datang, ia memegang tangan Abah, yang memandangnya lekat.
"Abah..., benar ini pesanan Ara, tapi bukan Ara yang beli", Tiara menunduk karena Abah menatapnya tanpa berkedip, Abah sepertinya marah.
"Terus ini punya siapa?, ini barang mahal Neng, harganya selangit", ucap Abah.
"Itu punya saya Abah, saya yang minta Tiara membelikan saja, saya butuh buat pergi-pergi, masa harus pinjam terus", terang Robi, ia tiba-tiba datang dibelakang para santri.
Semua melirik kaget, "Wah ...ini barang mahal, mana bisa ia membelinya", ucap Ustad Fikri.
"Benar Abah, ini milik Robi", Ara kembali meyakinkan Abah.
"Ya sudah, sekarang semua kembali ke Masjid, biar ini Robi yang mengurus", Abah menepuk pundak Robi, dalam hatinya penuh pertanyaan buatnya, tetapi ia harus segera memimpin shalat subuh berjamaah.
"Nanti saja kita bicara lagi", Abah berlalu menuju Masjid mengikuti para santrinya.
Tinggallah Robi, Tiara, dan Doni yang menyelesaikkan administrasi. Setelah itu Robi dan Tiara pun menyusul ke Masjid.
'Dari mana dia punya uang sebanyak itu, apa jangan-jangan dia itu penjahat yang lolos dari kejaran Polisi', pikir Ustad Fikri. Ia merasa ada jalan untuk menendang Robi dari Pondok dengan menyebarkan berita bohong itu.
Selesai shalat subuh, ia bergegas meninggalkan Masjid, "Maaf kebelet" ,bisiknya kepada Fadil yang duduk disampingnya.
Ia bergegas menuju kobong yang biasa ditempati Mang Daman dan Robi, ia menyelinap lewat pintu yang tidak di kunci.
Di dalam sana ia mulai mengobrak-abrik isi kamar, dan ia pun menemukan banyak uang di dalam ransel milik Robi.
"Nah, ketahuan juga, ternyata benar kamu maling yang hanya bersembunyi di sini", geram Fikri.
Ia lantas membawa tas itu menuju rumah Abah, Fikri duduk di kursi teras , karena Abah ternyata masih di Masjid.
"Ada Ustad, menunggu Abah?", tanyai Umi Anisa yang kebetulan hari ini tidak salat di Masjid.
"Iya Umi, maaf saya lancang duduk di sini", renggkuh Fikri.
"Tidak apa-apa, tunggu saja", senyum Umi. Ia kembali melanjutkan menyapu lantai rumahnya.
Tak lama, Abah pulang diikuti Tiara. Tiara langsung mas, uk, hanya Abah yang menemui Fikri di teras rumahnya.
"Ada apa?", senyum Abah.
"Ini saya ada barang mencurigakan", Fikri menyodorkan ransel berisi uang di depan Abah.
"Ini milik siapa?", Abah mengernyitkan dahinya.
"Simpan saja Bah, nanti pemiliknya pasti akan mencari, itu isinya uang", jelas Fikri.
"Uang?,uang siapa sebanyak ini?", Abah melototi tas ransel di depannya.
"Ini uang hasil apa?", Abah menatap fikri.
"Iya ,makanya saya curiga, ini uang hasil tidak baik Bah, kita lihat saja nanti siapa orang yang akan mencari tas ini, kita interogasi langsung saja dia",
Abah mengangguk. Abah membawa tas itu dan menyimpannya di dalam kamar miliknya.
Sampai siang hari, suasana Pondok masih tenang, santri masih belajar . Mang Daman pun masih sibuk dengan pekerjaannya di kebun.
Robi pun masih asik dengan motor sport barunya. Semua itu tidak lepas dari perhatian para santri yang mencuri -curi pandang ke arah Robi.
'Hebat juga dia, bisa dapat barang bagus dengan harga miring', pikir Robi.
"Ini perlu dirayakan, syukuran dulu lebih baik sepertinya", gumam Robi. Ia beranjak menuju kobongnya bermaksud mengambil beberapa lembar uang untuk keperluannya.
Namun betapa kagetnya saat ia tidak mendapati tas ransel ditempatnya. Ia sampai obrak-abrik seluruh isi kamarnya, namun tetap tas itu tidak ditemukannya.
"Tanya Abah, iya ...ke rumah Abah saja", gumam Robi, ia bergegas menuju rumah Abah.
Disana Ustad Fikri sudah tersenyum evil begitu melihat Robi.
"Kena kamu, ketahuan belangnya", gumam Fikri.
"Assalamu'alaikum, Abah", Robi melewati Ustad Fikri, ia langsung menuju pintu rumah Abah.
"Hai..., kalau bertamu itu yang sopan", gertak Fikri.
"Assalamu'alaikum, Bah...Abah...", ulangi Robi, ia t mengabaikan ucapan Fikri.
Untung saja Abah Ilham keburu datang, "Wa'alaikumsalam, Nak Robi?, tadi Nak Robi yang mengucap salam?", senyum Abah.
"Iya Abah", renggkuh Robi.
"Alhamdulillah..., ada apa sepertinya panik begitu?", tatap Abah.
"Itu Abah, saya kehilangan tas", jelas Robi.
"Tas apa?", Abah melirik Ustad Fikri yang sedang mengulum senyum.
"Tas ..., sebentar ya...", Abah masuk kembali ke dalam rumah dan kembali dengan menjinjing tas lalu ditaruhnya di atas meja di depan Ustad Fikri.
"Alhamdulillah..., iya itu, itu tas saya Abah" , Robi menghampiri.
"Tunggu", Abah menghalau tangan Robi, bahkan nada suaranya pun meninggi.
"Tas ini isinya uang, uang dari mana itu?, apa kamu ini berbohong, kamu ini sebenarnya perampok yang jatuh karena dikejar Polisi, iya?, jawab!!!", Abah kembali menggertak Robi.
" Bukan Abah, itu memang benar uang milik saya, tapi itu uang halal Bah", aku Robi.
"Alah ...uang halal dari mana, kamu kerjanya saja cuma tiduran di sini, lalu bisa punya banyak uang seperti itu, mustahil", geram Fikri, ia ikut nimbrung.
"Iya, tapi benar itu uang saya, itu uang jajan saya Abah", aku Robi lagi.
"Ha...ha...ha...., uang jajan?, uang jajan sebanyak ini, gila kamu, orang tua mana yang memberi uang jajan anaknya sebanyak ini, sudah!!!, mengaku saja, itu uang hasil merampok kan?", tegas Ustad Fikri.
"Bukan Abah..., itu benar uang halal", bela Robi.
"Sudah Bah, jangan tunggu lama!, dia harus segera dilaporkan, ini sudah kriminal",
Ustad Fikri menggiring Robi ke halaman Madrasah, ia ingin semua santri tahu, siapa Robi sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
💖💖
2023-12-13
0
Faris Setyawan Fais
masak mulai kemarin sholat subuh terus thor, terus ngantar motor kok sebelum subuh, dzuhur kalau thor
2023-11-05
1