Tiara tersenyum sendiri begitu mengingat ucapan Mang Daman tadi, apa iya dirinya akan suka kepada orang asing yang tiba-tiba datang tanpa di undang ke Pondok milik abahnya.
Ustad Fikri saja yang sudah bertahun-tahun sering bertemu dengannya di Pondok, tidak memiliki ruang sedikit pun di hatinya, hanya sekedar guru ngajinya saja. Apalagi dia orang asing, pikir Tiara.
"Ada apa senyum-senyum sendiri?", Umi Anisa, ibunya bertanya .
"Ah nggak Umi, itu tadi Mang Daman lucu, masa katanya Tiara bisa suka kepada orang asing yang kemarin ditemukan di sungai, bertemu saja belum", kekeh Tiara.
"Umi juga belum melihatnya langsung, tapi menurut Abah, memang orangnya ganteng katanya", senyum Umi.
"Iya, tiara juga tahu, banyak santri Putri yang bilang begitu", Tiara mencomot nasi ulen dari nampan.
"Itu masih mentah, belum di goreng", Umi Anisa melirik Tiara.
"Biarin Umi, Tiara suka walaupun masih mentah", cicit Tiara.
"Tuh...kan, belum masak saja sudah suka", kekeh Umi Anisa.
"Maksudnya apa Umi?", Tiara penasaran dengan ucapan uminya.
"Itu, ulen yang masih mentah saja suka, apalagi kalau sudah di goreng. Sama, belum bertemu saja bisa suka apalagi kalau sudah bertemu" , kekeh Umi Anisa lagi.
"Hmmm..., jadi penasaran, oh iya semalam ....euh....", Tiara nampak sedang berpikir.
"Apa Neng?", Umi Anisa menghentikan kegiatannya.
"Itu Robi, kata Mang Daman semalam demam,Mang Daman mau ke Abah, tapi kan Abah belum pulang, jadi Ara beri obat penurun panas saja yang ada, dan menyuruh Mang Daman untuk mengompresnya", jelas Tiara.
"Siapa yang sakit Neng?", Abah Ilham muncul dari balik tirai.
"Robi, Bah, orang asing yang ditemukan di sungai kemarin, semalam demam katanya, Mang Daman ke sini mau memberitahu Abah, tapi Abah belum pulang", jelas Tiara.
"Terus bagaimana keadaannya sekarang?, apa sudah baikan?", kembali Abah Ilham bertanya.
"Katanya sudah sih, tapi nggak tahu juga, tadi pulang di Masjid sempat ngobrol dengan Mang Daman, orangnya masih tidur, apa tidak shalat gitu?",
"Maklum Neng, sepertinya dia bukan orang sembarangan, tapi ya itu, dia tidak bisa shalat katanya", ucap Abah Ilham.
"Hah..., kok bisa?, tapi dia itu Islam kan Bah?",
"Iya, Islam, tapi tidak menjalankan ajarannya, tidak tahu lah, Abah juga bingung",
"Ya, itu tugas kita Bah, besar lo pahalanya membawa kembali orang ke jalan yang benar",senyum Umi Anisa.
"Iya..., nanti pelan-pelan kita ajak dia supaya kembali belajar untuk menjalankan semua ajara agamanya.
"Ini!, kita mulai dengan memberi dia sarapan dulu, Neng antar ke sana ya, sekalian lihat bagaimana keadaannya sekarang, kalau masih demam, kita harus cepat membawanya ke Dokter, bahaya, bisa banyak kemungkinan kalau demam, bisa typus, demam berdarah, atau ada infeksi di bagian tubuh tertentu", jelas Abah.
"Dia ditemukan di sini, di tempat kita, kalau terjadi hal buruk sama dia, kita nanti yang akan disalahkan, mana kita belum melaporkan hal ini kepada pihak berwajib, sementara kita masukkan datanya bersama anak santri kita dulu saja", jelas Abah Ilham.
Nampak ada kekhawatiran dalam sorot matanya.
Ia bahkan belum memberitahu pengurus setempat tentang penemua Robi.
"Ini saja Abah?", Tiara mengambil sepiring ulen.
"Tunggu Neng, ini ada nasi dan lauk seadanya, berikan sekalian", Umi Anisa membungkus dua nasi dan lauknya.
"Cepat kembali jika Robi masih demam, kita bawa dia ke Dokter lagi", pesan Abah Ilham.
"Iya Abah", Tiara segera pergi ke kobong sebelah untuk mengantar makanan.
"Assalamu'alaikum", Tiara mengucap salam di depan pintu kobong.
Lama tidak ada jawaban, Tiara kembali mengucap salam.
"Wa'alaikumsalam, sebuah suara mengagetkannya dari arah belakang, ia menolehnya dan langsung terpana melihat seseorang sedang berdiri didepannya.
Seorang pemuda tinggi tegap, kulitnya putih, sorot matanya tajam, dengan hidung mancung, dan alis yang tebal.
Sama, si pemuda itu juga tidak kalah kagetnya begitu melihat orang di depannya wanita bercadar. 'Ini kayaknya wanita yang aku lihat sast di Swalayan itu', pikir Robi. Ya Pemuda itu adalah Robi, ia baru pulang membeli sarapan ,nampak dua kresek ada ditangannya.
"Ehmmm.....ehmm...", sebuah suara mengagetkan mereka, Mang Daman datang melihat mereka masih saling pandang.
"Aduh Neng Ara, Den Robi, kok malah pada jadi patung", kekeh Mang Daman.
"Astaghfirullah..., kaget Mang", Tiara segera menunduk. 'Ini Robi?, pantas saja jadi bahan pembicaraan dikalangan para santriwati, memang cakep, sepertinya bukan orang sembarangan', pikir Tiara.
"Iya Mang, saya sepertinya pernah melihat orang ini waktu di swalayan", jelas Robi, "Kaget saja kok bertemu kembali di sini",
"Iya... Den.. , ini Neng Tiara, putrinya Abah Ilham yang pernah Mamang ceritakan", senyum Mang Daman.
"Mang, ini ada sedikit makanan dari Umi, kata Abah kalau masih demam, dibawa ke Dokter saja", Tiara memberikan bawaannya kepada Mang Daman.
"Aduh...kok repot-repot, padahal Mamang lagi masak nasi liwet, tapi pamali menolak rejeki, terima kasih Neng", Mang Daman mengambil bungkusan yang diberikan Tiara.
"Ini juga sudah beli Mang, ada kupat tahu", Robi mengangkat kresek bawaannya.
"Alhandulillah ..., hari ini Mamang panen makanan, bisa biuat cadangan", kekeh Mang Daman.
"Yang ini buat kamar sebelah saja Mang, nggak enak kalau disimpan lama, bisa basi, lagian nggak usah repot-repot", ketus Robi.
"Ya, sudah, saya pergi dulu Mang, "Assalamu'alaikum", Tiara meninggalkan Mang Daman dan Robi.
"Sombong!' , dasar pemuda aneh", bukannya berterima kasih",gerutu Tiara. Ia merasa kesal dengan sikap Robi. "Wajahnya saja yang bagus".
"Ada apa...?, kok malah cemberut?", Umi Anisa mengelus kepala Ara yang langsung duduk begitu pulang dari mengantar sarapan ke kobongnya Mang Daman.
"Sombong banget itu orang, bukannya senang dikirimi sarapan",
"Sabar..., dia orang baru, berbeda dengan para santri yang sudah mengerti ilmu", Abah Ilham mengelus tangan Tiara.
"Pokoknya besok-besok nggak usah dikirimi lagi makanan, mending buat orang yang lebih membutuhkan saja, pasti akan lebih dihargai", ketus Tiara.
Ia masih kesal dengan sikap Robi. Padahal dirinya sudah terpesona begitu melihat rupa wajahnya. Tapi ucapannya yang pedas, telah menyinggung Tiara.
"Ini dalam rangka dakwah Neng, pasti tidak mudah, kita akan ajak dia mau menjalankan ajaran agamanya, yang terpenting shalat", jelas Abah Ilham.
"Ya.., semoga saja dia mau, kalau tidak mau, ya suruh pulang saja ke rumahnya, ia pasti masih bisa mengingat jalan pulang menuju rumahnya, dia tidak amnesia kan?",
"Iya nanti Abah tanyakan, kemarin belum sempat ngobrol panjang lebar, yang terpenting kondisinya pulih dulu",
"Apa Abah tidak pernah berfikir, bagaimana kalau dia itu seorang penjahat, yang kabur di kejar Polisi, dan sengaja terjun menuruni bukit untuk menghindari kejaran Polisi tersebut, takut kan Bah", Tiara bergidik.
"Astaghfirullah..., iya Abah, kok nggak kepikiran ke sana, kalau benar gimana?", Umi Anisa menatap Abah Ilham.
"Masya Allah..., kok sampai kejauhan gitu berpikirnya, kita kan cuma menolong, semoga saja ketakutanmu itu keliru, kita niatnya baik, semoga saja walau benar ia orang jahat, bisa berubah menjadi baik", senyum Bah Ilham.
"Nah begitu tu, Abah itu terlalu baik sama siapa pun, bahkan sama orang yang baru dikenal", Tiara menghela nafas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Happyy
😻😻😻😻💪🏼💪🏼💪🏼
2023-12-11
0