Penawaran

"Aku Ansel Elias Clive, siswa tahun kedua Akademi Helder. Salam kenal!"

"..............."

Dia mengulangi perkenalannya lagi. Sudah ketujuh kalinya dalam dua Minggu ini. Aku heran kenapa.

Oh, benar, mungkin karena aku mengabaikannya selama dua Minggu ini.

Bahkan sekarang, aku lebih memilih menarik tudung jaketku menutupi wajah dan berjalan pergi seolah tidak terjadi apa-apa. Sayangnya, pemuda berambut merah ini lebih gigih dari yang aku duga.

"Hei-hei, aku sudah memperkenalkan diri dengan benar, 'kan? Kenapa kau tidak balas memperkenalkan dirimu sendiri?"

Pada kenyataannya, tujuh kali dia memperkenalkan diri, tujuh kali dia salah dalam memperkenalkan diri. Ada banyak budaya tak tertulis di Thalia, salah satunya adalah soal perkenalan. Seseorang meletakkan tangan kanan di dada kiri, lalu membungkuk lembut sembari memperkenalkan diri dengan suara rendah. Itu adalah sopan santun di sini, aku yakin sekolah besar dan tersohor seperti Helder pasti sudah mengajarkannya, tapi aku tidak bisa melihat itu dari cara pemuda ini bersikap.

"Mau apa kau hari ini?" Tanyaku, mencoba lebih ketus. Tapi pemuda itu tampak santai seolah tengah menghadapi seorang bocah.

"Oh, ayolah, jangan seperti itu. Bukankah kita sudah akrab? Kita sudah dua minggu bersama, bukan?"

Jujur, sikapnya itu membuatku ingin memukul wajahnya sekarang. Tapi aku tahu itu percuma, karena aku pernah mencobanya sekali dan gagal. Dia punya refleks yang luar biasa. Seperti yang diharapkan dari orang sepertinya.

"Namaku saja kau tidak tahu."

"Karena kau tidak pernah memperkenalkan diri meski aku sudah melakukannya berkali-kali. Itu kasar, kau tahu?"

"Kasar itu adalah menganggap dirimu melakukan sopan santun dengan benar padahal aslinya salah besar."

Pemuda itu menarik napas panik. Kelabakan dia terlihat dari gestur tangan dan matanya yang melempar pandangan, membuatku penasaran apa dia memang tidak sadar soal itu atau sengaja berakting bodoh untuk membuatku lengah?

"Benar. Oh, lancang sekali." Dia lalu berdiri tegak. Tangan kanan ditempelkan ke dada kiri, punggung membungkuk sedikit, sorot mata langsung menatapku seperti menerawang jiwa. "Aku Ansel Elias Clive, siswa Helder tahun kedua. Salam kenal."

Oh, sial. Dia benar-benar melakukannya dengan benar. Sekarang akan menjadi kasar bagiku jika tidak membakasnya. Meletakkan tangan di dada, membungkuk, aku memperkenalkan diri.

"Theodore Radley, SMP Polaris. Salam kenal."

Dia menyeringai, menyeramkan. Tugasku untuk balas memperkenalkan diri sudah selesai, sekarang tinggal pergi dari sini secepatnya.

Tapi pemuda ini malah tetap mengikutiku seperti ekor anjing.

"Katakan apa yang kau mau."

Mata pemuda itu melebar seolah dia sudah menungguku bertanya. "Nah nah nah! Akhirnya kau penasaran! Kau lihat, aku ini siswa Helder yang sedang mencari calon berbakat, dan aku lihat kau--"

"Tidak mau." Balasku, sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku sudah tahu apa yang dia mau. Sudah dua minggu dia membuntutiku hingga aku hampir memanggil polisi. Rutinitasnya tiap hari selalu sama: menawariku masuk Helder.

"Ditolak lag!!!!" Teriaknya sembari tergelak. Aku menatap dengan mata sedikit memicing.

Dia ini sehat, benar?

"Tidakkah kau harusnya ada kelas?"

"Ambil cuti tugas. Aku anggota divisi keamanan, regu rahasia Wild Dogs. Kau akhirnya tertarik dengan itu?"

Ya, seolah itu benar. Walau benar pun cerdas sekali memberitahu keberadaan regu rahasia pada pihak luar tak terlibat, terlebih aku hanya anak SMP biasa.

"Tugas macam apa yang membuatmu bisa mengambil cuti dua minggu?"

"Sudah jelas, bukan?" jari telunjuknya merentang menunjukku. "Memberimu tawaran secara langsung!"

Yang benar saja.

"Tolong pergilah, aku akan terlambat masuk kelas."

Untungnya bus sudah terlihat. Pemuda ini memang gigih, tapi belum pernah mengikutiku hingga sekolah. Dia biasanya menyerah hingga halte bus, yang mana membuatku lebih tenang. Masuk ke dalam bus, dan aku bisa mengistirahatkan telingaku dari suaranya yang sudah seperti kicauan mengganggu selama dua Minggu kemarin.

"Kau menerima suratnya, bukan? Kartu undangan emas itu."

Langkahku terhenti tiba-tiba. Aku salah, hari ini ternyata lebih buruk.

"Undangan apa yang kau maksud?" tanyaku sambil berbalik.

"Undangan yang sama yang membuat kantung matamu menebal akhir-akhir ini."

Dia bahkan memperhatikannya, huh?

"Kalau dapat pun memang kenapa?"

"Artinya Helder juga mengakuimu."

"Untungnya bagiku?"

"Kau diakui Helder."

Ini tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku abaikan lagi.

"Bukan urusanmu. Undangan itu cuma sekadar undangan, tidak ada kewajiban untukku menerimanya."

"Sangat disayangkan." nada bicara pemuda itu berubah. Seperti menyesali sesuatu. "Jangan khawatir, aku akan ada di sana kalau kau berubah pikiran!"

Dia masih gigih ternyata. Aku tidak menjawabnya. Maksudku ingin, sebenarnya. Aku masih berusaha menjadi anak baik yang tahu sopan-santun, tapi aku sudah memberikan jawaban yang sama untuk tawarannya itu selama dua Minggu ini. Justru aneh bagiku melihatnya tetap gigih memberi tawaran seperti sales yang sedang mengejar target penjualan, padahal dia cuma siswa biasa.

Ah, sudahlah. Tak perlu dipikirkan lebih jauh. Segera aku melangkah masuk bus, duduk di kursi paling belakang, lalu bersandar nyaman merasakan ketenangan hingga gerbang sekolah.

Sedikit aku merasa menyesal menolongnya dua Minggu lalu. Aku tahu tiap kali berbuat, pasti akan ada akibat. Ayah panti kami sudah menjelaskan itu berulang kali. Ketika aku mengambil langkah untuk menolong seorang pemuda yang dikepung preman dua Minggu lalu, aku kira aku bisa lewat setelahnya begitu saja seperti biasa, tapi pemuda itu lebih menyebalkan dari yang aku duga. Terlebih, dia dari Helder.

Akademi Helder berdiri di Leanzea, salah satu kota terbesar di Republik Thalia. Tidak ada siapa pun di negeri ini yang tidak tahu sekolah itu. Sekolah paling tersohor, paling modern, paling berkualitas di seantero Thalia. Ujian masuknya saja mengeliminasi 90% peserta, dengan satu kursi diperebutkan sekitar lima ratus orang. Anak-anak di kelasku saja selalu membicarakan Helder begitu memulai percakapan soal SMA lanjutan.

Itulah kenapa, sewaktu aku pertama kali menolak tawaran si rambut merah itu, ekspresi di wajahnya benar-benar sesuai harapan. Dia terkejut, tergemap, bertanya ulang soal jawabanku sampai empat kali hingga dia sadar kalau aku ini anak yang aneh.

Aku tidak berusaha menyangkal. Sejatinya aku sendiri mengakui kalau aku ini "aneh". Aku seorang receiver, punya gift «Reflector» yang bisa memantulkan energi serangan apa pun yang bisa aku sentuh, tapi aku adalah satu-satunya yang tidak mengisi "Helder" sebagai sekolah lanjutan harapan. Aku ingat guru-guru sampai menanyaiku tentang itu. Pasalnya, aku sering memenangkan lomba matematika dan pemrograman junior. Itu caraku mendapatkan uang, sebenarnya, tapi guru-guru menganggap aku tengah mengumpulkan prestasi untuk masuk ke Helder. Aku tidak menyalahkan mereka untuk mengambil dugaan cepat, aku menjelaskan semuanya hingga mereka mengerti.

"Tapi apa perlu sampai sebatu itu?"

Dia-yang-bertanya adalah seorang gadis dengan rambut keunguan sebahu, duduk di hadapanku sambil meminum boba di gelas besar. Dia adalah Lee, saudara sepanti yang lebih tua tiga bulan. Paling galak di panti.

"Para guru juga sampai heran, sampai memintaku untuk membujuknya perlahan."

Dia-yang-melanjutkan adalah seorang pemuda. Duduk di depan, di samping Lee. Dia juga saudara sepanti, lebih tua sebulan dariku. Dia Val, karateka terbaik di Polaris. Tubuhnya besar mencolok, dengan rambut hitam legam mengilap. Sikap sok kerennya terlihat jelas dari dirinya yang membuka buku literatur lama di kantin padat seperti sekarang.

"Oh, kau juga diminta begitu?" tanya si gadis, melirik pada pemuda di sebelahnya.

"Orang-orang yang mengenal Theo, semuanya dimintai tugas yang sama."

"Dan kalian langsung tahu kalau itu tidak berguna, benar?" sahutku sambil memakan pangsit yang sengaja aku simpan untuk akhir-akhir.

Lee melekatkan pandangannya padaku, memicingkan mata, berkata dengan sedikit memanyunkan bibirnya. "Kau pikir kenapa kami menyebutmu batu, ha?"

"Aku menyebutnya gigih." Jawabku singkat, membuatnya semakin kesal.

"Sudahlah, Lee," Val menutup bukunya, menenangkan Lee yang mulai tak sabar. "Bahkan guru saja menyerah membujuknya."

"Aku belum."

Jawaban yang benar-benar Lee.

"Kau tidak tahu? Theo bahkan mendapat surat undangan Helder."

Oi, Val.

"Kenapa kau--"

"Kenapa aku bisa tahu?" Val memotong, menatapku tajam. "Kita tidur di kamar yang sama, Theo. Aku tahu kau menyembunyikan amplop besar di bawah kasur. Amplop abu-abu dengan stiker perak. Kenapa kau pikir aku tidak tahu?"

Tidak, aku tahu sejak kalau dia sudah mengetahuinya. Val ini bukan cuma otak otot, dia ini pintar. Dia pasti tahu aku menerima surat undangan Helder untuk ujian masuk. Aku hanya tidak menyangka dia akan membahasnya di sini, ketika Lee ada di satu meja yang sama.

Lihat saja sekarang. Seperti singa betina, Lee melotot padaku yang langsung melempar pandangan ke arah lain.

"Theeooo, bisa kau jelaskan tentang itu???"

Sial, Val. Aku balas kau nanti.

"Bukan berarti aku ingin menyembunyikannya, aku hanya bingung harus menjelaskan dari mana." Aku menarik napas, mencoba mengurutkan segala hal yang harus aku jelaskan. "Sebelum meninggal, ibu... ibu kandungku berpesan agar aku menjaga Lizzy. Aku berjanji akan aku jaga Lizzy, setidaknya sampai dia mandiri. Lizzy sekarang adalah satu-satunya keluarga kandungku yang tersisa, dan keinginanku hanya agar dia bisa hidup bahagia. Itu saja. Aku takut Lizzy akan sendirian kalau aku pergi ke Helder."

Aku tidak bohong. Lizzy memang satu-satunya keluargaku yang tersisa setelah ibu meninggalkan kami. Dia adik kandungku, terpaut empat tahun. Dia sering sakit-sakitan. Kata dokter, tubuhnya lebih lemah dari tubuh anak-anak biasa, karena itu aku khawatir. Helder adalah akademi dengan asrama, artinya aku harus tinggal di sana, meninggalkan Lizzy yang sekolah di sini.

"Kau tahu kalau Lizzy memiliki kami, 'kan?" ujar Lee menanggapi. Aku tahu dia akan berkata begitu.

"Aku tahu. Sejak awal aku tahu itu. Semua anak di panti adalah saudara, tapi masalah ini berbeda. Janjiku pada ibu adalah menjaga Lizzy, aku tidak mau ingkar janji dengan meninggalkannya."

Lee--yang sejak tadi tampak tidak sabaran, kini duduk kembali dengan mulut tertutup. Bagus, penjelasanku berarti sudah cukup untuknya.

"Soal itu sih, aku juga tidak bisa berkata banyak." Kata Lee, terdengar kecewa.

Masalah sekarang adalah Val.

"Apa benar hanya itu?" Tanya Val. "Apa kau yakin tidak ada alasan lain?"

Sial, Val. Kenapa kau harus sebegitunya tajam?

"Theoo, kau masih menyembunyikan sesuatu?"

Dan sekarang Lee juga mulai penasaran. Sekarang aku tidak punya pilihan selain menjelaskan.

"Benar. Ada satu lagi alasan utama. Tapi aku tidak bisa menjelaskannya dulu, ini akan menjadi cerita yang panjang."

"Cerita saja! Aku tidak memiliki urusan setelah ini!" Suruh Lee, kembali tidak sabaran, tapi sayangnya, atau untung bagiku karena aku yang punya urusan.

"Tidak, coba lihat ini." Aku memperlihatkan catatan di ponselku pada mereka. "Aku ada jadwal kerja dua jam lagi. Mungkin aku akan kembali nanti sore."

Setelah melihatnya, Lee langsung dengan jelas memperlihatkan wajah penuh kekecewaan. Dia memang yang paling ekspresif di antara kami bertiga, saudara-saudara tertua di panti.

"Ya sudah, kapan kau akan cerita?" Tanya Lee.

"Kapan-kapan saja. Lagi pula ceritaku ini bukanlah cerita yang menarik. Ayah kita memintaku berbicara nanti sore, jadi aku rasa itu sudah cukup."

"Ayah mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti yang kami katakan." Sela Val. Ya, aku setuju. Ayah kami mungkin akan memintaku untuk menitipkan Lizzy saja padanya, sementara aku pergi ke Helder. Tapi mungkin aku bisa menjelaskan alasan utamaku.

"Mungkin.... tapi aku harap ayah kita akan paham."

...* * * * *...

Terpopuler

Comments

百里金

百里金

lanjut

2023-06-06

0

百里金

百里金

seruu

2023-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!