Menentang Norma

Ciuman itu membuai keduanya hingga lupa diri. Yura tertagih mengimbangi serangan Erlang. Otaknya tidak bisa berpikir lagi, semua buram hanya ada bayangan pria itu yang saat ini membelai dirinya.

Erlang masih memagut bibir Yura lebih intens dan memainkan lidahnya hingga membuat tubuh Yura menggelinjang tak berdaya. Kakinya seakan sulit untuk menopang berat tubuhnya. Lunglai, tak bertenaga, ingin menyerah, mendorong pria itu, tapi hati Yura sudah tertawan.

Tangan Erlang berpetualang di setiap jengkal tubuh Yura. Berhenti pada gundukan yang membusung begitu indah, kencang dan terbentuk dengan sempurna.

"Aaach," tanpa sadar desa*han terdengar dari bibir Yura, yang semakin membangkitkan gairah Erlang. Tangannya meremas dengan lembut, membuat tubuh Yura merinding seolah hancur lebur di tangan Erlang.

Tok... Tok... Tok...

Ketika di pintu kamar Yura, membuat keduanya berhenti. Degub jantung keduanya masih terdengar cepat memacu begitupun deru napas yang saling berkejaran.

"Nyonya, apa Anda di dalam? Saya masuk ya?" Itu suara Titin. Gadis itu pasti ingin melihat keadaannya yang tidak kunjung datang ke bawah. Tadi sebelum naik, Yura bilang mereka akan pergi berkeliling mencari cemilan buah segar.

"Nyonya," panggil Titin lagi.

Kedua anak manusia yang telah melanggar norma itu terdiam saling menatap. Kalau wajah Yura sangat ketakutan karena Titin bisa saja menceritakan mengenai apa yang bisa dia lihat di kamar ini, jika nanti masuk, berbeda dengan Erlang, pria itu sama sekali tidak peduli. Menatap bibir Yura yang membengkak karena ulahnya lalu tersenyum penuh kemenangan.

Sedikitpun dia tidak melonggarkan dekapan tubuhnya yang menempel pada tubuh Yura. Dia terus menekan tubuh yang kini sudah meracuni pikirannya. Dia terhipnotis, dia ingin lagi, bahkan lebih jauh lagi menginginkan Yura.

Erlang tidak pernah menduga bahwa rasa Yura begitu nikmat. Bibir itu mampu membuatnya melambung melupakan segala kekesalan dan semua beban dalam pikirannya. Aroma Yura menenangkan, membuatnya ingin dan betah berlama-lama di dekat gadis itu.

Benar tebakan Erlang bahwa rasa Yura sama dengan apa yang bisa dia ingat, yang pernah dia dapatkan dari gadis misterius itu.

Erlang menatap mata Yura dengan tajam, mencoba menelisik apakah mereka adalah orang yang sama.

Kalau dugaannya benar, maka mereka berdua terjebak dalam perasaan dan situasi yang rumit. Bagaimana mungkin orang yang pernah tidur dengannya kini menjadi istri ayahnya?

Namun itu masih dugaan Erlang. Dia tidak mau terburu-buru menyimpulkannya karena di dunia ini banyak orang yang memiliki aroma, wangi dan juga bentuk tubuh yang sama.

"Minggir kau! Apa kau tidak dengar, Titin ada di depan pintu!" hardik Yura yang mencoba mendorong tubuh Erlang yang masih memepet pada tubuhnya.

"Kalau aku tidak mau, bagaimana? Jangan bilang kau tidak menginginkannya! Sejauh yang kita arungi tadi, kau bahkan menyerahkan tubuhmu padaku, menumpukan berat badanmu di dadaku dan menikmati setiap belaian bibirku dan juga jejak panas yang ditimbulkan tanganku. Kenapa kau menyangkal bahwa kau menikmatinya, Ibu?" ucap Erlang dengan tersenyum sinis. Menekankan kata Ibu yang semakin membuat Yura merasa bersalah pada Om Roy.

"Nyonya, apa Nyonya ketiduran? Saya masuk ya?" suara Titin kembali menyentak, menyadarkan Yura. Sekali lagi Yura berusaha untuk mendorong tubuh Erlang dan kali ini berhasil.

"Aku mohon sembunyilah, menyelinap di balik pintu balkon, jangan sampai Titin melihatmu. Setidaknya pikirkan perasaan ayahmu," pinta Yura dengan nada memohon dan tatapan memelas, lalu tidak menoleh ke belakang lagi Yura berjalan hendak membuka pintu.

"Akhirnya Anda keluar juga, saya pikir Anda pingsan. Hampir saja memanggil beberapa pelayan lagi untuk mendobrak pintu ini," ucap Titin yang mengeloyor masuk ke dalam kamar.

Pelayan itu sudah biasa bersikap selayaknya teman dekat bagi Yura, tidak ada rasa sungkan untuk masuk ke dalam kamar majikannya itu dan Yura juga tidak mempersoalkan atas sikap Titin itu.

"Aku tadi di kamar mandi baru saja keluar. Ada apa?" tanya Yura berusaha menutupi kegugupannya. Sumpah demi apapun, kakinya gemetar dan pandangannya sejak tadi tertuju ke arah pintu balkon, jangan sampai pria gila itu tiba-tiba saja muncul dan mengacaukan segalanya.

"Bukankah Nyonya tadi bilang mau cari makan segera?"

"Oh, iya, kau benar. Tunggu aku bersiap-siap dulu," ucapnya tersenyum gugup.

"Kalau begitu, aku akan menunggu Anda di bawah," jawab Titin memutar tubuhnya, bersiap keluar dari kamar itu.

"Tunggu, Tin. Sebaiknya, kau tetap di sini saja," ucap Yura dengan suara keras. Dia ingin Titin menjadi penghalang pria itu untuk muncul dan kembali mencumbu dirinya.

Mungkin Yura terlalu percaya diri, tapi segala kemungkinan bisa terjadi, kan?

Setelah pintu kamar tertutup, dan kedua wanita itu pergi, baru lah Erlang menyusup masuk kembali. Dia duduk di tepi ranjang, menyusuri bibir dengan jari telunjuk, merasakan denyut di bawah sana kala memikirkan ciuman panas mereka.

Dosa, dan itu sungguh terlarang. Tapi Erlang tidak bisa menghalau pikirannya untuk tidak menikmati bibir itu, bahkan mungkin lebih dari bibirnya.

***

"Nyonya, kenapa lahap sekali makan kedondong nya? Itu kan asam," ucap Titin mengamati Yura yang makan dengan lahap. Kulit wajah pelayan itu bahkan sampai mengkerut melihat cara makan Yura yang seolah memakan buah yang sangat manis.

"Ini gak asam, Tin, segar malah," ucapnya santai, kembali memakan buah kedondong setelah dicocol ke dalam piring garam.

"Anda persis seperti wanita hamil," celetuk Titin tersenyum. Namun, perkataan Titin itu membuatnya tersadar. Betapa bodohnya dia hanya karena keinginan lidahnya, dia melupakan bahwa saat ini dia tengah hamil dan apa yang sudah dia lakukan ini bisa membuat Titin curiga.

Bagaimana kalau wanita itu nanti cerita dengan pelayan lainnya di rumah itu? Maka kecurigaan kalau Yura saat ini sedang mengandung, dan siapa ayah bayi yang ada dalam kandungan Yura saat ini, dan hal itu akan semakin memperburuk keadaan.

Yura tidak tahu siapa di antara pelayan itu siapa yang menjadi orang kepercayaan Om Roy. Bisa saja Bi Ijah yang paling tua dan sudah bekerja selama puluhan tahun di rumah itu.

Wajah Yura pucat pasi. Dia ingat saat dia jatuh pingsan kemarin. Om Roy memaksa untuk memanggil dokter keluarga agar Yura diperiksa, tapi wanita itu segera menghalangi, mengatakan bahwa cukup dengan minyak angin saja, Yura akan segera siuman, seolah Bi Ijah memang sengaja agar tidak satu dokter pun yang memeriksa dan memberitahukan mengenai keadaannya kepada Om Roy.

Apa mungkin Bi Ijah memang sudah mengetahui kalau saat ini dirinya sedang mengandung?

"Aduh, bagaimana ini?" cicit Yura yang berubah khawatir.

"Nyonya tidak apa-apa? Kenapa wajah Anda tiba-tiba pucat? Apa Anda sakit?" tanya Titin mengamati wajah Yura yang seketika berubah.

"Aku baik-baik saja Tin, sedikit pusing. Sebaiknya kita pulang aja ya, aku hanya butuh istirahat," ucap Yura mengeluarkan uang dari dompetnya. "Oh ya, Tin, aku mohon jangan cerita pada siapapun kalau kita makan rujak hari ini," lanjutnya mengamankan bibir Titin agar tidak berkicau.

*

*

*

Mampir dong

Terpopuler

Comments

Rere Niae Cie'kecee

Rere Niae Cie'kecee

semnagat thor hot"mantap nya 🤗😘😘😘♥️😀

2023-07-02

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!