"Ini sudah hampir satu minggu pemuda itu di sini, sepertinya kondisinya sudah membaik", gumam Abah Ilham.
Hari ini ia bermaksud menemui Robi, ingin memastikan kondisi terakhirnya. Abah Ilham ingin menanyakan rencana Robi selanjutnya, ia pasti mempunyai keluarga, tapi selama hampir seminggu ini, tidak terdengar kabar ada orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya.
Robi pun nampak santai , ia tidak pernah sekali pun berbicara soal Ayah ibunya. Robi nampak sedang mengotak-atik ponselnya saat Abah Ilham menemuinya.
"Assslamu'alaikum", Abah Ilham menghampiri Robi.
Robi melirik ke arah Abah Ilham, ia tersenyum, "Silahkan duduk Bah" , dengan suara datar dan kembali fokus ke ponselnya.
"Baik, tapi seharusnya jawab dulu salamnya, karena itu do'a, kita saling mendo'akan untuk keselamatan", senyum Abah Ilham.
"Oh iya, Wassalam Bah", ucap Robi datar.
Abah Ilham mengulum senyuman, "Wa'alaikumsalam, begitu cara menjawabnya" ucap Abah Ilham
"Oh iya, Wa'alaikum salam",ulang Robi. Ia masih fokus dengan ponselnya.
"Boleh duduk?" , Abah Ilham menatap Robi.
Mendengar ucapan Abah Ilham, Robi tersentak, ia buru-buru duduk tegak, ia baru sadar di sini Abah Ilham pemilik tempatnya.
"Oh...maaf Bah, silahkan duduk, saya jadi malu, ini kan tempat milik Abah", Robi terlihat kikuk.
"Tenang saja Nak Robi, silahkan saja duduk", senyum Abah Ilham.
"saya hanya ingin melihat keadaan Nak Robi, sepertinya sudah sehat ya?", Abah Ilham memperhatikan seluruh tubuh Robi.
"Sekarang kan Nak Robi sudah sehat, terus apa rencana selanjutnya?", Abah Ilham menatap Robi.
"Maksudnya rencana apa Bah?", Robi balik bertanya.
"Ya mungkin Nak Robi mau pulang ke rumah? , pasti orang tuamu akan sangat khawatir", kembali Abah Ilham menatap Robi.
"Sudah hampir satu minggu kan Nak Robi di sini, apa tidak kangen sama orang tuamu?",
"Ha...ha...ha... , kangen...kangen..., ingin sekali seperti itu Bah, tapi lihat..., tidak ada satu pesan pun masuk dari mereka menanyakan keadaan aku , mereka itu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadi mereka, mana ingat sama saya, anaknya, yang penting mereka sudah mengirimi saya uang, ya ...sudah cukup bagi mereka, karena mereka pikir, uang akan membuat anaknya senang, dan tidak kekurangan, itu saja ", jelas Robi.
Ada raut kekecewaan di wajahnya. Abah Ilham tercengang mendengar penjelasan dari Robi, 'Kasihan..., pantas saja sikap dan tinggkahnya agak aneh, ternyata ini anak dibiarkan mencari kebenaran sendiri , tidak diajari aturan-aturan dalam hidupnya', pikir Abah Ilham.
"Terus kemarin bisa ditemukan di sungai oleh Mang Daman, itu kenapa?",
"Saya kecelakaan motor Bah, tepatnya motor balap saya remnya blong, jadi meluncur bebas ke jurang", senyum Robi.
"Balapan liar?", tanya Abah Ilham hati-hati.
"Hmmm..., iya..." , kekeh Robi. Motor balapnya pun belum ditemukan Bah", senyum Robi. Ia menceritakan kisah tragisnya dengan senyuman.
"Jadi, Nak Robi mau menemui orang tuanya?",
"Abah mengusir saya?", tatap Robi.
"Oh...bukan, bukan begitu maksud Abah",
"Abah cuma bertanya saja, kalau Nak Robi mau tinggal di sini, boleh saja, nanti identitasnya Abah masukkan dalam dataan para santri, hanya saja kalau masih tetap mau tinggal di sini , ya harus mengikuti kebiasaan di sini,
"Nak Robi harus mengaji dan shslat", lirik Abah Ilham.
"Tapi saya tidak bisa Bah",
"Iya kan belajar, nanti juga akan bisa", senyum Abah Ilham.
"Ya..., kita lihat nanti saja Bah",
"Drtttt.....drttttt...", ponsel lama Robi bergetar, di layar nampak nama 'Marisa', Robi hanya menatap layar ponselnya saja.
"Siapa tahu penting, jawah dulu saja",, pinta Abah Ilham.
Robi buru buru menutup sambungan teleponnya, ia masih belum mau bicara dengan Marisa, ia ingin mereka sudah menganggap dirinya tiada, Robi pun tidak menyangka kalau Marisa masih mengingatnya.
Tak lama ada notifikasi masuk di ponselnya, ternyata Marisa mengiriminya pesan. [Sayang...kamu dimana?, apa kamu selamat dari kecelakaan itu, Mamih kamu hubungi aku terus, kalau selamat, hubungi aku , kamu di mana?], begitu pesan dari Marisa.
Sama , Robi tidak membalas pesan Marisa.'Oh..., jadi hanya karena Mamih yang bertanya kepadamu, baru kamu mencari tahu di mana aku', pikir Robi.
"Jadi bagaimana?, sudah terpikirkan rencananya ?", Kembali Abah Ilham bertanya.
"Iya, saya mau pulang saja, saya masih ada urusan yang harus diselesaikan, tapi nanti saya boleh ke sini lagi kan Bah?",
"Boleh...., tentu saja boleh, asal satu syaratnya, kalau di sini harus mau belajar, terutama belajar shalat, siap?",
"Siap Bah", Robi mengiyakan.
"Alhamdulillah..., semoga nanti betah di sini ya , biar cepat bisa belajarnya", kekeh Abah Ilham.
"Tapi nanti saja , saya nunggu agak malam pulangnya", Robi melirik Abah Ilham.
"Ya, terserah Nak Putra saja, tapi saya perlu kendaraan Bah",
"Motor maksudnya?",
"Iya..., masa saya pulang jalan kaki, kalau ada motor kan bisa cepat", senyum Robi.
"Kalau motor butut sih ada, bekas Ara, tapi sepertinya masih bisa di pakai, nanti coba di lihat saja, masih bisa di pakai tidak, kalau masih bisa jalan, silahkan saja pakai, tapi tentunya harus minta ijin Ara dulu, itu sepeda motor pertama Ara", senyum Abah Ilham.
"Ara?, siapa Ara ?", tanya Robi.
"Ara..., Tiara, itu putri Abah, dia masih kuliah, pulang pergi kuliah biasa membawa sepeda motor",
"Ehm..., wanita bersepeda motor, keren Bah", senyum Robi.
"Iya, Tiara itu mandiri, tidak pernah merepotkan orang tua, selama bisa dikerjakan sendiri, tidak pernah meminta tolong sama orang lain", senyum Abah Ilham.
"Nanti ba'da Isya, sepulang mengajar mengaji, ke rumah saja, Tiara sudah ada di rumah", kabari Abah Ilham.
"Iya Bah", Robi mengiyakan.
"Sudah mau Asar, Abah ke Masjid dulu, ayo ikut!, sekalian shalat berjamaah", ajak Abah Ilham.
"Hmmm...hmmm, nanti dulu Bah, saya belum bisa shalat", alasan Robi.
"Shalat berjamaah itu tinggal mengikuti gerakan Imam saja", jelas Abah Ilham.
"Iya, nanti saja Abah, saya mau siap -siap buat pulang nanti malam", alasan Robi.
"Ya sudah, Abah duluan ke Masjid, kalau berubah pikiran, ke Masjid saja", senyum Abah Ilham.
"Iya...iya siap Bah, tenang saja, saya sudah tahu jalannya kok",
Abah Ilham meninggalkan Robi yang kini kembali fokus ke ponselnya. 'Semoga Allah cepat memberinya hidayah' , batin Abah Ilham bicara.
Sebagaimana janjinya, Robi datang ke rumah Abah Ilham sekitar jam delapan malam. Ia sudah berdandan rapi dengan setelan kaos dan jeans kebangsaannya, dengan menenteng sebuah tas ransel, topi dan kaca mata hitamnya sudah lengkap di pakainya.
Sebelumnya ia sudah pamit kepada Mang Daman, bahwa ia akan menemui orang tuanya dulu dan ada urusan yang akan diselesaikan.
Bukannya berucap salam, Robi malah mengetuk-mengetuk dan memanggil Abah Ilham berkali-kali.
"Aduh...., siapa itu orang, bikin ribut saja", gerutu Tiara, ia keluar dari kamarnya dengan kesal. Tanpa mengintip dulu yang datang, ia langsung membuka pintu sambil terus menggerutu, "Siapa sih.., bukannny mengucap sa...l...a..m...", Tiara terpaku melihat pemuda di depannya.
"Abah Ilhamnya ada?", Robi to the point.
"Oh...Abah??, masih di Masjid", ucap Tiara.
"Saya afa perlu sama Abah, tunggu di sini saja ya?", Robi nyelonong masuk dan langsung duduk di kursi tamu.
Tiara menggelengkan kepala, ia sungguh baru menemui orangnyang tidak punya sopan santun begini, sudah tidak berucap salam, main duduk saja lagi.
"Neng, boleh minta minumnya dong, Aku haus, tadi buru-buru datang ke sini , tidak sempat minum dulu", pinta Robi dengan wajah datar.
Tiara hampir berteriak kesal, namun Abah keburu datang dari pintu belakang , "Iya Neng, sekalian Abah juga buatin susu hangat ya", senyum Abah Ilham, ia mengelus kepala Tiara, Abah tahu, putrinya sedang kesal karena sikap Robi.
"Baik Bah", senyum Tiara. Rasa kesalnya langsung hilang begitu mendengar suara Abah.
'Dasar orang asing, tidak tahu etika', Tiara masih mendumel saat membuatkan minuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
😘😘😘
2023-12-11
0
Gadih Hazar
Ceritanya Seru lo ini... Masyaaallah.. banyak ilmu juga.. sukses untuk mu ya kak..
2023-09-30
1