Aku berjalan ke arah Tsubaru yang masih berlutut lalu berhenti di hadapannya. Kuraih dan kugenggam kedua telapak tangannya, kutarik telapak tangannya yang aku genggam tadi ke dahiku seraya berkata.
"Terima kasih sudah mempercayaiku," ucapku tersenyum padanya.
Kutarik tangannya ke depan, Tsubaru turut beranjak dan berdiri di hadapanku saat dia melakukannya. Kutuntun ia mendekati kakakku dan para pelayannya, tampak ekspresi terkejut menyelimuti mereka semua yang ada di sana melihat apa yang aku lakukan.
"Apa kita bisa langsung memulainya, nii-chan?" tanyaku sembari melihat ke arah Haruki dan Izumi bergantian.
"Tentu," jawab Haruki singkat membalas tatapanku.
"Kalian semua, turuti dan lakukan apa pun yang diperintahkan Putri Sachi!" perintah Haruki pada para Kesatria yang sebelumnya meneriaki kami.
"Laksanakan, Yang Mulia!" jawab mereka serempak dalam satu waktu.
"Apa yang harus kami lakukan, Put-" ucap seorang laki-laki yang menjadi wakil kapten tertahan.
"Put ... ri Sachi," ucapnya melanjutkan perkataannya.
Aku menghela napas sambil menatapnya, "Kakak-kakak tidak perlu memaksakan diri, dan maaf atas kelancanganku tadi," ucapku seraya membungkukkan badan ke arah mereka.
"Kakak?"
"Kakak?" bisik mereka satu sama lain.
"Tidak bisakah aku memanggil kalian kakak?" ucapku dengan menunjukkan ekspresi memohon andalanku.
"Hanya berikan saja izin padanya, aku sudah tidak bisa menahan keimutan ini lagi, wakil kapten," sahut salah satu Kesatria yang berdiri di belakangnya.
"Baiklah, kau boleh melakukannya," tukas wakil kapten sambil menggaruk belakang lehernya menatapku.
"Terima kasih, kak Kazuya," ucapku tersenyum padanya.
"Eh, kau mengetahui nama wakil kapten kami, Putri?" tukas salah satu Kesatria yang berjalan lalu menghentikan langkah kakinya di samping wakil kapten.
"Tentu saja, aku mengetahui semua nama mereka yang aku anggap hebat."
"Namaku? Apa kau tahu namaku, Putri?" ucapnya kembali sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kak Shouta, aku benar, bukan?"
Untung saja, aku mendengar namanya dipanggil saat di kereta.
"Kau tahu namaku, Putri," jawabnya dengan menundukkan kepalanya.
"Namaku? Apa kau tahu namaku, Putri?"
"Kalau namaku?" Aku sedikit gelagapan, saat mereka bergantian melemparkan pertanyaan padaku.
"Apa kalian sudah selesai?" Ucapan Izumi yang terdengar, dengan sekejap mengheningkan kami.
"Kakak, kah?" lanjut Haruki, yang kali ini menimpali perkataan Izumi.
Terserah, terserahlah, aku tak peduli. Aku harus mencari dukungan sebanyak mungkin untuk bertahan hidup. Tapi ini-
Aura membunuh ini, benar-benar menyesakkan dadaku.
"Bisakah, kita mulai sekarang?" Aku mengembuskan napas sembari mengelap keringat dingin di telapak tangan ke gaun yang aku pakai.
"Tentu saja, apa yang harus kami lakukan, Putri?" sahut Kazuya, dia terlihat lebih bersemangat dibanding sebelumnya.
"Aku ingin kalian mengumpulkan buah dari pohon itu yang sudah berwarna merah. Jika sudah selesai, bantu aku membawanya kembali ke istana," ucapku yang langsung disanggupi oleh mereka.
______________
Beberapa keranjang buah telah penuh diisi biji kopi yang telah matang, diangkutnya keranjang-keranjang itu ke atas semacam gerobak yang entahlah, dari mana mereka dapatkan.
Aku masuk kembali ke dalam kereta dengan Haruki yang mengikuti lalu duduk ia di sampingku. Bukankah sudah aku sebutkan sebelumnya? Haruki tipe manusia yang seperti tidak punya semangat hidup, cuaca panas adalah musuh utama baginya.
_______________
"Sachi, kita sudah sampai. Bangunlah," terdengar suara diikuti sentuhan di pipi kananku.
Mataku terbuka, lalu menutup kembali saat rasa kantuk masih mendera, aku masih mengantuk, sebentar lagi," ucapku yang terdengar hampir seperti bergumam.
Tunggu dulu, aku kenal betul suara tadi.
Aku mencoba membuka kembali kedua mataku. Aku tertegun, saat mataku ini menjatuhkan pandangan ke arahnya saat kembali beranjak duduk. Kuteguk air ludahku dengan masih Haruki yang duduk di sampingku dengan sebuah buku yang dipegangnya.
Jangan bilang aku tertidur di sampingnya? Jangan bilang?
"Ilerku," ucapku cemas dengan sangat pelan setelah melihat bercak air yang sudah kukenal menempel di pakaian Haruki.
"Kau sudah bangun?" tanyanya sambil menutup buku yang sedang di bacanya itu.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat, "su-sudah," jawabku gelagapan diikuti keringat dingin yang mengalir keluar.
"Kau tidur nyenyak sekali," balasnya tersenyum menatapku.
"Maaf, maaf sudah mengotori pakaianmu!" Aku beranjak lalu dengan cepat berlutut di hadapannya.
"Mengotori pakaian?"
"Aahh, ini?" Telapak tanganku semakin basah saat dia menunjuk bekas ilerku yang menempel di lengan bajunya.
"Aku akan bertanggung jawab, kau bisa meludahi gaunku, nii-chan," ucapku gemetar dengan menggenggam kuat rok gaunku.
Aku kembali mengangkat pandangan saat terdengar helaan napas yang ia keluarkan. "Semuanya sudah menunggu di luar," ucapnya seraya membuka pintu kereta lalu beranjak turun.
"Kau tidak ingin turun?" Aku semakin membeku ketika dia merentangkan kedua tangannya ke depan.
"Kau tidak ingin?"
"A-aku turun," balasku berjalan mendekatinya saat dia bertanya untuk yang kesekian kalinya.
Digendongnya aku oleh Haruki, dia berjalan membawaku menuju ke arah Izumi, Tsubaru dan yang lainnya. Pertama kali, ini pertama kalinya untukku melihat sisi dewasa ini darinya.
"Nii-chan," ucapku seraya menyentuh pipinya.
Dia berdeham dengan melirik ke arahku, "apa?" tanyanya dengan suara yang lembut terdengar.
"Usiamu sepuluh tahun, bukan? Berarti kau sudah bertunangan dengan seseorang?"
"Seperti itulah," jawabnya singkat sambil tetap melemparkan pandangan ke depan.
"Setahun lagi aku juga akan ditunangkan, apa itu berarti aku tidak akan bertemu dengan kalian lagi?"
"Kau masih bertunangan belum menikah, itu berarti kau masih dalam pengawasan ayah nantinya," jawabnya, dengan tanpa menoleh ke arahku.
"Seperti apa tunanganmu, nii-chan?"
"Entahlah, aku tidak pernah menemuinya lagi setelah pertunangan kami. Aku tidak tertarik dengan mereka yang tidak bisa menggunakan otaknya."
Itu berarti kau akan membiarkan seseorang terbunuh akibat ketidaktertarikanmu itu. Aaahhh, sudah kuduga mereka semua sama.
Aku berjalan mendekati para Kesatria saat Haruki menurunkan aku dari gendongannya, "kita harus merendam biji-biji ini terlebih dahulu untuk mempermudah proses pengelupasan."
"Bisakah kalian mendapatkan beberapa ember berisi air untuk aku merendam biji-biji ini?" sambungku yang langsung disanggupi oleh para Kesatria.
Tak butuh waktu lama untuk mereka mendapatkan semua bahan yang aku pinta. Aku berdiri di samping Haruki, sambil menunggu semua biji-biji kopi yang telah direndam beberapa saat.
"Lalu apa langkah selanjutnya?"
Aku menoleh ke arahnya, sebelum melangkahkan kaki mendekati ember kayu berisi biji kopi yang telah direndam, "kita kupas dan pisahkan kulit dari isinya seperti ini-" ucapku sedikit tertahan saat menekan satu biji kopi yang telah terendam hingga terpisah antara kulit dan isinya.
"Jika sudah, kita cuci biji itu sembari diremas agar lendir pada buahnya hilang," ucapku lagi dengan mempraktekkannya langsung di hadapan mereka.
Aku kembali berdiri, saat mereka telah berkumpul dengan mencoba apa yang sebelumnya aku lakukan. Andai, di dunia ini tidak ada peraturan laknat itu, mungkin aku akan lebih bahagia.
"Tsubaru, bisakah kau mendapatkan kain putih tipis yang banyak dan lebar?" Tanyaku pada Tsubaru yang juga tengah melakukan hal yang sama seperti yang lain.
"Aku akan mengambilnya, Putri," jawabnya, dia beranjak lalu berjalan menjauhi kami.
"Lalu apa lagi yang harus dilakukan?" suara Izumi yang mengetuk telinga, membuatku menoleh ke arahnya.
"Kita tiriskan terlebih dulu, buang biji-biji yang mengapung. Dan ambil hanya biji-biji yang tenggelam ke dalam air, karena biji yang mengapung berarti kualitasnya tidak bagus," ucapku yang sembari membuang semua biji yang mengapung lalu meniriskan biji yang bagus ke dalam sebuah saringan bambu agar airnya menetes.
"Aku sudah mendapatkannya, Putri." Pandangan mataku, teralihkan pada Tsubaru yang membawa beberapa tumpuk kain berwarna putih.
"Bisakah kau membentang semua kain itu ke tanah, Tsubaru?"
"Tentu," jawabnya yang langsung mengikuti perkataanku.
Aku memerintahkan beberapa Kesatria untuk mengangkat saringan berisi biji kopi yang telah menetes airnya, lalu meminta mereka meratakan biji-biji kopi itu di atas kain yang sudah dibentang sebelumnya oleh Tsubaru. Tak lupa, aku meminta mereka untuk meletakkan bebatuan di empat sudut kain agar tak diterbangkan angin.
"Semua biji sudah diletakkan di atas kain, lalu apalagi yang harus kami lakukan, Putri?" tanya Kazuya yang telah berdiri di hadapanku.
"Tidak ada, untuk sekarang. Kita hanya harus menjemur dan menjaganya kurang lebih empat sampai lima hari," jawabku sembari melirik ke arah biji-biji kopi yang berhamburan di atas kain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 631 Episodes
Comments
Nath
haha, tidurnya nggak anggun ya, putri
2022-06-22
1
Echa04
hmmm aq yakin Haruki tertarik sama Sachi karna dia jenius kn
2022-05-08
0
Mariana Ana
wah sepertinya kalau q yang d lahirkan lagi berakhir dgn pancungan cz q nggak tahu cara buat minyak kemiri dan bikin kopi bisanya cuma baca novel doang....
2022-04-22
0