"Nak Jati sudah tahu umur Qara berapa?" tanya Abah dengan nada bicara yang cukup terkejut dengan jawaban Jati tadi.
Jati menggelengkan kepalanya, memang tidak banyak yang Jati ketahui dengan wanita yang menolongnya kemarin lusa, tetapi entah mengapa hatinya yang terlalu yakin ingin langsung melamar wanita itu.
"Umur Qara sudah dua puluh empat tahun A, biasanya umur cowok lebih tua dari perempuan. Sedangkan Qara lebih tua dari A Jati, apa tidak lebih baik dipertimbangkan dulu, niat baik A Jati."
Qara mencoba berbicara dengan nada yang cukup sopan agar Jati tidak merasa kalau ada penolakan dalam lamaran ini. Satu sisi Qara sebagai wanita yang sudah berumur dua puluh empat tahu ingin merasakan dicintai dan juga menikah, dalam adat sunda seumuran Qara sudah banyak yang menikah, bahkan baru lulus sekolah menengah atas atau sekolah menengah pertama ada yang langsung menikah. Sedangkan wanita itu belum menemukan jodohnya, tetapi setelah mendengar umur Jati yang masih terlalu kecil dan mungkin bisa dikatakan labil, ada rasa was-was bahwa pernikahannya hanya akan menyumbang derita dan nestapa.
"Apa kalau laki-lakinya yang lebih muda Teh Qara malu?" Jati masih tetap yakin dan akan berusaha semaksimal mungkin kalau dia akan menunjukkan bahwa dirinya layak untuk dijadikan teman hidup. "Bukanya kematangan seseorang tidak dilihat dari umur? Banyak yang berumur sudah matang tetapi mereka masih berpikir seperti anak kecil, dan juga sebaliknya banyak yang dicap masih kecil, tetapi mereka mampu berpikir dewasa."
Mendengar ucapan Jati, Qara dan Abah pun hanya diam dan memang yang Jati katakan itu benar. Dewasa tidak dinilai dari umurnya, tetapi pilihan, ia akan tetap dengan pemikiran anak-anaknya atau ia akan mengambil pilihan besar dengan bersikap dewasa.
"Kalau gitu, kamu ikut Nak Jati aja dulu Ra, tidak ada salahnya kita bersilahturahmi, mungkin memang Nak Jati adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan. Masalah nantinya akan berjodoh atau tidak serahkan pada Tuhan. Rezeki dan Jodoh sudah ditetapkan bahkan sebelum kita lahir, jadi tidak ada salahnya kamu bersilahturahmi dulu."
Reflek Jati langsung mengulas senyum lega, akhirnya setelah melewati ketegangan Jati bisa membawa Qara ke rumahnya untuk dikenalkan pada ke dua orang tuanya. bahkan rasa tegang yang Jati rasakan lebih tegang dari pada melakukan ujian sekolah atau interview kerja.
#Ya iyalah jelas, ujian dia nyontek, kerja dia nggak harus interview, ortunya punya usaha sendiri....
"Kalau gitu Qara siap-siap dulu."
Tanpa menunggu jawaban dari Jati, Qara pun langsung masuk ke kamarnya dan berganti pakaian yang menurutnya adalah terbaik dan bisa di pakai naik motor yang agak ribet. Tanpa menunggu lama Qara pun keluar dengan pakaian yang jauh lebih sopan dan tentunya tertutup.
"Nak Jati, tapi nanti pulangnya jangan terlalu malam yah. Tidak enak nanti kalau jadi bahan gunjingan tetangga, apalagi Qara di sini memakai hijab takut nanti ada yang salah sangka," pesan Abah sebelum Jati dan Qara pergi.
"Baik Bah, terima kasih sudah beri izin untuk Qara ikut dengan Jati. Abah tidak usah khawatir Jati bakal jaga Qara dengan baik." Terakhir Jati bersalaman begitupun Qara pamitan dengan orang tua satu-satunya.
"Ingat Ra, kamu harus sopan."
Qara hanya membalas dengan anggukan.
"A Jati tunggu." Deva yang sejak tadi mau memberikan hadian untuk Jati karena melihat obrolan mereka sangat serius pun memilih menunggu di dapur hingga Jati yang akan pamit pulang, baru bocil itu keluar.
Jati yang sudah siap akan naik ke motor sport-nya pun mengurungkan dan mengalihkan pandangan pada anak kecil yang nampak membawa dua buah duren cukup besar bahkan dari jalanya saja kelihatan kalau Deva keberatan.
"Buat A Jati, ini yang kemarin A Jati bilang miss kunti." Deva menahan tawa. Sementara Jati bengong.
"Kamu serius Cil, duren ini buat Aa?" Jati yang memang pecinta durian tentu langsung berbinar bahagia, apalagi duriannya besar dan wanginya jangan ditanya, buat pencita durian itu sangat menggoda.
"Beneran, Deva sudah bilang Abah katanya tidak apa-apa dikasih A Jati, padahal biasanya dijual." Deva memang terlalu polos.
"Kalau gitu Aa bayarin." Jati bersiap mengambil dompet di saku celananya. Namun serentak Deva, dan Qara menahannya.
"Nggak usah."
"Jangan"
Kakak beradik itu sangat kompak.
"Hahaha.... Padahal aku juga bercanda ya kali sama calon ipar perhitungan," kelakar Jati yang langsung menarik lagi tangannya dari saku. Qara pun hanya menunduk sembari menahan senyum. Wanita itu akui Jati memang sosok yang sangat humoris, dan cepat akrab dengan adik-adiknya, buktinya Deva saja yang biasanya sangat sulit berbaur sama Jati justru terlihat akrab dan cenderung jahil.
"Yeh A Jati emang aneh. Tapi nanti kalau ke sini lagi bawa kue lagi yah A." Deva pun langsung kabur ke dalam rumahnya.
"Dasar bocil satu itu emang bikin emezzz...."
"Udah yuk buruan jalan nanti keburu sore." Qara pun melerai Jati dan Deva, agar cepat jalan, tidak enak juga takut ada tetangga yang tahu kalau Qara akan pergi dengan laki-laki yang bukan warga sini. Yah, Qara sih sudah siap kalau dia akan jadi bahan gunjingan orang nantinya. Apalagi Jati datang ke kampungnya terlalu mencolok. Motor yang Jati pakai bukan motor orang biasa.
"Bisa nggak?" tanya Jati yang nampaknya Qara sedikit kesulitan untuk naik ke motor yang memang kurang pantas dengan pakaian Qara, untung Qara memakai celana panjang katun dan kaus kaki serta dipadukan dengan atasan kaus hitam dengan outer batik yang terlihat sopan dan tidak norak.
"Bisa, tapi emang A Jati nggak punya motor metic yah, ini cukup susah untuk yang berpakaian seperti Qara."
Andai Jati pakai motor metik ia akan lebih nyaman untuk posisi duduknya.
"Ya udah nanti kalau jemput lagi nggak bakal pakai motor ini."
Jati dan Qara pun pamit dengan Abah dan Deva sekali lagi sebelum mereka benar-benar pergi.
"Teh Qara pegangan aja nggak apa-apa ko aku bisa tahan," ucap Jati yang bisa merasakan kalau Qara kurang nyaman duduknya. Jati akui ia salah memilih kendaraan untuk menjemput Qara. Perjalanan dari Jonggol untuk menuju rumahnya cukup memakan waktu pasti Qara sangat tidak nyaman duduk dengan jok belakang motor sport yang didesain untuk kaula muda yang berpacaran agar mudah memeluk, sedangkan Qara duduk saja seperti tengah bertengkar dengan Jati bahkan tangan Qara sengaja saling bertaut agar tidak bersentuhan dengan Jati.
"Tidak apa-apa A, asal A Jati bawa motornya pelan insyaAlloh aman," tolak Qara lagi-lagi dengan suara yang lembut.
Ini yang membuat Jati jatuh hati dengan sosok wanita yang berhijab yang sangat bertentangan dengan pergaulannya. Qara memiliki sifat yang lembut dan ramah. Jati yang dari kecil kurang kasih sayang ketika bertemu dengan Qara pun langsung merasakan nyaman karena sosok yang selama ini ia cari ada pada wanita berhijab itu.
Akhirnya setelah istirahat entah berapa kali, Jati pun sampai di rumahnya yang mewah, bahkan Qara sampai kaget setelah tahu kalau Jati adalah orang yang super kaya.
Seperti ini kira-kira rumah orang tua Jati. Sangat berbeda jauh dengan rumah Qara kan. Kira-kira bakal dapat restu nggak yah..
"A ini beneran rumah keluarga A Jati?" tanya Qara begitu turun dari kuda besi. Rasa panas di punggungnya tidak lagi dirasakan oleh Qara karena terlalu kaget melihat rumah yang sangat mewah.
"Iya ini rumah Papah dan Mamah, kalau aku belum punya rumah, tapi aku usahakan secepatnya akan punya untuk rumah masa depan kita nanti. Tapi kayaknya Papah sama Mamah belum pulang." Jati mengajak Qara untuk masuk, tetapi Qara menarik ujung baju calon suaminya itu.
Jati yang merasakan bajunya ditarik pun menghentikan langkahnya.
"A Jati, Qara takut nanti orang tua A Jati nggak suka Qara."
Jati tahu apa yang jadi keresahan Qara dan itu juga yang sebenarnya Jati rasakan sejak tadi, oleh sebab itu laki-laki itu cukup banyak diam sepanjang perjalanan karena ia takut kalau kata-kata papahnya akan menyakiti Qara.
"Qara, aku mohon apapun yang terjadi nanti kamu jangan pernah tinggalin aku dan lepaskan aku. Aku mohon. Yang akan menjalani ini semua kita. Jadi kita maju bareng-bareng, berjuang sampai restu itu kita dapatkan."
Mendengar ucapan Jati, Qara pun mengernyitkan keningnya. "Kenapa A Jati bilang seperti itu?" tanya Qara, kenapa malah wanita itu melihat ada keraguan dari Jati sendiri.
"Apa orang tua A Jati tidak suka Qara?"
Jati hanya memberikan senyum samar. "Aku tidak tahu, tapi aku takut, di saat aku tidak memiliki umur panjang, aku tidak bisa bersama orang yang membuatku nyaman, aku ingin sebelum ajal itu datang, aku ditemani oleh orang yang membuat aku nyaman, berjanjilah akan tetap bersama denganku dan berjuang bersama hingga restu itu ada. Karena hanya kamu yang buat aku nyaman."
Wajah Qara berubah jadi pucat. "Kamu ngomong apa sih A. Kenapa kamu seperti sedang berpamitan akan pergi dari dunia ini.
Bersambung....
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Mimik Pribadi
Melihat perbedaan kasta yng begitu mencolok,,,,ak jdi ikut deg2an apalgi tau sifat papanya Jati yng cenderung kurang suka orng miskin jdi ikut pesimis 😪😪😪
2023-06-23
3
Qahlisa Ynairawan
jati kok ngomongnya serem sih, dia gak akn dibikin meninggalkan kan?
2023-05-16
4