Robi yang kini sedang memavu kembali sepeda motornya di atas jalanan, merasa marah dan kesal. Ia terus saja berkeliaran , bolak-balik arah. Robi bingung, kini tidak ada lagi teman yang bisa ia tuju.
Ia berhenti di sebuah fly offer, memandangi kerlap-kerlip Kota."Mang Daman", gumamnya.
Ia teringat kepada orang yang sudah menolongnya. "Ya...., Mang Daman", Robi kembali memacu sepeda motornya, ia menepi di sebuah kedai martabak.
"Lima puluh bungkus ada Mang?", tanya Robi kepada pedagang martabak yang sedang duduk di samping gerobaknya setengah mengantuk.
"Hah", pedagang itu terperanjat kaget, serasa mimpi, ada yang memesan martabaknya sebanyak itu.
"Apa?, lima puluh bungkus Ustad?", ulangi si pedagang.
"Iya Mang", cepat ya!",
"Alhamdulillah..., baik-baik Ustad akan segera dibuatkan. Dengan tersenyum bahagia pedagang itu melayani Robi. Ini orderan pertamanya. Sudah hampir lima jam mangkal, belum ada pembeli satu pun, dan kini datang seorang Ustad yang langsung memborong dagangannya.
Satu per satu martabak berhasil di buat, dus yang sudah terisi, mulai menumpuk di sampingnya.
Dengan ponsel pintarnya, Robi mencari kurir yang bisa membantunya membawa bungkusan-bungkusan itu.
Tak lama datang seseorang menghampiri dengan motor maticnya.
"Apa Ustad yang memesan saya?", tanyanya langsung kepada Robi.
"Iya, sebentar , bantu saya membawa dus-dus ini",
"Baik Ustad",
Setelah selesai , Robi memberikan sejumlah uang untuk membayar pesanannya, "Ambil saja kembaliannya Mang",
"Terima kasih, Alhamdulillah Ustad, jazakallah", senyum Pedagang martabak.
"Apa Mang?", Robi mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan pedagang martabak itu.
"Semoga Allah membalas kebaikan Ustad", senyum pedagang.
"Oohhh, kirain apa...", Robi menata dus-dus itu di motor kurir dan meninggalkan tempat itu diikuti kurir tadi.
Tujuannya kali ini adalah Pondoknya Abah Ilham. Ia ingin memberikan martabak-martabak itu kepada anak santrinya Abah.
Merekalah yang telah menolongnya, hingga Robi masih bisa melewati moment ulang tahunnya kembali, kalau tidak, mungkin ia sudah seperti anggapan teman-temannya, sudah tiada.
Walau malam hampir larut, tetapi suasana di pondok masih ramai, suara santri mengaji masih terdengar walau sayup-sayup.
Robi bingung , gerbangnya sudah di kunci. Ia berusaha mencari nomer yang semalam meneleponnya.
"Nah...., semoga belum tidur dia", Robi menghubungi nomer itu. Lama ia tunggu tidak ada jawaban juga.
Namun Robi tidak putus asa, ia berkali -kali mendial nomer itu.
Sampai akhirnya ada jawaban di sana.
"Ya ...Assalamu'alaikum?",
"Cepat buka gerbangnya, aku ada di luar", jawab Robi to the point, lalu menutup ponselnya.
"Dasar orang aneh", gerutu Tiara. Ia tahu Robi yang kini ada di luar gerbang Pondok ayahnya.
Tiara langsung ke luar rumah menuju gerbang, Abah dan semua santri laki-laki masih pada di Masjid , mereka sedang belajar Al-barjanji.
Tiara berdiri di depan gerbang, dengan jelas dilihatnya seseorang berpakaian gamis laku-laki berdiri membelakanginya
"Assalamu'alaikum Ustad", Tiara melihat sekeliling mencari keberadaan Robi, namun tidak ada.
Robi berbalik, ia mendapati Tiara berdiri didepannya. "Cepat buka gerbangnya?", ucap Robi.
"Anda siapa?, apa mau bertemu dengan Abah?", Tiara tidak mengenali Robi.
"Aduh..., cepatan buka, ini aku", Robi menuju motornya.
Setelah mengenali itu motor miliknya, Tiara membuka gerbang dengan bingung, ia tidak melihat sosok Robi di sana.
"Aduh..., lama sekali, aku bisa jadi batu nih", gerutu Robi.
"Ini bagikan buat para santri, terima kasih gitu sudah menolong aku", Robi menunjuk ke arah tumpukan dus.
"Sebentar... Ini tu...Hmmmm....",
"Ya, aku Robi , orang yang kalian temukan di sungai", jelas Robi.
Tiara menutup mulutnya, ia menahan tawa merasa lucu dengan penampilan baru Robi.
"Ini tu kamu, kenapa jadi seperti ini", cicit Tiara.
"Jangan tertawa..., buruan bagikan, aku mau ke kamar dulu, ganti kostum", Robi berlalu dari hadapan Tiara dengan memapah sepeda motornya.
Ia tidak ingin membuat kegaduhan dengan suara sepeda motornya.
"Hmmmm...,peduli juga itu orang", Tiara memanggil dua orang santri yang kebetulan lewat.
"Ini tolong bagikan kepada santri, sebagian lagi buat santri Putri", perintah tiara kepada anak murid ayahnya.
"Baik", rengkuh santri itu. Mereka terlihat senang.
"Adrahi...", katanya sambil tersenyum.(Adrahi itu sebutan untuk bingkisan/hadiah yang berupa makanan).
Tak lama ada berapa santri lagi yang ikut membawa dus-dus itu. Sementara Tiara kembali masuk ke rumahnya.
Belum juga sampai di kamarnya, kembali ia dapati pesan masuk dari Robi.
"Aku mau ngobrol, ada yang mau dibicarakan", begitu pesan Robi.
"Iiihh, tak tahu waktu ini orang", gerutu Tiara.
Tiara membalas juga pesan dari Robi, "Maaf, besok saja, ini sudah malam, aku tidak bisa",
Tiara baru saja mau kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur saat pintu rumahnya ada yang mengetuk.
"Aduh...siapa lagi", ia kembali beranjak menuju pintu depan, ia intip dari tirai, dan nampak sosok Robi yang berdiri di depan pintu.
Robi langsung tesenyum dan melambaikan tangan begitu melihat Tiara yang menyingkap tirai.
"Aduh...ni orang dasar ya, nggak punya etika, sudah dibilang besok lagi, eh...,keukeuh saja datang", kembali Tiara menggerutu.
"Ada apa kok cemberut begitu", Umi Anisa menghampiri, tadi ia juga mendengar suara pintu di ketuk.
"Itu Umi, orang itu datang lagi, sudah di bilangin besok lagi, ini malah sudah ada di depan, bagaimana Umi, ini kan sudah malam", Tiara menatap Umi Anisa.
"Suruh masuk saja, siapa tahu ada hal penting, makanya maksa datang ke sini", senyum Umi.
"Tapi ini kan sudah mala. Umi",
"Nggak apa-apa..., nanti biar Umi temani", senyum Umi.
"Ya sudah, kalau begitu", Tiara membuka pintu , ia diam saja begitu pintu terbuka.
"Nak Robi sudah kembali, silahkan masuk!", persilahkan Umi Anisa.
"Oh...iya baik Umi", Robi langsung nyelonong masuk dan duduk di kursi tamu, sementara Tiaravdan Umi saling pandang, Umi memegangi tangan Tiara, takut anaknya itu bicara yang tidak-tidak.
Umi menganggukkan kepala dan ikut duduk di depan Robi diikuti Tiara yang terlihat kesal.
"Pasti ada hal penting ya, sampai Nak Robi memaksakan datang ke sini malam-malam", senyum Umi. Ia memaklumi sikap Robi tadi.
"Iya Umi, saya perlu bicara dengan Tiara", Robi melirik Tiara.
"Oh...boleh, silahkan!, tapi kalau di sini wanita dan laki-laki tidak boleh ngobrol berdua, apalagi malam-malam, harus mahrom yang menemani, jadi kalau Nak Robi mau bicara sekarang, silahkan!, Umi temani di sini", jelas Umi.
"Oh...begitu ya Umi, maaf saya baru tahu", senyum Robi.
"Kalau begitu, besok siang saja Umi , saya perlu ngobrolnya sama Tiara saja", Robi melirik Tiara.
"Oh...boleh, tapi walau siang pun , tidak boleh ditempat sepi , harus di tempat yang ramai ya", senyum Umi lagi.
"Oh...begitu", Robi menggaruk kepalanya. 'Ribet banget sih, cuma mau ngobrol doang', gerutu Robi di dalam hati.
"Kalau begitu saya pamit dulu Umi, maaf mengganggu", Robi meninggalkan Umi dan Tiara. Umi dan Tiara kembali saling pandang.
"Tuh...kan tidak ada sopan-sopnnya itu orang", Tiara kembali menggerutu.
"Maklumi saja Neng, dia tidak tahu, tugas kita buat memberitahunya", senyum Umi.
Di Teras, Robi bertemu dengan Abah Ilham , Mang Daman dan Ustad Fikri.
"Aduh...Den Robi sudah kembali?, terima kasih lho Den adrahinya", senyum Mang Daman.
"Adrahi..., apa Mang?", Robi kembali mengernyit.
"Ini Den", Mang Daman mengangkat dus martabak ditangannya.
"Oh...itu, martabak Mang, bukan adrahi",
"Iya Den, adrahi itu oleh-oleh gitu", kekeh Mang Daman. Robi menyalami Abah dan Ustad Fikri.
Terlihat Ustad Fikri merasa tidak senang melihat Robi ada di rumah Abah.
"Sudah mau pulang ya?", Abah melirik Robi.
"Iya Abah, tadi saya ke sini tadinya mau ngobrol sama Tiara, tapi kata Umi ini sudah malam, kalau mau besok siang ke sini lagi", jelas Robi.
"Oh..., iya , memang sudah malam, kalau bertamu itu harus tahu waktu", ketus Ustad Fikri. Seketika hatinya panas begitu mendengar maksud kedatangan Robi yang ingin bertemu dengan Tiara.
"Ya, sudah, besok siang saja ke sini lagi", senyum Abah .
"Baik Bah, saya pulang dulu, ayo Mang", Robi mengajak Mang Daman.
"Oh...iya ayo!, saya pulang dulu Abah, Assalamu'alaikum", Mang Daman memberi salam. Ia mengikuti Robi yang lebih dulu berlalu.
Hati Ustad Fikri makin panas saja, karena Abah juga malah mengijinkan Tiara bertemu dengan Robi.
Tak lama ia pun pamit dengan perasaan kesal.
'Tambah berani saja itu orang', Ustad Fikri mengepalkan tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
💖💖💖
2023-12-12
0