"Tapi, aku tidak bisa melakukannya sekarang, nii-chan," ucapku padanya.
"Kenapa? Kenapa tidak bisa?" Dia balas bertanya saat aku menoleh ke arahnya.
"Karena aku ada janji dengan Haru nii-chan hari ini," jawabku, dia masih terdiam menanggapi perkataanku itu.
"Janji? Janji apa?" tanyanya kembali seraya menatap tajam kepadaku.
"Itu ... Itu-" jawabku, sambil membuang pandangan menghindari tatapan matanya.
"Sachi!"
Aku sedikit terhentak, saat teriakan seseorang memanggil namaku. "Haru nii-chan," balasku berteriak dengan berbalik menatapnya.
"Apa yang kau lakukan? Cepatlah ke sini!" tukas Haruki sambil melambaikan tangan kanannya itu ke arahku.
Aku beranjak, melompat turun dari atas bangku, "aku permisi dulu, Izu nii-chan. Sampai ketemu lagi nanti," ucapku dengan membungkukkan tubuh ke arah Izumi.
Aku berbalik lalu berlari mendekati Haruki yang telah menunggu. Haruki berjalan, dengan mengajakku ke perpustakaan Kerajaan. Kami berdua masuk ke dalam perpustakaan, dengan langkah kaki kami berdua yang terus-menerus bergerak menyusuri isi perpustakaan.
Langkah kaki kami berhenti, di depan lukisan sebesar tubuh manusia dewasa dengan sebuah mahkota kerajaan yang terlukis di lukisan itu. Lukisan tersebut, tertempel di sudut terdalam dinding perpustakaan, aku masih terdiam dengan melirik ke arah Haruki yang bergerak mendorong lukisan tersebut ke samping.
"Pintu geser, kah?" bisikku pelan setelah mataku itu terjatuh melihat rel bawah yang terdapat di bawah pintu berselimut lukisan itu.
Tampak sebuah brankas besi berukuran sama seperti lukisan tadi berdiri kokoh di hadapan kami, Haruki berjalan mendekati brankas setelah sebelumnya telah selesai mendorong lukisan yang menyembunyikan brankas tersebut. Sebelah tangan Haruki merogoh ke dalam pakaian miliknya hingga sebuah liontin berbentuk kunci tertarik keluar.
Haruki memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci yang ada di brankas, hingga pintu brankas pun terbuka setelah dia sedikit mendorongnya ke depan-
"Ini rahasia kita," ucap Haruki menoleh ke arahku seraya meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya, seakan berkata jangan beritahu siapa pun padaku.
Aku masuk melewati brankas tersebut, mengikuti ajakan Haruki yang memintaku untuk mengikutinya. Aku tertegun sejenak, menatapi ruangan bercat cokelat dengan banyak sekali ornamen-ornamen ukiran kayu yang memenuhinya, tak luput lilin-lilin besar berwarna putih yang sudah mulai meleleh berdiri tegak di sudut-sudut ruangan.
Aku mengalihkan pandangan ke arah rak-rak kayu berisi buku-buku yang turut memenuhi ruangan, sambil kulangkahkan kakiku berjalan menyusuri rak-rak buku tersebut. Aku menghentikan langkah dengan mengambil lalu membaca sebentar satu per satu buku. Aku terdiam sejenak setelah melakukannya, semuanya sama ... Semua buku, menggunakan Bahasa Inggris.
"Ini harta karun Kerajaan."
Aku sedikit terhenyak, saat suara Haruki tiba-tiba terdengar. Kepalaku menoleh ke arahnya yang tengah mengambil satu buku dari rak lalu duduk membawa buku tersebut ke kursi meja yang terletak di tengah ruangan.
"Tsubaru pasti sudah menjelaskanmu sebelumnya, jika banyak harta-harta karun yang belum ditemukan, ditulis dalam bahasa kuno. Contohnya ini," ucapnya mengarahkan buku yang dipegangnya tadi ke arahku.
Aku berjalan mendekatinya, kutarik kursi yang ada di sampingnya lalu menduduki kursi tersebut. Kedua tanganku bergerak mengambil buku bersampul merah yang dipegangnya. Kubuka lalu kubaca sekilas buku tersebut, tepat seperti yang aku duga jika buku ini pun menggunakan berbahasa Inggris.
"Dragon? Maksudku Naga?" tanyaku, dengan menoleh ke arahnya.
"Benar, Naga. Apa kau percaya Naga itu ada?"
Di kehidupanku sebelumnya, memang banyak novel, komik, maupun film yang menceritakan Naga. Tapi, tak ada satu pun orang yang pernah melihatnya langsung.
"Entahlah," jawabku singkat sambil meletakkan buku itu kembali ke atas meja.
"Kau tahu? Kabarnya Kaisar memelihara seekor Naga. Konon katanya, dia bisa menghancurkan satu kerajaan kecil dalam semalam," ucap Haruki dengan tatapan serius yang keluar dari wajahnya.
"Kau tenang saja, Kaisar tidak akan menyentuh Kerajaan kita tanpa alasan. Ya, walaupun ekonomi kita kurang stabil, tapi kekuatan militer kita sangatlah kuat."
"Karena itu, saat kau mengatakan kopi bisa memperbaiki ekonomi kita membuatku tertarik."
"Sachi ... Siapa kau sebenarnya?" sambungnya padaku dengan senyum dingin.
"Apa maksudmu, nii-chan?" jawabku, berusaha tenang membalas tatapannya.
"Anak berumur tiga tahun, punya pengetahuan sebanyak itu. Bukankah aneh?"
"Tenang saja, ini akan jadi rahasia kita berdua. Jadi Sachi, jujurlah dengan kakakmu ini. Hal itu akan memudahkanku menolongmu di masa depan," sambungnya sembari memangku dagunya menggunakan telapak tangan menatapku.
Aku menghela napas saat matanya itu tak berkedip menatapku, "apa kau percaya adanya reinkarnasi, nii-chan?"
"Maksudmu terlahir kembali?" tanyanya kembali yang kusambut dengan anggukan kepala.
"Semuanya ... Maksudku, semua pengetahuan yang aku miliki berasal dari kehidupan lamaku."
"Namaku Sakura, aku berusia sembilan belas tahun, sebelum aku dilahirkan kembali menjadi Sachi. Aku dibesarkan di Panti asuhan, tanpa kasih sayang orangtua. Aku juga harus mengatur waktuku bekerja dan sekolah untuk bisa hidup."
"Aku bisa mengingat semuanya dalam satu kali lihat atau baca, setiap waktu luang aku gunakan untuk membaca manga, menonton anime kesukaanku, hingga membaca artikel-artikel yang tersebar luas di internet, dan tentu saja tak lupa dengan YouTube."
"Mungkin nii-chan tak mengerti apa yang aku bicarakan," sambungku, menghentikan perkataan.
"Aku mengerti, aku mengerti sedikit garis besarnya."
"Sachi, if i said i loved you, would you believe me?"
"Haru nii-chan," ucapku terkejut seraya melihat ke arahnya.
"Kehidupanmu sebagai Sakura sudah selesai, sekarang kau adalah Sachi, Takaoka Sachi, adik perempuanku yang jenius," ucapnya dengan tersenyum manis padaku.
"Nii-chan, kau tadi berkata, bukan? Kalau keadaan ekonomi kita sangat tidak stabil," tanyaku yang balik menatapnya.
Haruki menurunkan tangan yang memangku dagunya sebelumnya, sambil menyandarkan dirinya di kursi ,"perdagangan kita sekarang di dominasi oleh Kekaisaran, dan Kerajaan Balvia. Mereka menjual barang-barang pokok seperti gula, gandum ke Kerajaan lainnya dengan harga yang sangat mahal. Karena itulah, banyak Kerajaan kecil yang jatuh di tangan mereka."
"Bagaimana dengan Kerajaan kita? Apa Kerajaan kita memiliki kekuasaan juga terhadap Kerajaan kecil itu," lagi-lagi aku bertanya kepadanya.
"Kau jangan meremehkan Ayah kita. Kau tahu, jika banyak kerajaan-kerajaan kecil yang mengagumi Ayah, dan banyak di antara mereka memilih berlindung di bawah kekuasaan Kerajaan kita."
"Jika kita bisa mendominasi ekonomi, Kerajaan kita akan sangat kuat bahkan melebihi Kekaisaran," ucapnya seraya menyilangkan kedua tangannya ke dada.
"Bagaimana dengan gula? Kakak berkata gula harganya sangat mahal, bukan?"
"Itu mustahil, kita tidak punya tanaman tebu untuk memproduksi gula," ucapnya lagi, sambil melirik ke arahku.
"Tapi gula, tidak hanya berasal dari tebu. Gula bisa berasal dari pohon Kelapa dan juga Aren," ungkapku kembali menatapnya.
"Bahkan gula yang terbuat dari kedua pohon itu lebih menyehatkan, dan kita bisa menjualnya dengan harga yang jauh di bawah mereka. Dengan begitu, mau tidak mau harga gula mereka akan jatuh, dan juga nii-chan."
"Kenapa tidak mencoba membangun sebuah Bank?" sambungku, kali ini nada suaraku berubah kepadanya.
"Bank?" tanyanya bingung, dia kembali memangku dagunya menatapku.
"Benar, bank. Tempat menabung dan meminjam uang, dengan aturan para bangsawan dan para pedagang menabung uang di bank yang kita bangun. Lalu, rakyat kerajaan kita yang tidak punya modal usaha bisa meminjam uang dari Bank untuk modal usahanya. Dengan begitu, roda ekonomi kerajaan kita akan berputar."
"Itu ide yang bagus. Lalu, bagaimana dengan gula yang kau sebutkan tadi?"
"Maksudku, kita punya banyak pohon kelapa yang tumbuh di arah selatan. Bagaimana kau akan mengolahnya?" tanyanya kembali menatapku.
"Bukan aku, tapi kita-"
"Aku tidak bisa melakukannya sendirian."
"Kau tahu, nii-chan. Aku juga ingin mendukung Ayah sama sepertimu," sambungku tertunduk.
"Aku tahu, kita semua ingin mendukungnya," ucapnya seraya menepuk pelan kepalaku.
"Kita akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan, Ayah."
"Kita?" tanyaku tertegun menatapnya.
"Tentu saja, kau dan aku"
"Dan ambil ini!" sambungnya sambil memberikan kalung berliontin kunci yang tadi digunakannya.
"Kenapa kau memberikan kalung berhargamu padaku, nii-chan?" tanyaku, ketika kalung tersebut telah berada di telapak tanganku.
"Itu punyamu, hadiah ulang tahunmu yang ketiga dariku. Ketika ulang tahunmu yang kemarin, kau tidak meminta apa pun dariku dan itu membuatku sedih, kau tahu."
"Tapi, itu ... Bagaimana aku mengatakannya?" gumamku dengan sedikit kebingungan.
"Aku punya kunci cadangannya, bukankah sudah kukatakan ini rahasia kita berdua?" ucapnya sambil tersenyum manis menatapku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 631 Episodes
Comments
Echa04
nie novel pake kafein yaaa.....
2022-05-08
0
ciplut
asli, nagihin bget thor novelnya, suka
2021-11-10
0
Rahmawati
I love you to author,,,ini aku baca ulang lagi thor sambil nunggu up memento mori II thor
2021-10-01
0