Bab 15

Citra tampak sedang menikmati sejuknya angin sore di beranda rumahnya. Secangkir coklat hangat tampak terhidang di atas meja.

Gadis manis itu tampak sedang menatap ke arah halaman rumahnya yang tak begitu luas. Semilir angin senja menerpa wajahnya. Menerbangkan rambutnya yang tergerai indah.

"Haruskah aku memaafkan dia?" tanyanya dalam hati.

"Haruskah aku kembali menjadi permata hatinya setelah ia menghancurkan kristal cinta yang aku berikan untuknya?"

Dia menghela napas panjang. Nampak sekali raut kecewa yang tergambar di sana. Ada segores luka memanjang dan dalam di sorot matanya.

"Maafkan aku ya Allah. Maafkan aku yang terlalu bergantung pada sesama manusia. Maafkan aku yang terlalu mempercayakan hatiku pada sesama makhluk ciptaan-Mu," ucapnya dalam hati.

Citra memejamkan matanya. Menikmati segores luka yang menyayat hatinya. Menikmati setiap perih yang tertoreh dari luka itu.

"Jangan takut. Aku selalu ada untuk kamu." Kata-kata Arga kembali terngiang di telinga Citra.

Citra membuka matanya. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumahnya. Seolah sedang mencari seseorang atau sesuatu.

"Nyari siapa Dek?" tanya Tegar pada sang adik.

"Eh Mas Tegar. Enggak kok. Enggak nyari siapa-siapa," jawab Citra tergagap.

"Masuk. Udah magrib." Tegar berkata tegas pada sang adik.

Citra mengangguk dan mengikuti langkah kakaknya masuk ke dalam rumah. Gadis itu lantas menutup pintu dan mulai melangkah masuk ke bagian dalam rumah itu.

"Udah makan?" tanya Tegar. Pemuda itu duduk di sofa yang ada di ruang TV. Melepaskan sepatu serta kaus kaki yang melekat di kakinya.

"Udah Mas. Mas Tegar udah makan?" Kini Citra balik bertanya pada sang kakak.

"Udah. Tadi sebelum pulang, Pak Hans mengundang Mas dan teman-teman untuk datang ke rumahnya." Tegar menjelaskan sambil meletakkan sepatu kerjanya di rak sepatu.

"Wiwit ke mana?" tanya Tegar saat tak melihat keberadaan Wiwit di rumah.

"Tadi sih udah pulang. Tapi terus pergi lagi. Kayaknya sih ke rumah Mas Rayhan," jawab Citra.

Tegar hanya manggut-manggut mendengar jawaban Citra. Kemudian pemuda itu masuk ke dalam kamarnya. Dia ingin mengistirahatkan badannya yang terasa lelah dan penat.

"Mandi dulu deh," ucap Tegar setelah rebahan sebentar.

Pemuda itu keluar lagi dari kamarnya. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang ada di belakang menyatu dengan dapur. Saat akan masuk ke dalam kamar mandi, tanpa sengaja dia melihat Citra yang tengah khusyuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

Tegar terpesona melihat betapa khusyuknya ibadah yang Citra jalankan. Hatinya terasa nyaman dan tenang saat melihat sang adik beribadah.

"Ya Allah, seandainya dia... ah! Astaghfirullahalazim," ucap Tegar dalam hati. Kemudian dia melanjutkan kembali langkahnya menuju kamar mandi.

Citra melipat kembali mukenah yang ia kenakan untuk salat barusan. Dia menyimpan kembali mukenah itu ke tempatnya.

"Kok Mbak Wiwit belum pulang juga ya?" pikir Citra. Hatinya terasa khawatir karena kakak perempuannya tak kunjung pulang.

"Wiwit belum pulang juga Cit?" tanya Tegar yang sudah selesai mandi.

"Eh. Belum Mas," jawab Citra kaget.

Tegar menganggukkan kepalanya dan segera berlalu dari sana.

"Apa aku telpon aja ya?" gumamnya.

Tanpa berpikir dua kali, Citra segera masuk ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Dia segera mencari kontak Wiwit dan menelponnya.

Lama Citra menunggu panggilan telepon itu dijawab oleh Wiwit. Hingga akhirnya...

"Assalamu'alaikum Dek," sapa Wiwit.

"Wa'alaikum salam Mbak. Mbak Wiwit lagi di mana? Kok belum pulang?" cecar Citra. Kedua alisnya terpaut sempurna menandakan dia merasa cemas.

"Mbak di kios. Ini lagi makan sama Bapak dan Ibu," jawab Wiwit.

Citra menarik napas lega saat mendengar jawaban Wiwit. Dia tak lagi khawatir seperti tadi.

"Alhamdulillah. Kirain Mbak Wiwit lupa jalan pulang," cibir Citra.

Wiwit mengulas senyum. Gadis manis itu tampak gemas mendengar cibiran sang adik. Walaupun hanya lewat telpon, Wiwit bisa merasakan kelegaan yang Citra rasakan.

"Ya enggak dong. Mbak tadi mau telpon kamu. Eh kamu udah telpon duluan." Wiwit menjawab dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya.

"Soalnya aku khawatir banget sama Mbak Wiwit,"

Lagi-lagi Wiwit mengulas senyum. Gadis itu bertambah cantik kala tersenyum seperti ini. Tak heran jika banyak pemuda yang ingin menjadikannya kekasih.

Setelah cukup lama berbincang dengan kakaknya di telpon. Citra mematikan ponselnya. Dia menyimpan kembali ponselnya di laci meja belajarnya.

*****

Pagi ini turun hujan begitu lebat. Sejak subuh tadi air langit seolah tercurah begitu saja ke bumi. Banyak yang mengeluh jika hujan datang di pagi hari. Namun tidak dengan Citra. Dia tetap bersyukur dengan turunnya hujan di pagi hari ini.

Citra mengulas senyum kecut. Hatinya teriris perih saat mengingat kebersamaannya dengan Azwan.

"Ah! Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang salah?" keluhnya.

"Kenapa aku harus mempercayakan hatiku pada lelaki yang sama sekali tak pernah menghargai hatiku?" lanjutnya.

Matanya menatap rerumputan yang basah itu dengan pandangan kosong. Tiba-tiba saja bayangan wajah Arga muncul dalam benaknya. Bayangan wajah pemilik senyuman manis nan tulus itu terus membayang.

Citra memejamkan matanya untuk mengusir bayangan wajah Arga. Dia berusaha untuk menepis segala pikirannya tentang Arga.

"Jangan takut. Aku akan selalu ada untuk kamu."

Lagi dan lagi. Ucapan Arga terngiang di telinganya. Citra membuka matanya dan menghela napas panjang. Dia berusaha menetralkan degup jantungnya yang tak beraturan.

"Astaghfirullahalazim," ucapnya.

Dia. mengulangi kalimat itu hingga hatinya terasa nyaman dan tenteram.

"Dek," panggil Wiwit.

Citra tersentak kaget mendengar suara Wiwit yang memanggilnya.

"Eh Mbak Wiwit. Bikin kaget aja deh," ucap Citra. Dia mengelus dadanya untuk menenangkan degup jantungnya.

"Kamu lagi ngelamun ya? Kok kaget gitu pas Mbak panggil?" ujar Wiwit.

Citra menggelengkan kepalanya. "Enggak kok. Cuman lagi menikmati hujan aja," jawab Citra berbohong.

"Beneran?" kejar Wiwit.

Citra menganggukkan kepalanya. "Udah ah aku mau mandi dulu."

Citra bangkit dari duduknya dan segera berlalu dari hadapan Wiwit. Wiwit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap aneh Citra.

Diruang tamu, Bu Aminah tampak sedang berbincang dengan sang suami. Kedua orang tua itu sedang membicarakan masalah yang amat serius.

"Pak sebaiknya kita jujur saja pada Citra." Bu Aminah memberikan saran terbaiknya pada sang suami.

Pak Hamzah tampak menghela napas panjang. Pria itu seolah berat untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang anak bungsu.

"Bukannya Ibu keberatan dia di sini. Tapi suatu saat dia harus tahu yang sebenarnya Pak." Lagi Bu Aminah mengutarakan pendapatnya.

Pak Hamzah terdiam mendengar pendapat yang disampaikan oleh sang istri. Tapi dia juga berat untuk mengatakan yang sebenarnya pada Citra. Dia tak sanggup mengatakan yang sejujurnya pada gadis kecilnya.

"Pak, coba Bapak pikirkan. Ini demi masa depan Citra juga Pak." Bu Aminah masih mencoba untuk meyakinkan Pak Hamzah agar mau mengatakan yang sebenarnya.

Pak Hamzah masih terdiam. Pria itu menatap kosong ke arah sudut ruang tamu rumahnya. Rokok di tangannya hampir habis tersapu angin.

"Selamat pagi Pak, Bu." Citra menyapa kedua orang tuanya dengan ruang seperti biasanya.

Tak seperti biasanya, Bu Aminah hanya melemparkan senyuman saat membalas sapaan hangat dari sang anak gadis. Sedangkan Pak Hamzah hanya diam di kursinya.

"Ada apa sih? Kok pada diam-diaman kayak di angkot?" ujar Citra heran. Keningnya berkerut sempurna saat melihat sikap tak biasa dari kedua orang tuanya.

"Ayo Pak ngomong," bisik Bu Aminah.

Pak Hamzah menatap istrinya lalu menatap Citra. Ada rasa tak tega dan tak rela jika anak gadisnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ayo Pak. Cepat ngomong," bisik Bu Aminah lagi.

"Citra, duduk sini Nak. Ibu sama Bapak mau ngomong sama kamu." Bu Aminah menepuk kursi di sebelahnya agar Citra duduk di sana.

"Ada apa sih? Kok kayaknya serius banget?" Citra keheranan melihat sikap kedua orang tuanya.

Pak Hamzah menghela napas panjang. Lelaki itu tampak memalingkan wajahnya seolah tak kuasa menatap wajah sang anak. Sedangkan Bu Aminah tampak mengelus lembut kepala sang anak.

"Kamu sudah besar sekarang Nak. Sudah waktunya kamu tahu semuanya," ucap Bu Aminah. Matanya berkaca-kaca saat mengatakan hal itu.

Citra mengerutkan keningnya. Dia semakin tak mengerti dengan ucapan Bu Aminah.

"Tahu soal apa Bu?" tanya Citra.

Pak Hamzah masih enggan menatap mata Citra. Ada perasaan tak tega saat harus mengatakan semuanya pada Citra. Sedangkan Bu Aminah, tampak mengusap sudut matanya yang berair.

"Ada apa sih?" tanya Citra semakin penasaran.

"Kamu sudah besar Sayang. Bapak sama Ibu sayang banget sama kamu." Bu Aminah memeluk erat sang anak. Mengecup pucuk kepala sang anak dengan sayang.

"Ibu nggak sanggup kalau harus berpisah dengan kamu Nak," lanjutnya.

Citra melepaskan pelukan sang ibu. Matanya menatap mata Bu Aminah yang meneteskan bulir-bulir bening.

"Maksud Ibu apa?" tanya Citra. Dia masih tak mengerti dengan ucapan sang ibu.

"Bapak sama Ibu sayang banget sama kamu Citra. Saking sayangnya, rasanya Bapak sama Ibu nggak akan sanggup kalau harus berpisah dengan kamu," ucap Pak Hamzah.

"Maksudnya apa sih? Citra nggak ngerti deh Pak?"

Pak Hamzah menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Citra. Lelaki itu mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.

"Sebenarnya... kami sebenarnya... Bapak sama Ibu sebenarnya...."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!