Bab 4

"Udah jangan tangisi dia lagi, nggak penting banget!" serunya dengan kesal sembari melipat kedua tangan dan kakinya.

Melihat aksi kesal Irene, Nancy mengusap air matanya sambil menatap mata sahabatnya kembali dengan tatapan iba.

"Tapi, aku masih cinta." ucapnya.

"APA!" suara Irene terdengar begitu shock dengan satu kali bentakan.

"Dia sudah jadi iparmu bukan, kenapa masih berpikir cinta sama dia si !" jawab Irene yang terkesan begitu bingung menghadapi dilema cinta Nancy disana.

"Iya si..." jawab Nancy dengan memutar mutar ujung bajunya berulang kali.

"Tapi, kalau Feli mati boleh juga kan aku nikah sama dia!" Jawab Nancy yang tak kalah membuat Irene lebih tercengang.

"Sumpah sumpah, fix lo gila si !" tuduhnya tanpa bukti.

"Seorang saudara kandung bisa ngumpat bahkan nyumpahin saudaranya sendiri untuk mati, akal loe dimana si?"

"Ini kan perumpamaan!" sahut Nancy mencoba membela dirinya sendiri.

Dan sesekali ia terlihat menggerutu dan memalingkan wajahnya dihadapan Irene.

"Nah kan, gue denger tuh!"

"Gini deh, gue emang cupu. Bahkan urusan cinta itu bulshit buat gadis kayak gue, tapi gue kenal loe banget."

"Apapun yang loe mau pasti bakalan loe perjuangkan mati-matian bukan?" ujar Irene penuh dengan selidik.

Bola matanya mulai terlihat mengitari setiap lekuk wajah Nancy saat itu. Sedangkan Nancy sibuk menyatukan ke dua ujung jari telunjuknya disana masih dengan wajah yang penuh harap pertolongan.

"I-tu tau ..." sahutnya ragu dengan terbata-bata.

"Jadi ..." ucapnya kembali terhenti di udara dan hampir kembali masuk kedalam kerongkongannya.

"Jadi apa?!" sahut Irene dengan ketus sambil melingkarkan kedua tanganya ke pinggul.

Nancy masih mengambil nafas sebanyak mungkin sebelum ia mengutarakan kembali apa keinginannya.

"Tolong bantu aku please please ..." serunya dengan meraih kedua tangan Irene.

"Hm."

"Apa?" sahut Irene dengan kekalahanya, khas seperti sewaktu mereka masih duduk dibangku sekolah. Apapun permintaan Nancy padanya pasti akan ia tepati.

"Cukup ikut denganku dan duduk tenang disampingku!" jelasnya .

Tapi penjelasan itu tak membuat Irene merasa lega, pasalnya terasa ganjil setiap perkataan Nancy disana.

"Kegiatan apa yang sekiranya begitu mudah seperti itu?" Sambung Irene menaikkan satu bulu alisnya.

Sedikit ragu Nancy sebenarnya mengutarakan hal itu pada Irene, tapi itu harus ia lakukan demi melancarkan aksinya.

"Aku butuh gadis perawan Ren!" imbuhnya dengan memejamkan matanya dengan erat.

Lagi lagi Irene harus terkejut untuk kesekian kalinya disana, tapi kali ini disambung dengan gelak tawa yang begitu nyaring.

"Hahaha!"

"Apa kau gila, aduh perutku rasanya kaku sekali. Tapi tunggu dulu, memang aku masih perawan juga si seingat ku." jelas Irene yang mencoba memberikan godaan pada Nancy.

"Ah sial, serius loe pernah tidur sama cowok Ren?" tuding Nancy tanpa bukti.

"Enggak juga, cowok mah kabur lihat gadis unik kayak gue. Penampilan memang boleh nggak mendukung, tapi hati dan kedalamannya begitu mahal cuy!" imbuhnya dengan bangga.

Nancy mendengarnya terasa amat lega, pasalnya tak ada lagi teman selain Irene yang dapat menolong dirinya lagi.

"Jadi siap kan loe gue bawa ke dukun, bahasa kerennya si paranormal kali ya!" tegas Nancy yang to the point terhadap sahabat lamanya itu.

"GILA!"

"Jadi kali ini gue harus jadi tumbal loe gitu?" Irene naik pitam seketika mendengar ajakan Nancy.

Nancy mencoba menghentikan kemana arah jalan pikiran Irene yang tengah bergerilya kesana kemari. Dengan sebuah kode tangan menyilang, karena sahabatnya itu tiada henti menghardiknya.

"Aku janji hal itu takkan pernah terjadi, percayalah!" imbuh Nancy kembali menggenggam tangan Irene.

*

*

*

Satu malam penuh Nancy lewati untuk menginap dirumah Irene, dan selama itu pula hatinya semakin tak karuan berdegup kencang memikirkan hari esok.

"Oke ladies, hari sudah semakin larut. Segera tidur karena hari esok perjalanan panjang menanti kalian!" pungkas Julia ibu Irene yang begitu tomboy dalam penampilan.

Bahkan Julia dikenal sebagai ibu yang mampu merangkul anaknya dalam situasi apapun selayaknya teman. Tak pernah ada batasan diantara ibu dan anak tersebut, hingga Irene merasa sang ibu adalah sahabat terbaiknya.

Malam terasa sunyi karena Nancy berada jauh dari keluarganya yang teramat bising dengan segala aktifitasnya masing-masing. Disana, sejenak ia menemukan ketenangan batin dan pikiran yang jauh lebih tenang.

Dalam tidurnya, ia merasa Gimbo telah menantinya di ujung jalan setapak dengan menggendong burung miliknya dan melambai. Ia seakan telah menanti kehadiran Nancy utnuk menjalankan perintahnya.

Dengan keringat dingin yang membasahi seluruh wajahnya, Nancy mengambil sebuah tisu untuk mengelap semua peluhnya.

Hingga tiba keesokan harinya , mereka telah bersiap untuk melakukan perjalanan jauh tersebut. Bahkan Julia terlihat sudah menyiapkan beberapa bekal tambahan untuk mereka selama perjalanan nanti.

"Sandwich, susu kocok, bahkan biskuit beserta buah buahan sudah ibu siapkan dalam satu tas besar itu. Berhati-hatilah dan selamat bersenang-senang sayang!" Julia merangkul keduanya dengan pelukan perpisahan yang hangat hari itu.

"Bye..." teriak Julia dengan mengangkat satu tanganya.

"Kau harus bertanggung jawab dengan senyum ibuku yang tulus itu. Jadi kau harus membawaku pulang hidup-hidup!" seru Irene yang melontarkan protesnya di pagi yang masih terselimuti kabut.

"Tenanglah..." imbuh Nancy santai.

Keduanya saat itu menempuh perjalanan cukup lancar, Bahkan terkesan lancar tanpa kendala berarti. Bahkan Nancy dapat dengan mudah menemukan jalan itu ketimbang diawal keberangkatannya.

Sementara Nancy sibuk memarkirkan mobilnya , Irene di buat begitu takut dengan kondisi lingkungan sekitar yang masih begitu gelap karena hari masih begitu pagi. Disana, ia telah disambut oleh burung Gimbo sejak tadi yang bertengger disebuah dahan rendah tepat dihadapan mobil Nancy.

"Aku tak percaya jika ia akan ada disini!" seru Nancy .

Setelah membawa pembekalan keduanya, kini Nancy yang menjadi pemandu jalan bagi Irene. Ia juga terlihat mengikuti burung gagak emas itu dengan lincahnya.

"Pagi , spadaa ..." sapa Nancy yang tengah berada tepat dihadapan pintu.

Hal yang masih sama berulang kembali, Wilia membukakan pintu dengan pakaian serta nada yang sama. Datar tapi juga menyeramkan.

"Yah , masuklah!"

Sedangkan Irene yang ingin menjerit ketika melihat rupa Wilia dengan cepat di bungkam oleh Nancy agar menjaga perasaan Wilia supaya tidak tersinggung.

Sebuah bahasa isyaratpun ia gunakan untuk membungkam aksi Irene disana.

"Duduk, dan tunggulah!" imbuh Wilia.

Rupanya seperti seorang manusia, tapi tutur bahasanya begitu kaku dengan pengulangan kosakata yang terus berulang layaknya robot.

Irene sudah menahan begitu hebat rasa mual yang hendak ingin ia tumpahkan di ujung tenggorokanya. Rasa itu semakin hebat tatkala ia mendapati sebuah benda putih bulat dengan memiliki satu titik hitam tepat di tengahnya. Mungkin itu sebuah mata persembahan Gimbo.

...----------------...

Bersambung 💛

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!