Arga dan Citra segera melepaskan genggaman tangan mereka. Arga tampak salah tingkah mendengar teguran dari Pak Hamzah yang tahu-tahu sudah berdiri di belakang mereka.
"Eh Bapak. Maaf Pak," ucap Citra gugup.
Pak Hamzah menatap kedua anak muda itu bergantian. Lelaki itu seolah meminta penjelasan pada kedua anak muda di depannya itu.
"Tadi Arga cuman nganterin titipan dari bundanya aja kok Pak," ucap Citra yang mengerti arti tatapan sang ayah.
Pak Hamzah tak lantas menyahuti ucapan sang anak. Mata tuanya terus menatap Citra dengan pandangan menyelidik.
"Iya Pak. Tadi Arga mampir ke sini karena Bunda nitip sesuatu buat Citra." Arga membantu menjelaskan maksud kedatangannya kepada Pak Hamzah.
Citra menatap wajah sang ayah dengan perasaan takut. Sedangkan Arga tampak sedikit kikuk saat bertatapan dengan Ayah Citra.
Pak Hamzah menghela napas panjang mendengar penjelasan Arga. Kini tatapan mata lelaki itu tak lagi segarang tadi.
"Ya. Bapak percaya. Tapi maaf Nak Arga. Kalau sudah selesai mohon segera pulang ya. Enggak enak sama tetangga," ucap Pak Hamzah.
Arga paham dengan ucapan orang tua itu. Pak Hamzah tak ingin para tetangga menggunjingkan sesuatu yang tidak benar tentang Citra.
"Iya Pak. Arga udah selesai kok. Makasih ya Pak. Dan maaf kalau Arga datang di saat yang tidak tepat," sahut Arga.
Pak Hamzah menyunggingkan senyum. Dia tahu Arga adalah anak yang baik dan sopan. Dia juga tak pernah melarang Arga datang ke rumahnya untuk bertemu dengan Citra.
"Ya udah kalau gitu Arga pamit dulu ya Pak." Arga bangkit dari kursinya dan sedikit membungkukkan badannya.
"Iya Nak Arga. Hati-hati ya."
"Citra, aku pulang dulu ya. Maaf udah ganggu waktu kamu," ucap Arga pada Citra.
"Iya Ga. Harusnya aku yang minta maaf. Kamu udah repot-repot nganterin kado buat aku," jawab Citra.
Arga tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku senang kok. Ya udah aku pamit ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab Citra dan Pak Hamzah berbarengan.
Sepeninggal Arga, Citra kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Pak Hamzah masuk ke dalam dan mengambil sesuatu.
"Citra hari ini Bapak sama Ibu mau ke rumah Paman Bani. Mungkin kami akan menginap di sana," ucap Pak Hamzah memberitahu.
Citra menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah sang ayah.
"Memangnya ada acara apa Pak?" tanya Citra.
"Istri pamanmu meninggal. Jadi Bapak sama Ibu ke sana untuk melayat," jelas Pak Hamzah.
Citra mengangguk mengerti dengan penjelasan sang Ayah.
"Sekarang Bapak mau nutup kios dulu. Kamu nggak takut kan di rumah sendirian?" ujar Pak Hamzah.
"Enggak Pak. Insya Allah aman kok," jawab Citra meyakinkan sang ayah.
"Nanti tutup semua pintu dan jendela ya Cit. Jangan lupa di kunci juga. Kalau ada yang ketok-ketok jangan di buka sebelum menyebutkan namanya." Pak Hamzah memberikan pesan untuk anak gadisnya.
"Iya Pak. Citra pasti ingat pesan Bapak," sahut Citra.
Pak Hamzah tersenyum. "Ya sudah. Bapak berangkat dulu ya. Ingat pesan Bapak tadi."
"Iya Pak. Hati-hati ya," sahut Citra.
Setelah mengucapkan salam, Pak Hamzah berlalu dari hadapan Citra. Lelaki itu mengendarai sepeda motornya menuju kios miliknya yang ada di depan jalan.
Sepeninggal sang Ayah, Citra segera menutup pintu rumahnya. Ia kembali duduk dan fokus pada pekerjaannya tadi.
*****
Sore ini hujan kembali mengguyur kota apel. Udara yang dingin semakin bertambah dingin kalau hujan seperti ini.
Wiwit tampak berlari-lari kecil menuju rumahnya. Dia baru saja pulang dari bekerja di sebuah toko emas yang ada di kota apel ini.
Badannya basah kuyup karena guyuran air hujan yang bagai tercurah dari langit. Jilbab yang senantiasa menutupi kepalanya juga nampak basah. Bibirnya bergetar menahan udara dingin di luar.
"Assalamu'alaikum." Wiwit mengucapkan salam sembari mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum," ulangnya.
Tak ada sahutan dari dalam. Ke mana Citra ya? Enggak mungkin dia keluar rumah tanpa memberitahunya atau Mas Tegar.
"Assalamu'alaikum. Citra," ucapnya lagi. Dia mengeraskan suaranya agar sang adik bisa mendengar suaranya.
Suara petir menyambar membuat Wiwit menundukkan kepalanya. Dia mengetuk pintu sekali lagi.
"Kok nggak ada yang jawab sih? Citra ke mana ya?" gumamnya.
Suara petir kembali menyambar. Suaranya yang menggelegar membangunkan Citra yang tertidur pulas.
"Astaghfirullahalazim," ucapnya.
Sayup-sayup dia mendengar suara Wiwit mengucapkan salam. Citra bergegas turun dari tempat tidur dan berlari menuju pintu depan.
"Wa'alaikum salam Mbak." Citra menjawab seraya meraih tangan Wiwit dan mencium punggung tangannya.
"Kok lama banget Dek? Kamu tidur ya?" ujar Wiwit.
Gadis itu segera masuk dan melepaskan sepatunya dan meletakkan sepatunya di lantai.
"Iya, maaf Mbak. Aku ketiduran tadi," jawab Citra.
Wiwit tersenyum mendengar jawaban sang adik. "Udah makan kamu Dek?"
"Udah tadi siang. Kalau sekarang sih belum." Citra menjawab sambil nyengir.
Wiwit lagi-lagi tersenyum mendengar jawaban sang adik. Gadis itu kemudian segera masuk ke dalam kamarnya dan mengambil handuk yang tergantung pasrah di gantungan baju.
"Ya udah habis ini kita pesan makanan aja ya. Soalnya kan masih hujan di luar," kata Wiwit.
"Iya Mbak. Tapi nanti temenin aku ke minimarket ya. Aku mau beli sesuatu."
"Iya Dek. Mbak mandi dulu ya." Wiwit berkata sambil tersenyum manis pada sang adik.
Citra menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia duduk di ruang makan sembari mengisi TTS yang ia beli beberapa hari lalu.
Di tempat lain, Arga tampak sedang tersenyum seorang diri. Pikirannya melayang ke kejadian tadi siang. Saat dirinya mengungkapkan isi hatinya pada Citra.
"Izinkan aku menyayangi dirimu segenap jiwa dan ragaku," ucap Arga.
Wajah Citra bersemu merah kala mendengar ungkapan cinta itu. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya pun berbunga-bunga mendengar Arga mengungkapkan isi hatinya padanya.
Citra tak pernah merasakan getaran yang demikian ini. Bahkan saat Azwan mengungkapkan isi hatinya dulu, ia tak merasakan getaran seperti saat Arga mengungkapkan isi hatinya.
"Aku memang bukan lelaki yang baik. Tapi aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu," ungkap Arga.
Citra semakin tersipu mendengar ungkapan itu. Dia sampai harus menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang merona.
"Aku sayang sama kamu tulus dari hati aku. Aku cinta sama kamu segenap jiwa dan ragaku," ungkap Arga.
Citra menatap wajah Arga dengan tatapan yang sulit diartikan. Gadis itu masih meragukan apa yang diungkapkan oleh Arga.
"Hayo lho ngelamun aja," tegur Nanda.
Arga terlonjak kaget mendengar teguran kakak lelakinya itu.
"Bikin kaget aja deh," gerutu Arga.
Nanda tersenyum mendengar gerutuan sang adik.
"Lo lagi ngelamun apaan sih?" Nanda mengulangi pertanyaannya.
Arga menghela napas panjang. Sedetik kemudian meluncurlah sebuah kisah dari mulut Arga. Kisah yang membuatnya menjadi lebih bersemangat untuk menjaga Citra. Melindungi Citra dari gangguan Dirga dan kawan-kawan.
"Citra bilang untuk saat ini dia nggak bisa menganggap gue lebih dari sahabat. Dia masih nggak bisa nerima cinta gue. Tapi dia nggak menolak saat gue bilang untuk ngizinin buat deket sama dia," pungkasnya.
"Ga." Nanda menepuk bahu sang adik dengan pelan.
"Itu udah jadi lampu hijau buat Lo. Dengan dia nggak menolak kehadiran lo di dekat dia, itu artinya dia nyaman ada di dekat lo."
"Apalagi dia mau nerima hadiah pemberian dari elo kan?" ujarnya.
Arga menganggukkan kepalanya. "Dia nggak nolak Mas saat gue ngasih cincin itu buat dia. Bahkan matanya tampak bersinar saat melihat cincin itu."
Arga mengulas senyum saat mengatakan itu pada sang kakak. Hatinya berbunga-bunga saat mengingat wajah Citra yang merona.
"Pesan gue cuman satu. Jangan pernah bikin hati cewek terluka. Karena sekali hatinya terluka, selama hidupnya akan terus mengingat luka itu."
Arga tersenyum mendengar ucapan sang kakak. Dia mengacungkan dia jempolnya pada sang kakak.
Di tempat lain, Citra dan Wiwit tampak berjalan beriringan menuju sebuah minimarket yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Tegar tak bisa mengantarkan kedua adiknya karena sedang bertugas hari ini.
Citra dan Wiwit tampak saling bercerita. Menceritakan kegiatan mereka masing-masing seharian ini. Citra juga menceritakan juga tentang Arga yang mengungkapkan perasaannya padanya. Wiwit mendengarkan cerita sang adik tanpa memotongnya.
"Terus sekarang gimana?" tanya Wiwit.
Citra mengangkat bahunya. "Enggak tahu Mbak. Tapi aku sepakat sama Arga untuk jalanin aja. Kalau memang suatu saat kita ditakdirkan untuk bersama, pasti akan jalannya."
Wiwit tersenyum mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Citra. Diam-diam dia memuji sikap dewasa sang adik. Sikap yang sampai sekarang tak ia miliki.
"Saran Mbak, sebaiknya kamu juga jangan terlalu menutup hati kamu. Jangan hanya karena luka, kamu jadi antipati sama ketulusan orang lain," ucap Wiwit.
Citra mengangguk. Senyum manis terkembang di wajah manisnya.
"Ayo Mbak." Citra menarik tangan sang kakak saat keduanya sudah sampai di minimarket.
"Iya. Tunggu bentar. Mbak mau lipat payungnya dulu," jawab Wiwit.
"Ya udah aku masuk dulu ya," kata Citra.
Tanpa menunggu jawaban Wiwit, gadis itu langsung saja membuka pintu minimarket. Saat membuka pintu minimarket, tanpa sengaja seorang pemuda terkena pintu yang di buka oleh Citra.
"Hati-hati dong," hardik pemuda itu.
Citra yang terkejut hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia mengucapkan kata maaf dengan nada lirih.
"Makanya mata tuh di pa... Citra!" serunya tertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments