Arga berdiri di balkon rumahnya. Matanya menatap ke arah langit yang bertabur bintang. Tak ada yang dilakukannya kecuali berdiam diri memandang langit malam.
Suara helaan napas sesekali terdengar. Pemuda itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya dalam hati.
"Apa aku harus diam saja melihat orang yang aku sayangi terbaring tanpa daya?"
Arga menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak memikirkan keadaan Citra, gadis yang diam-diam telah mencuri seluruh hatinya.
"Kalau sayang, ungkapin aja. Jangan di pendam terus kayak gini," ucap seseorang dari belakang.
Arga. menoleh dan mendapati Nanda tengah berjalan ke arahnya.
"Gue juga pernah ngalamin apa yang lo alami sekarang. Jadi gue paham banget gimana perasaan lo saat ini," ucapnya lagi.
"Elo harus ungkapin apa yang ada di hati lo sekarang. Jangan lo pendam aja. Gue yakin Citra mau dengerin ungkapan cinta lo," lanjutnya.
Arga terdiam mendengar ucapan sang kakak. Bukan karena dia tak punya nyali. Tapi dia sudah pernah melakukan itu. Dia sudah pernah mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Dia sudah pernah mengungkapkan isi hatinya pada Citra. Tapi Citra tak menerima ungkapan cintanya itu. Gadis itu justru memilih orang lain sebagai kekasihnya.
"Ga," panggil Nanda.
"Gue tahu elo udah lama suka sama Citra. Gue tahu elo sayang banget sama tuh cewek," kata Nanda.
"Kalau boleh jujur nih ya. Gue juga suka sama tuh cewek. Gue juga mau jadi pacarnya," katanya lagi.
Mendengar perkataan sang kakak, Arga menoleh dan menatap tajam ke arah kakaknya itu.
"Kenapa Lo?" Nanda bertanya sambil melihat ekspresi wajah Arga yang berubah.
"Elo cemburu dengar gue ngomong barusan?" ujar Nanda.
Arga tak menjawab pertanyaan itu. Dia justru memalingkan wajahnya ke arah lain. Jujur saja hatinya amat sangat cemburu. Tapi dia bisa apa? Citra bukan siapa-siapa buat dia. Citra bukan pacarnya ataupun pasangannya.
"Jangan terlalu lama memendam rasa cinta. Ungkapin aja. Walaupun nanti jawabannya buat lo sakit, seenggaknya elo udah berusaha mengungkapkan apa yang ada di hati Lo." Nanda berkata sambil menepuk pelan bahu sang adik. Setelah itu dia berjalan menjauh dari sang adik.
Arga masih dalam posisinya semula. Pemuda itu masih saja berdiam diri sambil menatap pekatnya langit malam ini.
Tak hanya Arga yang sedang menikmati langit malam. Azwan pun juga sama. Pemuda itu tampak sedang menikmati langit malam di halaman belakang rumahnya. Di tangannya terdapat sebuah buku antologi puisi.
Azwan menyunggingkan senyum saat membaca sebuah puisi karya seseorang yang amat dia kasihi. Puisi berjudul 'Merenda Luka' itu adalah karya Citra, gadis yang telah menjadi ratu dalam hatinya.
"Wan," panggil seorang wanita paruh baya.
"Eh Mama. Bikin kaget aja deh," jawab Azwan.
Wanita itu tampak tersenyum mendengar jawaban sang anak.
"Makan dulu yuk. Papa sama Anne udah nungguin di ruang makan," ajak wanita yang masih terlihat awet muda itu.
"Entar lagi deh Ma. Azwan masih kenyang," jawab Azwan.
"Kamu habis makan apa kok kenyang?" tanya wanita itu.
"Setahu Mama kamu belum makan apa-apa sejak tadi," ujar sang Mama.
"Tadi kan Azwan makan camilan Ma. Jadi ya sekarang masih kerasa kenyang." Azwan berkilah.
Wanita itu tampak menghela napas panjang mendengar ucapan sang anak.
"Ya udah. Mama ke dalam dulu ya. Nanti kalau kamu lapar, kamu minta sama bibi ya," ucap wanita itu.
Azwan menganggukkan kepalanya. Kemudian wanita itu kembali masuk ke dalam rumah meninggalkan Azwan yang masih setia dengan renungan malamnya.
*****
Citra tampak sedang bersiap untuk pulang ke rumahnya. Kemarin dokter bilang jika kondisi Citra sudah membaik. Dia sudah dinyatakan sembuh oleh Dokter Avita, dokter muda yang menanganinya.
"Duh senangnya yang mau pulang?" ujar Dokter Avita saat berkunjung ke kamar Citra.
Citra tersenyum mendengar ucapan Dokter cantik itu.
"Ingat ya anak manis. Jangan telat makan. Jangan makan yang pedes-pedes dulu. Minum soda sama kopinya dikurangin. Terus juga obatnya diminum sampai habis ya," ucap Dokter Avita memberitahu Citra.
"Iya Dok. Citra bakalan ingat pesan dokter kok," jawab Citra.
Avita tersenyum manis mendengar jawaban Citra barusan. Kemudian dia berpamitan untuk melanjutkan tugasnya lagi.
"Dokter Avita cantik ya Mas," kata Citra tiba-tiba.
Tegar menoleh ke arah sang adik. Dahinya berkerut heran mendengar ucapan Citra yang tiba-tiba.
"Cocok banget deh sama Mas Tegar," ucapnya lagi.
"Mana ada sih Dek. Mana mau dokter muda itu sama Mas," jawab Tegar.
Kali ini Citra yang menatap heran ke arah kakaknya. Dia mengerutkan keningnya dengan sempurna.
"Kenapa nggak mau sih Mas? Kan kerjaan Mas Tegar juga keren," ujar Citra.
Tegar tersenyum mendengar ucapan sang adik. Pemuda itu kemudian berjalan mendekat ke arah Citra dan mengacak rambut adiknya dengan gemas.
"Mas Tegar, kan jadi berantakan lagi rambut aku," pekik Citra.
"Maaf Dek. Habisnya kamu gemesin banget sih," sahut Tegar.
Hening menyelimuti keduanya. Tak ada yang bersuara sedikitpun. Hanya helaan napas yang sesekali terdengar dari keduanya.
"Mas Tegar kenapa masih jomblo aja sih?" tanya Citra tiba-tiba.
Tegar menoleh dan menatap wajah sangat adik dengan heran. Kenapa tiba-tiba Citra bertanya soal status jomblonya? Padahal biasanya dia tak pernah bertanya tentang itu.
"Kok nanyanya gitu sih?" Tegar balas bertanya pada Citra.
"Ya nggak apa-apa Mas. Citra cuman pengin tahu aja. Kenapa Mas Tegar nggak nyari cewek," ujarnya.
Tegar menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan sangat adik. Kemudian dia berjongkok di depan adiknya dan menggenggam erat tangan Citra. Matanya menatap wajah manis itu dengan lekat.
"Mas bukannya nggak mau nyari pacar. Bukan juga karena Mas anti sama cewek. Tapi Mas nggak mau ngasih harapan ke orang lain sementara Mas sendiri nggak yakin dengan perasaan Mas."
"Lagian Mas nggak mau nyakitin perasaan perempuan. Saat Mas jatuh cinta, Mas akan kasih seluruh hati Mas untuk perempuan itu. Mas juga akan jadiin perempuan itu sebagai perempuan pertama dan terakhir dalam hidup Mas," ucap Tegar.
Citra tertegun mendengar ucapan sang kakak. Ternyata sang kakak mempunyai alasan tersendiri untuk tak memiliki kekasih. Dalam hati Citra merasa bangga pada sang kakak. Diam-diam dia juga mendoakan sang kakak agar selalu bahagia.
Hari sudah beranjak siang. Citra dan keluarganya bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Bu Aminah dan Pak Hamzah sengaja menutup kiosnya untuk beberapa hari demi menemani sang putri di rumah sakit.
"Udah semuanya Dek?" tanya Wiwit.
"Udah Mbak." Citra menjawab dengan senyuman ramah dan hangat.
"Wah wah! Udah siap untuk pulang rupanya," tegur Dokter Avita.
Semua yang ada di ruangan itu menoleh dan tersenyum mendengar teguran Dokter Avita.
"Eh Bu Dokter." Bu Aminah menyahuti teguran itu dengan senyum terkembang di wajahnya.
Dokter Avita membalas senyuman Bu Aminah dengan senyuman juga.
"Sudah siap pulang ya?" Dokter cantik itu mengulangi pertanyaannya.
"Iya Bu Dokter. Citra udah bosan katanya. Pengin segera sekolah lagi," jawab Pak Hamzah.
Dokter Avita tersenyum mendengar jawaban Pak Hamzah. Dua lesung pipit tampak di kedua pipinya kala wanita itu tersenyum.
"Ingat semua pesan saya ya Citra. Jangan di langgar. Sibuk boleh, tapi jangan sampai lupa makan ya cantik," ucap Dokter muda itu.
"Iya Bu." Citra menjawab ucapan Dokter Avita dengan senyuman.
"Tuh dengerin apa kata dokter Dek. Jangan lupa makan," timpal Wiwit yang sejak tadi hanya diam saja.
"Iya Mbak. Aku dengerin kok," sahut Citra.
"Ya udah. Kalau begitu saya permisi dulu ya. Kalau butuh apa-apa Citra bisa hubungi saya." Dokter Avita menyodorkan sebuah kartu nama pada Citra. Gadis itu menerimanya dengan senyuman yang terkembang.
Setelah semuanya beres, Citra dan keluarganya meninggalkan rumah sakit. Mereka sekeluarga pulang menggunakan taksi online.
*****
Malam ini Avita tampak sedang menikmati makan malamnya di sebuah kafe di dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Sesekali dia tampak melihat ke arah pintu masuk. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang malam ini.
Wanita cantik itu tampak menghela napas panjang. Meredam sebuah rasa yang beberapa tahun terakhir ini sangat menyiksa batinnya.
Di saat dia merasa putus asa, sebuah tepukan halus membuatnya terlonjak kaget.
"Maaf aku telat," ucap seorang pemuda yang tak lain adalah Satria.
Avita tersenyum mendengar ucapan Satria. "Enggak apa-apa Sat. Aku juga baru datang kok," jawab Avita.
Satria tersenyum mendengar jawaban Avita. "Maaf ya aku meminta kamu untuk bertemu malam-malam begini," kata Satria.
"Enggak apa-apa Sat. Aku juga udah selesai kerja kok," jawab Avita.
"Eh mau pesan apa nih?" tawar Avita.
"Apa aja deh. Tapi kalau boleh iced cappucino aja," jawab Satria. Senyum manis terkembang di wajahnya.
Avita terpesona melihat senyuman Satria. Wanita itu sejenak lupa akan tawarannya tadi.
"Vit," panggil Satria. Tangannya menyentuh tangan wanita itu.
"Eh iya. Kenapa Sat?" tanya Avita gelagapan.
Satria mengerutkan keningnya melihat ekspresi terkejut yang ditunjukkan oleh Avita.
"Kamu kok bengong? Kenapa?" tanya Satria.
Avita menatap mata pemuda di depannya itu. Ada rasa perih yang tiba-tiba menyergap hatinya saat tersadar perhatian pemuda itu bukan lagi untuknya.
"Enggak apa-apa kok. Aku cuman kecapekan aja," jawab Avita berbohong.
"Kalau ada masalah, cerita sama aku. Aku siap dengerin curhatan kamu kok. Kita kan sahabat baik," ucap Satria.
Avita menatap Satria dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya terasa ngilu saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Satria. Ada rasa sesak yang tiba-tiba mendera dadanya.
"Aku pesankan minuman kamu dulu ya." Avita berkata sambil bangkit dari kursinya.
Satria hanya menganggukkan kepalanya saja sebagai jawaban. Avita segera melangkah menuju kasir dan memesan minuman untuk Satria.
"Tolong dianterin ke meja lima ya Mbak. Makasih," ucap Avita. Tak lupa senyum manis menghiasi wajah cantiknya.
"Baik kak. Mohon ditunggu ya," jawab si kasir.
Setelah memesan minuman untuk Satria, Avita kembali ke mejanya. Dia tersenyum saat melihat Satria masih di sana menunggunya.
"Kamu udah dengar soal dia hari ini?" tanya Avita saat dirinya duduk kembali di hadapan Satria.
"Iya. Aku lega dia udah sehat lagi."
"Tadi kenapa kamu nggak jemput dia?" tanya Avita lagi.
Satria menghela napas panjang dan menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Aku belum siap ketemu sama dia Vit. Aku belum siap menerima penolakan dari dia," jawab Satria.
"Belum dicoba kok udah pesimis duluan? Apa salahnya kamu temuin dia. Temuin aja dulu. Enggak usah ngomong apa-apa dulu. Yang penting kamu temuin dia," ucap Avita.
Satria lagi-lagi menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Avita. Dia tak tahu harus bagaimana menjawab ucapan Avita barusan.
"Sat, sebaiknya kamu jujur aja deh sama dia. Jangan sampai kamu nyesel karena belum ngomong apa-apa sama dia," saran Avita.
Satria terdiam mendengar ucapan Avita barusan. Dia ingin sekali melakukan apa yang gadis itu katakan. Tapi dia tak tahu harus bagaimana memulainya. Dia tak tahu bagaimana harus mengungkapkan itu semua pada orang yang dia cintai.
"Aku boleh jujur nggak sama kamu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Gogot Puji
hayo mau jujur soal apa?
2023-05-08
0