Jati mendekat ke arah Qara. Sedangkan Qara hanya menunduk.
"Kamu jangan salah paham Ra, aku hanya merasa baru kali ini bertemu dengan perempuan yang benar-benar aku inginkan. Jujur, aku dari kecil bisa dibilang kurang kasih sayang dari keluarga ku. Aku selalu berangan ingin memiliki pasangan yang sesuai dengan kriteriaku. Lemah lembut, mandiri, dan baik. Baru kali ini apa yang aku idam-idamkan ada didiri kamu. Oleh sebab itu aku langsung melamar kamu, karena aku takut kamu keburu diambil oleh orang lain. Aku takut tidak bisa menemukan sosok seperti kamu lagi. Itu sebabnya aku minta kamu tetap berjuang andai restu tidak langsung kita kantong. Aku janji tidak akan membuat kamu sedih, apalagi sampai menangis."
Mendengar ucapan Jati yang sangat serius Qara pun jadi tidak tega, dan juga bagi Qara baru kali ini ia menemukan sosok laki-laki yang benar-benar menginginkanya begitu besar. Qara masih ingat kata-kata abahnya. Lebih baik dicintai lebih dulu dari pada kita yang mencintainya duluan.
"Tapi keluarga Qara bukan dari keluarga yang berkecukupan A, nanti kalau keluarga Aa Jati nggak setuju dan mengira kalau Qara hanya menginginkan harta A Jati bagaimana?"
Jati memberikan tatapan yang tajam pada Qara. "Aku akan memperjuangkan restu itu. Kamu jangan khawatir, aku adalah laki-laki yang selalu serius dengan omonganku."
Qara yang hendak membalas ucapan Jati pun mengurungkanya ketika dua mobil masuk secara beriringan.
"Itu Papa dan Mamah sudah pulang, kamu santai saja jangan tegang, mereka baik kok, hanya sedikit tegas."
Jantung Qara langsung berdetak semakin kencang ketika laki-laki paruh baya dan perempuan paruh baya turun dari masing-masing mobil mereka. Jati maju beberapa langkah dengan wajah yang terlihat tenang.
"Pah, Mah, ini Qara. Cewek yang kemarin Jati ceritain."
Qara mengulas senyum manis, wajah Qara yang cantik dan memiliki kulit putih meskipun tidak memakai make up yang tebal tetap terlihat cantik dan enak dipandang.
"Selamat sore Om, Tante." Qara mengulurkan tangan lebih dulu, dan kedua orang tua Jati pun melakukan hal yang sama, meskipun Thomy tetap dengan wajah dingin dan lirikan yang menelisik dari ujung kaki hingga ujung kepala Qara tidak lepas dari penilaian laki-laki paruh baya itu, sedangkan Iren membalas senyum Qara dengan manis.
"Ayo masuk jangan diluar terus." Iren yang terlihat lebih akrab sedangkan Thomy tidak ada ucapan sepatah kata pun.
"Bang, ajak masuk sudah hampir magrib." Iren kembali mengingatkan putranya agar mengajak Qara masuk. Jati pun membalas dengan anggukan.
"Yuk, masuk. Kamu jangan kepikiran dengan Papah, memang mukanya seperti itu, tidak jarang aku juga sering berdebat. Tapi Mamah baik ko."
Qara pun akhirnya masuk ke rumah mewah itu, dalam hatinya entah berapa banyak doa-doa yang telah Qara panjatkan agar semuanya lancar tanpa masalah apa pun.
"Ra, duduk dulu. Aku mau minta Bibi bikinkan minum."
Tanpa menunggu jawaban dari Qara, Jati meninggalkan calon istrinya seorang diri.
Kesan pertama Qara melihat rumah Jati tentu kagum, benar-benar mewah dan besar bahkan mungkin besarnya sepuluh kali lipat dari rumahnya, ruangan pun benar-benar sang bersih, bahakan sepertinya tidak ada debu sama sekali. Wanita itu semakin merasa bahwa ia dan Jati tidak akan bisa bersatu, perbedaan setatus yang sangat mencolok, tetapi Qara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia teringat dengan ucapan Jati tadi. Takut kalau dia mundur, Jati malah melakukan hal yang tidak diinginkan.
"Silahkan diminum Mbak." Seorang asisten rumah tangga menyuguhkan satu cangkir teh dan juga cemilan di toples, serta beberapa cake di piring.
Qara mengulas senyum sembari menganggukkan kepala dengan samar. "Terima kasih Bi."
Tidak lama Jati turun dari lantai dua, dengan anak sepantar dengan Diki dan Deva.
"Ra, kenalin dia Noah dan Nara, adikku."
"Hai Noah, Nara, salam kenal. Saya Qara." Qara pun mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Noah dan Nara, di mana kalau dilihat dari bentuk tubuhnya Noah, seumuran dengan Diki sedangkan Nara hampir sama dengan Deva. Itu yang ada dalam pikiran Qara.
Noah dan Nara pun membalas salam Qara.
"Abang ini yang calon istri Abang? Cantik," ucap Nara dengan senyum terbaiknya, sedangkan Noah hanya memberikan senyum tipis.
"Iya kakak Qara calon istri Abang, udah kalian balik ke kamar, belajar."
Noah dan Nara pun kembali naik ke lantai atas, baru Qara mau duduk kembali kini dari lantai atas turun pasangan suami istri. Sehingga Qara mengurungkan duduknya ia kembali berdiri dan mengembangkan senyum lalu menundukan tubuhnya memberikan salam hormat.
"Ko tehnya masih utuh, diminum Ra." Iren mengulurkan tanganya memberi kode agar Qara duduk kembali.
"Terima kasih."
Ruangan luas itu kembali hening, baik Qara dan Jati saling diam, begitupun kedua orang tua Jati.
"Ngomong-ngomong Qara tinggal di mana?" Lagi-lagi Iren yang bertanya lebih dulu. Thomy masih diam, dari tatapanya Qara bisa menyimpulkan kalau laki-laki paruh baya itu kurang menyukai dirinya. Namun sebisa mungkin Qara tetap bersikap ramah, ia sadar diri restu dari orang tua yang setatus materi jauh berada pasti tidak akan semudah seperti abahnya memberi restu pada anaknya.
"Qara tinggal di Jonggol Tan."
Wanita yang duduk bersebelahan dengan suaminya nampak mengernyitkan dahinya ketika mendengar jawaban Qara. "Jonggol? Di mana itu?"
"Di Bogor, Tan."
"Qara kerja atau masih kuliah?" Kali ini giliran Thomy yang bertanya dengan suara berat dan tegas. Sedangkan Iren kali ini hanya diam.
"Kerja Om, dekat dari rumah," jawab Qara dengan sopan.
"Kerja apa?" Thomy terus melemparkan pertanyaan.
"Mengajar anak-anak TK, Om."
Kali ini Thomy mengernyitkan dahinya, seolah kecewa dengan jawaban Qara.
"Mengajar anak-anak TK, gajihnya berapa?"
"Pah, kok tanyanya gitu." Kali ini Jati keberatan dengan pertanyaan Thomy.
"Loh kenapa? Kamu sedang cari calon istri kan? Nah Papah sedang mengetes Qara apakah dia pantas jadi calon istri kamu atau tidak?" Tatapan Thomy dan Jati kembali saling beradu. Seolah mereka tengah saling berdebat lewat tatapan.
Semenatar Qara hanya bisa diam dan menunduk, sama halnya Iren membiarkan suaminya yang turun tangan.
"Tapi tidak harus tanya gaji dan segala macam Pah. Toh nantinya tugas istri bukanya lebih banyak di rumah mengurus rumah tangga, anak dan suaminya." Jati kali ini mengalihkan pandangan pada sang ibu yang hanya diam.
"Itu pemikiran kolot Jati. Istri tidak semuanya hanya bertugas di rumah. Memilih calon istri juga harus dilihat bibit, bebet dan bobotnya. Shalehah, akhlaknya mulia, berpendidikan, pandai mengurus rumah tangga dan juga sepadan. Kenapa disarankan yang sepadan?" Kali ini Thomy bertanya pada Jati.
Namun Jati hanya diam saja, dengan tatapan yang mengisyaratkan kebencian.
"Karena, semuanya agar tidak ada perbedaan yang terlalu jauh, sehingga akan timbul omongan yang tidak mengenakan, dan apabila kamu sedang tidak ada pemasukan istri bisa bantu, tugas cari duit bukan hanya laki-laki, begitupun rumah tangga bukan hanya perempuan namanya menikah harus saling melengkapi. Dan kalau kerja Qara hanya sebagai pengajar anak-anak TK apa dia bisa bantu pemasukan untuk kebutuhan kalian nanti. Kamu pikirkan ulang itu."
Hati Qara sakit mendengar ucapan Thomy, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jari-jarinya saling bertaut. Seolah ia tengah memberikan kekuatan pada dirinya sendiri.
"Tidak Pah, Qara sudah jadi pilihan Jati yang paling baik. Jati pasti bisa menghidupi Qara dengan baik, Jati akan buktikan itu."
"Jangan bodoh Jati, menikah bukan sekedar menyatukan dua orang, tapi juga segala macam cobaan akan saling datang kalau kamu tetap berpikir menikah hanya butuh cinta, yang ada kamu hanya memberikan beban tambahan pada orang tuamu."
"Beri waktu untuk Jati buktikan satu tahu, kalau Jati bisa mewujudkan semua yang Papah inginkan dan mematahkan keraguan Papah dan Mamah. Jati minta setelah satu tahu Jati berhasil, maka Papah dan Mamah izinkan Jati menikah dengan Qara."
Ruangan pun semakin hening sedangkan Qara masih tidak berani mengangkat wajahnya, hatinya hancur dan sedih, karena secara tidak langsung keluarga Jati tidak menyetujuinya sebagai menantu.
"Di coba dulu Pah." Iren berbisik pada suaminya.
"Hanya satu tahu Pah. Jati akan bekerja dengan baik dan membuang keraguan Papah selama ini. Jati juga akan meninggalkan gank motor Jati. Semua demi kemauan Papah dan Mamah," ulang Jati.
"Baiklah, dan jangan kecewakan Papah dan Mamah."
Senyum tersungging dari wajah Jati, dengan begini kini dia bisa segera membuktikan pada ke dua orang tuanya, dan sebagai pencapaian terbesarnya ia akan menikahi Qara.
Bersambung....
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Mimik Pribadi
Mumpung diksh kesempatan,ayo smangat jadi tunjukan klo kamu bisa,,,
2023-06-23
0
Nanda Lelo
betul bgt,,
2023-06-17
1