Pada akhirnya Hakim memutuskan jika aku tidak bersalah, itu adalah kemenangan mutlak dipihak ku.
Beberapa orang yang hadir dalam persidangan mulai menyebabkan keributan karena tidak puas dengan keputusan Hakim. Mereka adalah para orang tua dari anak-anak yang aku pukuli.
Tidak tahu apakah mereka dendam padaku karena telah mengirim anak mereka ke rumah sakit.
Atau hanya karena takut nama baik mereka tercoreng karena kemenangan ku akan membuktikan jika sekolah Royal begitu busuk dan anak-anak mereka adalah para pecandu.
Tapi sekeras apa pun mereka melakukan penolakan, keputusan Hakim tidak bisa dirubah.
"Karin!."
"Kakek..."
Kakek yang terus menemaniku di belakang segera menghampiriku dengan wajah yang begitu senang, aku dapat melihat pipinya yang penuh keriput agak basah.
Aku tahu jika dia pasti sangat khawatir padaku, tetapi saat aku ingin berjalan menemuinya tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing, penglihatan pun mulai kabur, keseimbangan mulai goyah hingga akhir aku terjatuh.
Samar-samar suara kakek terdengar berulang kali, ia terus memanggilku, pandanganku yang buram melihat beliau begitu khawatir saat mengangkat tubuhku.
Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi, kesadaranku sepenuhnya menghilang.
Aku telah mencapai batas ku.
***
Kembali kedalam kesunyian aku dapat merasakan perasaan nostalgia, perasaan yang selalu datang saat para Dewa hendak memberiku sebuah mandat.
Singkatnya itu seperti sebuah Wahyu.
Kilasan balik tentang ingatan saat pertama kali aku dipilih sebagai utusan oleh Dewa dengan jelas berputar di pikiranku seperti layar besar yang tidak dapat ku berpaling.
"Aku tidak mengerti kenapa mereka memaksaku melihat ini."
Ingatan itu sangat menjengkelkan untuk aku ingat kembali.
Di atap gedung sekolah terlihat seorang gadis menyedihkan, matanya seakan mati tanpa sinar sama sekali.
Tatapan mata itu menatap ke bawah melihat dasar dari gedung setinggi sepuluh lantai. Dalam sekali lihat semua orang pun tahu apa yang akan dia lakukan.
Satu tegukan liur seakan memantapkan apa yang ia pilih, berikutnya gadis itu mulai memanjat pagar pembatas.
"The God of Olympus has Abandoned Me..."
PLAK!
Aku memukul jidatku sendiri melihat apa yang ku lakukan saat itu. Aku tidak sanggup melihatnya lebih jauh, tapi aku tidak dapat menutupi wajahku sendiri.
Gadis itu mengambil satu langkah ke tepi, lalu....
"Now this is...."
Dua melangkah jatuh dari gedung.
Ugh, sangat memalukan. Aku harap tidak ada seorangpun yang tahu akan hal ini. Para dewa itu saja sudah cukup membuatku sakit kepala saat mengolok-olok dengan ingatan terburu ku ini.
Jika saja ini tersebar ke dunia nyata maka selamanya mungkin aku akan mengenakan topeng itu sekali lagi.
"Sangat memalukan."
Aku kembali melihat diriku sendiri di masa lalu yang telah melompat dari atap gedung. Menunggu ajal yang akan membuatku terbebas dari penderitaan hidup, namun itu tidak kunjung datang.
Sudah cukup lama tetapi tubuhku tidak kunjung menyentuh dasar, hingga akhir aku tersadar setelah memberanikan diri untuk membuka mata.
Keanehan terjadi dimana tubuhku melayang di udara. Aku melihat banyak orang di bawah sana, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang menyadari keberadaan ku.
Seakan kehadiranku ini begitu tipis bahkan seperti kasat mata.
Tubuhku perlahan terangkat ke atas menuju langit yang gelap tertutup kabut hitam. Petir terus menyambar membuatku semakin ketakutan, dalam benakku mungkin saja makhluk Alien ingin menculik ku.
Awan gelap terbuka memancarkan sinar menyilaukan yang menerpa wajahku.
Semua itu berlangsung sangat singkat hingga sesaat berikut aku tersadar dan mendapati diri tengah berada di tengah ruangan yang begitu megah.
Atau memang seharusnya demikian, tetapi yang terjadi saat ini berbeda.
Aku dipindahkan ke tempat serba putih dengan seorang pria berkacamata yang mengenakan pakaian jas kantoran.
Di depannya terdapat meja yang dipenuhi oleh berkas menggunung, jari pria itu dengan cepat mengetik keyboard komputer menghasilkan suara yang sangat mengganggu.
"Baiklah, berikutnya."
Pria berkacamata berbicara tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan dari layar komputer.
........
Dia berhenti setelah cukup lama tidak ada jawaban. Kemudian pria Itu menatapku begitu tajam.
"Apa kau tadi berbicara denganku?."Tanyaku.
Tatapan pria itu semakin tajam, aku dapat dengan mudah merasakan kemarahannya.
"Tidak, tadi aku hanya sedang bersin."balasnya dengan ketus.
Kemudian kami saling menatap tanpa mengatakan apapun. Itu membuat kemarahannya semakin kuat hingga aku merasa ruangan putih mulai terdistorsi.
"Tentu saja jenius, cepat kemarilah karena masih banyak pahlawan yang perlu aku data."
Tanganku mulai terkepal, kemarahan tidak dapat aku kendalikan. Perlahan aku mendekati pria itu dengan wajah tertunduk.
"Nama?." Pria berkacamata bertanya sekali lagi, tetapi aku tidak memperdulikan.
"Apa kau Dewa?."
"Hah? Kenapa kau bertanya, di sini hanya aku yang boleh melempar pertanya...."
"Sialan, apa kau tahu kehidupan seperti apa yang telah aku lalui akibat ulah mu!."
Dengan penuh emosi aku melayangkan pukulan tepat mewahnya. Melihat serangan datang, pria itu telah tidak peduli, dia bahkan tersenyum saat membetulkan posisi kacamatanya.
"Cih, manusia bodoh seperti ini lagi. Dasar merepot... Bgaaak!."
Pukulan keras tepat mengenai wajahnya hingga pria itu terjatuh dari kursi. Dia begitu tercengang seakan tidak pernah menyangka jika pukulan yang aku berikan akan bisa melukainya.
"Kau akan membayar semua kesulitan yang aku alami selama 189 tahun menjadi pesuruh dewa."
BRAAK!
Kepalanya ku hantam dengan komputer.
"Aaah... Ini sakit!."
Pria itu tidak diam saja saat aku berniat menghajarnya habis-habisan. Dengan kekuatan sihir dia melempar bola api besar kearah ku, tapi dengan mudah aku dapat menghindari serangan itu.
Bola api yang tidak mengenai target justru melrdsk dan membakar meja kerja pria itu.
"Tidak pekerjaanku....."
Dia menjerit begitu histeris seakan baru saja melihat akhir dunia.
"Manusia sialan, kau akan membayar semua ini!."
"Ah maaf tapi aku lupa bawa uang."
Krik krik krik....
Wajah pria itu menjadi begitu merah seakan seluruh darah di tubuhnya naik ke kepala.
"Apa ini yang dinamakan naik pitam?."
Sayap besar keluar dari punggungnya, lalu sebuah cahaya berkumpul di atas kepala membentuk cincin, sedangkan di tangan kanannya pria itu menggenggam kilatan petir yang membentuk tombak.
"Terima hukuman ilahi wahai manusia pendosa!."
Pria itu terbang cukup tinggi lalu melempar tombak petir kearah ku, dengan sigap aku melompat menghindar.
"Apa!."
Dia begitu terkejut ketika melihatku dapat menghindari serangan itu begitu mudah. Tidak berhenti sampai di sana, lompatan ku yang tinggi bahkan mencapai ketinggian terbang pria bersayap.
"Ahaha, tidak aku sangka akan tiba saatnya bagiku membalas kebaikan mu, Dewa!."
"Hieeeee!."
Satu pukulan mengenai perut pria itu hingga membuatnya jatuh kembali ke dasar. Aku melompat turun hendak menggunakan tubuh pria yang terkapar sebagai alas, namun dia masih sempat menghindar.
Pria burung berkacamata berusaha menyerang balik, namun gerakannya begitu mudah di pahami. Hingga pada akhirnya dia hanya menjadi samsak tinjuku
"Be... Berhenti kumohon berhenti!."
Dengan wajah penuh lebam dia memohon ampun padaku.
"Apa itu tadi? Mungkin hanya angin."
"Tidaaaaaak!"
Tinjuku kembali terangkat, melihat itu membuat pria burung semakin histeris.
"Kau salah, kau salah, aku bukan seorang Dewa!."
Pria itu menutup matanya begitu erat seakan mencoba bertahan dari pukulan yang tidak kunjung datang. Saat ia membuka mata, kepalan tanganku sudah berada di depan wajahnya.
"Kau bukan Dewa?."
"Bukaaaan..."
Dia pun mulai menangis begitu kencang.
Ah... bagaimana ini, sepertinya aku telah salah paham.
(End)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments