"Who the Bos?."
Tanyaku pada siswa terakhir yang masih sadar, sedangkan yang lain sudah kehilangan kesadaran setelah aku 'bermain' dengan mereka.
"Ka... Ka... Kau?."
Suara gadis itu bergetar karena sangat ketakutan, dia tidak yakin dengan jawaban yang dia miliki tapi tidak ada lagi yang bisa ia pikirkan, semua teman-temannya sudah mengatakan banyak hal tetapi mereka berakhir naas.
Gadis itu hanya bisa menutup matanya menunggu junior nya menghajarnya seperti yang dialami temanya.
‘Kenapa semuanya menjadi seperti ini, bukankah seharusnya ini adalah giliran kami memperbudak murid baru?.’
Gadis itu teringat kembali pada masa dimana dirinya masih menjadi seorang siswa baru yang mengalami nasib buruk diperlakukan seperti seorang budak.
Perbudakan yang dilakukan oleh senior sudah menjadi tradisi di sekolah mereka, seharusnya semua orang mengerti tentang ini.
‘Aku sadar jika cara kami terlalu berlebihan, tapi pemimpin mengatakan jika semuanya diijinkan. Dia bahkan mengatakan jika semakin buruk gadis ini diperlukan maka semakin bagus.’
Dia teringat dengan seseorang yang meminta kelompoknya untuk menargetkan gadis itu.
‘Tetapi semuanya justru berakhir seperti ini.’
Kembali melihat semua temannya membuat ketakutan gadis itu semakin menjadi-jadi. Dia hampir menangis tetapi mencoba bertahan karena tidak ingin apa yang terjadi pada salah satu temannya juga terjadi padanya.
"Jawaban bagus."
"Eh?."
Mata gadis itu terbuka lebar seakan tidak percaya jika tebakannya benar. Meninggalkannya sendiri, aku mengambil seragam sekolah yang kotor.
"Sialan, bagaimana aku bisa mengenakan ini."
Dengan marah aku melempar seragam itu ke tumpukan siswa. Tatapanku kemudian terarah pada para siswi yang tidak sadarkan diri.
"Cih."
Aku tidak puas melihat semua seragam merah kotor oleh noda darah. Hingga hanya tersisa satu siswi yang tidak jadi aku aja bermain.
"Hiek...."
Dia menjerit ketakutan saat aku kembali menargetkan dirinya.
"Kau tahu ini akan terjadi bukan?."
Ucapku dengan senyuman terbaik yang bisa aku buat, tetapi itu justru membuat gadis itu kehilangan kesadaran.
***
Berjalan di koridor sekolah membuatku menjadi objek tatapan semua orang, bukan hanya murid tetapi guru pun demikian.
Di kehidupanku sebelumnya mereka pun terus menatapku seperti saat ini. Tetapi cara menatap mereka padaku kali ini sangat berbeda.
Sebelumnya mereka akan tertawa melihatku babak belur, tidak ada simpati sedikitpun yang mereka tunjukkan atas kesialan ku.
Tapi kini mereka diam, hanya bisa berbisik dengan hati-hati. Mereka semua begitu mewaspadai ku. Semua itu karena seragam yang aku kenakan.
"Bukankah itu siswi tahun pertama yang seharusnya 'Disekolahin’ hari ini?."
"Ya, ketua OSIS bahkan menyuruhku untuk mengejeknya dengan kasar begitu mereka selesai memberi gadis itu ‘Pelajaran’."
Langkahku terhenti untuk menatap dua siswa yang membicarakan tentangku, mereka terlihat ketakutan lalu segera bergegas untuk berjalan pergi.
Itu membuatku teringat betapa buruknya mereka merawat ku saat aku berjalan di lorong seperti ini. Ada yang mengatai aku sebagai gadis murahan, ayam kampung dan sebagainya. Sedangkan yang lain melempariku dengan sampah.
"OSIS kah,"
Senyum merekah saat aku menatap kepalan tanganku yang dipenuhi luka akibat terus memukuli senior sebelumnya.
Setelah ‘Bermain’ dengan para senior kelas dua, aku sadar jika tubuhku sangat lemah, itu wajar karena sebelumnya aku hidup begitu menderita.
"Dipikir-pikir lagi aku pernah berimajinasi jika seandainya suatu saat aku kembali ke masa lalu. Saat itu aku membuat list nama orang-orang yang ingin aku hajar."
Kakiku kembali berjytetspi tidak menuju kelas yang sebelumnya menjadi tujuanku. Kali ini aku menuju ruang OSIS.
".... Aku membuat daftar panjang saat itu, dan beberapa diantara nama yang aku tulis seharusnya saat ini masih ada di sekolah ini."
Tidak peduli tubuh ini akan bertahan atau tidak, yang penting dendam dari kehidupanku sebelumnya akan ku balas hari ini.
Pintu ruang OSIS yang terkunci dari dalam aku tendang hingga pintunya jebol. Aku tersenyum cerah saat melihat para senior sangat terkejut melihatku.
Keceriaan ku semakin bertambah ketika melihat mereka saat ini tengah melakukan pesta obat-obatan terlarang
"Wah terlihat menyenangkan, bolehkah aku bergabung?."
Semua senior saling bertatapan seakan Irak mereka sulit mencerna apa yang sedang terjadi. Itu sangat wajar karena hampir semua dari mereka tengah dalam pengaruh obat.
"Kupikir ini akan lebih sulit, tetapi sepertinya aku yang terlalu khawatir."
Dengan paksaan aku bergabung dalam pesta para OSIS.
Beberapa jam berikutnya sekolah menjadi begitu heboh, suara sirine terdengar bersahutan ketika mobil ambulans dan polisi datang beriringan.
Para petugas medis segera membawa lebih dari dua puluh murid yang terluka, sedangkan para polisi membawaku untuk ditahan.
Puluhan reporter berkumpul untuk meliput. Sebelum dibawa masuk ke dalam mobil polisi, aku tersenyum kecil pada puluhan kamera yang terus menyoroti ku.
"Kuharap usia Kakek tidak menjadi lebih singkat karena hal ini."
***
Royal High School adalah sekolah ternama yang hanya memiliki dua jalur masuk bagi calon murid untuk bisa bersekolah di sana.
Yang pertama seorang murid hanya bisa menjadi siswa dari sekolah itu dengan undangan beasiswa.
Sedangkan jalur kedua adalah jika orang tua mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan, dengan kata lain menggunakan kekuatan uang.
Sejak berdiri dua puluh tahun lalu sekolah tersohor itu tidak pernah mendapatkan masalah. Bukan karena sekolah itu beroperasi dengan baik, tetapi justru sebaliknya.
Bagikan sebagian murid, kehidupan di sekolah itu bagaikan neraka, terutama mereka yang masuk lewat jalur beasiswa.
Walaupun begitu apapun yang terjadi di dalam sekolah tidak pernah tercium bau busuknya diluar karena Sekolah Royal dijaga oleh orang-orang yang memiliki 'kekuatan'.
Tetapi tidak kali ini, seorang gadis pengacau yang telah membuat puluhan siswa elit sekarat tidak akan mudah ditangani.
Biasanya pengacau seperti dia bisa dengan mudah disingkirkan oleh pihak sekolah, namun kali ini berbeda.
Gadis itu terlalu berbahaya.
"Di dalam penjara, aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku walau satu detik. Mereka menempatkan aku di sel yang berisi tujuh lelaki dewasa. Empat polisi datang karena kegaduhan, tetapi mereka tidak membuat keadaan menjadi lebih baik, mereka justru lebih buruk dari para penjahat yang berusaha menyentuhku."
Di dalam persidangan tertutup, aku bersaksi pada hakim atas apa yang telah aku alami selama dua hari di dalam penjara.
Semua orang yang mendengar ceritaku merasa tidak percaya, ‘Bagaimana mungkin seorang gadis yang baru menginjak kelas satu SMA bisa melawan sebelas pria dewasa.’ mungkin itu yang mereka pikirkan.
"Hentikan semua omong kosong ini!." Jaksa penuntut menolak mempercayai kesaksian ku. "Bagaimana mungkin seorang gadis biasa saja seperti dia mampu melakukan itu. Jika dia seorang pahlawan yang kembali dari dunia lain itu mungkin saja bisa terjadi. Tetapi ini bukanlah cerita novel!."
Tanpa dia sadari, jaksa penuntut umum telah mengungkap keadaan kusaat ini. Itu benar aku adalah seorang pahlawan yang baru saja kembali dari dunia lain.
Tetapi mana mungkin ada orang yang akan percaya akan hal itu.
Hakim hanya terdiam, dia menatap laporan medis milik tujuh tahanan dan empat polisi. Semua luka yang dialami oleh sebelas lelaki dewasa tersebut sangat parah, bahkan salah satu diantaranya hampir kehilangan nyawa.
Kakek telah melakukan banyak hal untuk mengamankan semua bukti itu, pekerjaan yang sangat menyulitkan karena lawannya mungkin adalah seluruh orang penting di negara ini.
Namun walaupun semua bukti itu telah terkumpul semua keputusan tetap saja ada pada hakim. Aku hanya bisa berharap jika orang tua berkumis tebal (hakim) itu adalah orang yang lurus.
Lagipula seandainya aku ditetapkan sebagai tersangka, tidak akan ada penjara yang bisa menahanku.
‘Aku tidak suka penjara. Saat masih menjadi utusan Dewa, aku memiliki banyak kenangan buruk dengan tempat seperti itu.’
Hakim mengalihkan perhatian padaku sesaat lalu kembali menatap berkas di depannya. Hingga akhir dia pun mengatakan keputusannya.
(End)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments