"Ngomong-ngomong nanti orang tua kamu tidak marah kan kalau aku nginap di sini?" tanya Jati begitu mereka sampai di rumah yang cukup sederhana.
"Loh siapa yang bilang kalau Aa Jati akan tinggal satu rumah dengan kami. A Jati nanti tidurnya di situ." Qara menunjuk rumah kecil yang berada di samping rumah utama mereka.
"Hah, kamu serius? Bukannya itu kandang kambing?" tanya Jati dengan kaget. Meskipun ia sebenarnya tidak begitu percaya sih.
"Hehehe, ya enggak lah. Tenang saja saya nggak se-tega itu A..." kelakar Qara yang ingin mengetes reaksi Jati.
"Tapi kalau A Jati mau mah nggak apa-apa yah Teh, tidur bareng domba," sambung adik kecil yang terkekeh juga ketika melihat reaksi Jati.
"Wah, adik. Kamu itu sekalinya ngomong bisa banget yah. Aku pikir tadi pingsan sepanjang perjalanan diam saja, ternyata ada suaranya juga," ledek Jati sembari mengusap-usap rambut adik kecil yang baru turun dari boncengan sepeda.
"Dia namanya Deva, dia memang seperti itu irit bicara, dan sedikit pemalu," balas Qara, sembari mengajak Jati masuk.
"Assalamualaikum..." ucap Qara yang disusul oleh Deva dan di belakangnya ada Jati berjalan dengan menunduk, apalagi rumah Qara adalah panggung, yang mana ketika diinjak papanya sedikit bergoyang, dan bunyi yang sedikit mengganggu.
"Wa'alaikumsalam... loh, itu sapa Teh?" tanya laki-laki paruh baya yang di pelipis kanan dan kiri ada layar tancep (Koyo).
"Kok lama banget Teh?" tanya laki-laki yang lebih muda dari Jati.
"Abah kenalin iyeu A Jati, kapendak di jalan. Kase'epan bensin, jadi we Teteh ajak milu mulang, atuh karunya umpami diantep
keuin di jalan sapepeting mana pas di jalan nu kebon jati tea kan poek jaba sepi deui. ( Abah kenalin ini namanya A Jati, tadi kita ketemu di jalan. A Jati kehabisan bensin, jadi Qara ajak ikut pulang, kasihan kan kalau dibiarin di jalan semalaman, mana pas di kebon jati itu kan gelap sekaligus sepi lagi)" Qara memperkenalkan laki-laki yang ikut mereka pulang.
"Arek nginep na iyeu (Mau nginep di sini)?" tanya Abah dengan menelisik penampilan laki-laki yang dibawa anaknya ke rumah mereka.
"Eta ge umpami Abah ngizinkeun (Itu juga kalau Abah mengizinkan)" imbuh Qara yang dia sendiri juga tidak berani memberikan keputusan.
Di saat Qara mencoba bernegosiasi dengan sang ayah. Jati justru terus memperhatikan mereka, dengan bibir setengah mangap. Ia tidak tahu mereka berbicara apa. Yang dia tahu hanya bahasa Indonesia, tidak bisa bahasa daerah, baik sunda, jawa apalagi bahasa inggris, sekolah saja naik kelas sudah bersyukur, boro-boro menguasai bahas internasional.
"A Jati emang rumahnya di mana?" tanya laki-laki paruh baya sebut saja Abah yang kulitnya sudah keriput, dan wajahnya pucat.
"Di Jakarta Bah," jawab Jati, kali ini laki-laki yang disebut berandalan itu berbicara yang cukup sopan. Mungkin seumur-umur laki-laki itu baru mempraktekan sopan santun yang pernah diajarkan saat sekolah dulu. Sebelumnya dia mau berbicara dengan yang lebih tua maupun muda nada bicaranya tetap keras dan songong.
"Jakarta? Jauh ning, naha bisa sampai di sini?" tanya Abah lagi, sama halnya dengan Qara yang bingung kenapa orang Jakarta bisa sampai ke Jonggol, yang notabenya Jonggol masih termasuk desa yang sepi.
"Saya juga tidak tau Bah, tiba-tiba sudah sampai sini," jawab Jati dengan jujur. Seharusnya dia menyesal karena sudah tersasar dan saat ini entah di mana, tapi entah mengapa dalam hati kecil berandalan itu malah dia senang, apalagi setelah sadar kalau yang menolongnya adalah wanita cantik.
Sebelumnya Jati memang tidak begitu jelas melihat wajah gadis yang menolongnya dengan, itu karena tempat dia tersasar dan jalanan yang gelap. Namun, setelah sampai rumah yang mana cahaya lampu cukup tenang membuat wajah Qara yang cantik bisa Jati nikmati.
"Gini saja, di rumah ini kamarnya hanya ada tiga, satu kamar Qara, satu kamar Deva sama Diki dan satu lagi kamar Abah, kamu kalau tidur di ruang tamu apa tidak apa-apa?" tanya Abah yang tidak tega kalau membiarkan tamu asingnya tidur di kandang domba.
"Tidak apa-apa Bah, saya juga terima kasih banyak karena sudah dibantu, apalagi sampai diizinkan menginap," jawab Jati pasrah, soal malam ini yang penting ia tidak tidur dipinggir jalan saja udah bersyukur, dan soal motor dan bensin bisa dipikirkan lagi besok, atau kalau harus nginap lagi di rumah ini Jati juga nggak keberatan apalagi ada cewek cantik, siapa sih yang nolak.
"Ya udah kalau gitu Abah masuk dulu, badan Abah lagi kurang sehar."
"Iye obatna Bah." Qara memberikan obat yang tadi dia beli dari apotik, yang berada di tempat yang cukup jauh dari rumah mereka, Qara tinggal di tempat yang masih jauh dari keramaian, sehingga untuk membeli obat ke apotik cukup jauh, apalagi wanita berhijab itu tidak bisa menunggangi motor, sehingga hanya mengandalkan sepeda.
Abah dan kedua adik Qara sudah masuk ke kamar masing-masing. Sementara Qara menyiapkan alas tidur seadanya.
"A Jati punten'nya tidurnya dengan alas seadanya, dan ini selimutnya pakai sarung punya Diki, di sini kalau pagi suka dingin jadi ini selimutnya," ucap Qara sembari memberikan satu sarung dan bantal yang pasti tidak se-empuk di rumahnya.
"Makasih yah," balas Jati dengan pandangan mata terus menatap Qara.
"Kalau gitu, saya pamit istirahat yah, besok pagi harus kerja."
Tanpa menunggu jawaban dari laki-laki yang terus menatapnya. Qara pun langsung kembali ke kamarnya, dia ada rasa takut ketika melihat Jati terus memperhatikannya dengan lapar. Wanita itu tidak pernah pacaran sehingga ketika ada laki-laki terus menatapnya maka dia sangat tidak nyaman dan takut.
Sedangkan Jati melihat sekeliling rumah yang sangat sederhana. Setelah melihat isi ruang tamu tanpa kursi dan hanya ada kipas angin kecil, meja tipi kecil dan lemari perabotan yang hanya berisi piring gelas dan boneka satu yang sudah lusuh. Pandangan laki-laki itu pun kembali dialihkan pada alas tidur yang terdiri dari tikar, dan bantal yang lepek serta sarung yang tipis, mungkin yang di berikan oleh Qara adalah sarung THR dari warung-warung tempat ia biasa belanja, yang mungkin saking tipisnya bisa digunakan untuk menyaring santan kelapa.
Huh... Jati merebahkan badanya yang pada sudah berasa sakit semua, terutama bagian betisnya.
"Awh..."Jati kembali duduk.
"Gila sakit bener buat tidur," gumam Jati sembari memegang papan yang tidak rata mengakibatkan punggung dia pada sakit karena alas yang terlalu tipis.
Laki-laki itu kembali teringat permintaan papah dan mamahnya yang memintanya pulang. Tidak lain dan tidak bukan agar ia mulai memikirkan masa depannya, dengan cara membantu kedua orang tuanya menjalankan bisnis. Apabila dia melakukanya semua kemewahan bisa dia dapatkan.
Ia kembali menyamakan hidupnya dengan hidup Qara yang sangat jauh berbeda, tetapi wanita itu tetap semangat dan mau bekerja apapun demi tetap memberikan bahagia bersama keluarganya.
"Apa ini teguran dari Tuhan, agar aku bisa mengerti arti keluarga," gumam Jati. Namun laki-laki itu kembali menepis pikirannya.
"Tapi keluarga Qara dan keluargaku beda, Papah dan Mamah tidak pernah ada waktu untuk anak-anaknya. Aku bahkan lebih dekat dengan Mbok Sur(Asisten rumah tangga di rumah Jati yang menjaga Jati sejak kecil) Dari pada dengan Papah dan Mamah, aku juga lebih nyaman bercerita dengan Mbok Sur dari pada dengan kedua orang tuaku, jadi kalau seperti ini bukan aku yang salah tapi kedua orang tuaku," gumam Jati lagi, tetap pada pendirian awal, dia menyalahkan keras kepalanya karena pengaruh orang tua yang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Bersambung.....
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Mimik Pribadi
Semoga Jati tidak lngsng pergi dri rmh Qara,supaya dia lbih bisa memahami dan menghargai arti kata klrga,bersyukur dan hidup itu sendiri biar bisa berubah lbih baik lgi.
2023-06-23
1
Daryati Idar
lanjut thor
2023-05-05
1
Alif windi Suseno
keras kepala jati emang, udah tinggal balik. terus kamu jadi kaya raya dah.🤭
2023-05-05
3