Dari hari ke hari, Azwan dan Citra semakin dekat saja. Itu sudah cukup menimbulkan gosip yang membuat Anne dan Shintya merasa gerah. Mereka berdua tak suka saat sahabat baik mereka digosipkan yang bukan-bukan oleh penghuni sekolah itu.
"Duh gue gemes banget deh Shin. Mereka maunya apa sih? Padahal Citra nggak pernah sekalipun menyenggol mereka. Jangankan nyenggol, mau tahu urusan mereka aja enggak. Tapi kenapa mereka seolah pengin tahu aja urusan Citra," geram Anne.
Shintya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar omelan Anne. Gadis manis itu juga merasa heran dengan penghuni sekolah itu. Kenapa mereka seolah menjadi hakim atas apa yang dilakukan oleh Citra. Apapun yang dilakukan oleh Citra selalu salah di mata mereka. Bahkan mungkin saat Citra bernapas pun juga salah.
"Eh lihat tuh si culun?" ujar seorang gadis yang duduk di bangku di sebelah Anne dan Shintya.
"Pakai pelet apa sih dia? Sampai-sampai Azwan nempel banget sama dia?" ujarnya lagi.
"Iya ya. Cowok sekeren Azwan sampai rela keluar dari tim basket demi belain cewek kayak gitu," timpal gadis yang satu lagi.
Anne yang mendengar itu menjadi panas. Dia merasa tak terima sahabat baiknya dihina seperti itu.
"Sabar An. Sabar. Jangan kepancing emosi. Karena itu yang mereka harapkan." Shintya mencoba menenangkan Anne yang sudah terbakar emosi.
"Gue nggak bisa sabar lagi Shin. Mereka keterlaluan. Mereka nggak bisa ngejudge orang lain kayak gitu. Apalagi orang selugu Citra," sahut Anne. Wajahnya memerah karena menahan marah.
"Sabar An. Lo nggak mau kan nama Citra semakin jelek di mata mereka?" ujar Shintya.
"Kalau lo nyamperin mereka dan ngelabrak mereka sekarang. Itu sama aja lo bikin nama Citra semakin jelek di mata para pembencinya." Shintya berkata sembari menatap mata Anne dengan lekat.
Anne terdiam mendengar ucapan Shintya. Ucapan Shintya memang ada benarnya. Jika dirinya melabrak para gadis bermulut pedas itu sekarang, itu sama saja dirinya mengumpankan Citra ke sarang buaya kelaparan.
"Tapi gue ngerasa kasihan Shin sama Citra. Dia itu lugu banget. Mana pendiem lagi. Dia nggak pernah berani ngelawan mereka yang bully dia," ucap Anne. Wajahnya menunjukkan rasa kasihan dan juga rasa iba yang mendalam.
"Iya gue ngerti perasaan Lo. Tapi coba deh lo pikir. Kalau lo melabrak para pembenci itu sekarang, mereka pasti nggak akan tinggal diam. Mereka pasti bakalan semakin membenci Citra. Mereka pasti akan melakukan segala cara untuk bisa nyakitin Citra."
Anne terdiam mendengar ucapan Shintya. Dia jadi berpikir ulang untuk melakukan hal-hal yang mungkin bisa merugikan dirinya sendiri dan juga Citra.
Sementara itu, Azwan dan Citra sedang duduk berdua di gazebo di taman sekolah. Azwan menemani Citra yang menulis puisi untuk lomba.
Wajah Citra tampak sangat serius. Sampai-sampai kedua alisnya bertaut sempurna. Azwan memperhatikan wajah itu dengan senyuman yang sulit diartikan. Dia merasakan sesuatu saat melihat wajah Citra yang tampak serius itu.
"Kamu cantik juga ya Cit. Manis. Apalagi saat serius begini. Semakin terlihat kecantikan kamu," ucap Azwan dalam hati. Matanya tak lepas dari wajah gadis di depannya itu.
"Kayak gini bagus nggak Wan?" tanya Citra. Dia menyodorkan buku catatannya pada Azwan.
Azwan tak menghiraukan itu. Dia masih fokus menatap wajah Citra.
"Wan," panggil Citra.
"Azwan," panggil Citra sekali lagi.
"Eh iya. Kenapa Cit?" tanya Azwan. Suaranya sedikit bergetar karena gugup.
Citra menatap Azwan dengan heran. Sedetik kemudian dia tersenyum. Membuat Azwan semakin melayang dibuatnya.
"Ini bagus nggak?" Citra kembali mengulangi pertanyaannya sembari menyodorkan bukunya.
Azwan menerima buku itu dan membaca puisi yang baru saja dibuat oleh Citra. Azwan membaca puisi itu dengan saksama. Pemuda itu tampak mengulas senyum tipis saat membaca puisi itu. Wajahnya juga bersemu merah saat membaca puisi cinta Citra.
"Seandainya puisi ini buat gue. Gue pasti senang banget. Tapi... Ah enggak mungkin lah. Pasti puisi ini buat Dirga," ucap Azwan dalam hati.
"Gimana Wan? Bagus nggak? Apa ada yang perlu diperbaiki lagi?" tanya Citra.
"Eh... em... puisinya bagus banget. Keren. Aku aja sampai baper bacanya," jawab Azwan.
Citra mengulas senyum manisnya. Dia mengucapkan terimakasih pada pemuda itu.
"Kalau boleh tahu puisi itu buat siapa Cit?" Azwan bertanya sembari menatap Citra lekat-lekat. Dia berharap jika puisi itu adalah untuknya. Tapi sudut hatinya yang lain tak berani berharap demikian. Karena dia tahu Citra sangat menyukai Dirga. Cowok yang sudah membuatnya malu dan terhina.
Citra menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Azwan.
Citra menatap bunga-bunga yang tumbuh di taman itu. Matanya memperhatikan kupu-kupu yang terbang kesana kemari dan hinggap diantara bunga-bunga.
"Puisi itu buat seseorang yang selalu ada di hati aku. Walaupun dia nggak pernah tahu perasaan aku dan nggak pernah membalas rasa yang ada di hati aku. Aku selalu menjaga cinta itu terus tumbuh." Citra menjawab pertanyaan Azwan tanpa menatap wajah Azwan. Dia masih fokus menatap bunga-bunga yang bermekaran indah.
"Buat Dirga ya?" ujar Azwan tiba-tiba.
Citra menoleh ke arah Azwan. Dia menatap wajah pemuda itu lekat-lekat.
"Puisi itu buat Dirga kan?" ulangnya. Ada sudut yang perih saat dia mengatakan hal itu.
Citra menatap Azwan dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi sejurus kemudian, gadis itu menganggukkan kepalanya.
Azwan memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tak lagi menatap wajah Citra. Hatinya terasa sedikit sakit saat mengetahui fakta bahwa Citra masih menyimpan rasa cinta untuk Dirga.
*****
Hari telah berganti senja. Langit cerah mulai berubah menjadi jingga. Burung-burung dan juga hewan-hewan mulai kembali ke sarangnya masing-masing.
"Diminum dulu Wan," tawar Arga.
Azwan hanya tersenyum tipis untuk menjawab tawaran Arga.
"Citra emang unik Wan. Dari kecil dia selalu menyendiri. Dia lebih nyaman saat berada di tempat sepi daripada harus berkumpul di keramaian," kisah Arga.
Pemuda itu tampak menatap langit yang perlahan berubah gelap. Bintang-bintang tampak mulai menampakkan dirinya. Sang rembulan pun mulai malu-malu saat menampakkan sinarnya di langit.
"Elo tahu banyak ya tentang Citra?" ujar Azwan.
Arga tertawa mendengar ucapan Azwan. Dia menatap wajah sang sahabat dengan heran sekaligus penasaran.
"Kenapa? Elo nggak cemburu kan kalau gue tahu banyak tentang dia?" Arga bertanya dengan nada bercanda.
"Cemburu? Buat apa? Dia bukan siapa-siapa gue kan?" sahut Azwan.
Jangan-jangan elo kali Ga yang cemburu gue dekat sama Citra?" tuduh Azwan.
Wajah Arga seketika berubah. Wajahnya merona merah saat Azwan menggodanya.
"Eh enggak. Siapa yang cemburu? Gue biasa aja tuh," sahut Arga.
Azwan tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia tahu jika sang sahabat telah lama memperhatikan Citra. Tapi dia tak ada keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
"Gue tahu Ga. Elo udah lama naksir Citra. Gue tahu elo diam-diam suka perhatiin dia," ucap Azwan.
Wajah Arga memerah sempurna mendengar ucapan sahabat baiknya itu. Dia tak menyangka jika sang sahabat mengetahui sesuatu yang coba ia tutup-tutupi.
"Gue nggak munafik Ga. Gue juga suka sama Citra. Cantiknya tuh cewek beda dari yang lain. Cantiknya dia itu benar-benar alami dan datang dari dalam dirinya." Azwan mengungkapkan pujiannya sembari menatap langit malam yang bertabur bintang.
"Emang. Dia itu cantik dan manis. Enggak bosan kalau lihatin dia. Tapi yang gue nggak suka dari dia. Dia terlalu baik sama orang. Dia terlalu percaya jika suatu saat orang yang jahat atau nyakitin dia bakalan sadar." Arga membenarkan ucapan sahabatnya itu.
"Dirga b**o banget dah nolak cewek kayak Citra. Selain pintar, dia juga jago banget bikin puisi," ucap Azwan.
"Oh iya? Kok gue baru tahu ya," ujar Arga. Dia tampak terkejut mendengar ucapan. Azwan. Dia sama sekali tak mengetahui jika Citra jago menulis puisi.
"Iya. Gue yang ngasih saran buat dia supaya ikutan lomba cipta puisi. Gue juga yang mendaftarkan puisi buatan dia ke website."
"Gue yakin banget. Puisi Citra bakalan menang." Azwan berkata dengan penuh keyakinan.
"Yakin banget Lo? Emang sebagus apa sih?" tanya Arga.
Azwan menoleh ke arah sahabatnya itu. Dia menatap mata sang sahabat dengan pandangan penuh tanya.
"Sebagus apa sih puisi yang ditulis Citra? Jadi penasaran gue," ujar Arga.
"Elo baca aja entar di buku kumpulan puisi. Soalnya semua puisi peserta lomba bakalan dibukukan," sahut Azwan.
"Elo suka banget ya sama Citra Wan?" tanya Arga tiba-tiba. Pemuda itu merasa sedikit khawatir. Dia takut jika sang sahabat juga menyukai gadis yang disukainya.
Azwan tak lantas menjawab pertanyaan Arga. Pemuda itu tampak menatap langit malam yang semakin gelap. Perasaannya tak menentu. Dia tak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia merasa nyaman sekali saat berada di dekat gadis itu. Tapi di sisi lain, dia juga merasakan ketakutan. Entah apa yang membuatnya takut.
Tak hanya Azwan yang merasa bimbang. Citra pun juga merasakan hal yang sama. Dia juga merasa nyaman saat berada di dekat Azwan. Tapi dia juga tak bisa begitu saja menghapus jejak bayang-bayang Dirga dalam hatinya.
"Terus sekarang perasaan kamu ke dia gimana?" Seorang gadis bermata indah bertanya pada Citra yang tengah duduk di bangku di dekatnya.
Citra menghela napas panjang. Dia bingung harus bagaimana sekarang.
"Aku nggak tahu Mbak Wit. Aku bingung," jawab Citra.
Gadis bernama Wiwit itu menepuk pelan bahu Citra. Kemudian dia tersenyum ke arahnya.
"Apa yang membuat kamu bingung? Apa dia juga mendekati gadis lain selain kamu?"
Citra menggelengkan kepalanya perlahan.
"Lalu?" sambung Wiwit.
Lagi-lagi Citra menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
"Aku nggak tahu Mbak. Masih ngerasa takut aja kalau dekat sama cowok. Kayak nggak PD aja aku Mbak." Citra menjawab pertanyaan sang kakak dengan tatapan sendu.
"Coba deh buka hati kamu untuk yang lain. Jangan terus menerus menunggu yang tak pasti. Kamu harus bisa membuka hati kamu untuk orang lain," saran Wiwit.
"Jangan kamu pasung hati kamu untuk mencintai seseorang yang sama sekali tak mencintai kamu," imbuhnya.
Citra terdiam mendengar ucapan kakaknya itu. Dia meresapi setiap kata yang keluar dari mulut sang kakak dan mencoba memasukkannya ke dalam hati.
"Masuk yuk. Udah malam. Besok harus sekolah kan," ajak Wiwit.
Citra tersenyum ke arah sang kakak. Kemudian dia mengikuti langkah sang kakak masuk ke dalam rumahnya.
"Ingat Cit. Buka hati kamu. Jangan pasung hati kamu. Biarkan hati kamu memilih siapa yang layak ada di dalamnya," ucap Wiwit sebelum Citra masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu udah dewasa. Udah bisa memilih yang terbaik untuk hati kamu," ucapnya lagi.
"Apapun pilihan kamu. Mbak Wiwit dan Mas Tegar akan selalu dukung kamu," lanjutnya.
Citra mengucapkan banyak terimakasih pada kakaknya itu. Dia merasa bersyukur karena sang kakak mau mendengarkan semua curahan hatinya.
Sekarang yang harus dia lakukan adalah membuka kembali hatinya. Membebaskan hatinya memilih untuk siapa dia akan berlabuh. Azwan atau Arga?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Gogot Puji
Hayo lho. Citra bingung kan mau milih siapa
2023-05-01
1