Mataku sedikit terbelalak ketika melihat seseorang yang menunggu di atas tangga, seorang anak berambut cokelat muda seperti ibunya, dengan wajah yang masih kemerahan gara-gara demam. Aku sudah menduga Lee, Val, atau yang lain akan datang, tapi aku tidak menyangka Lizzy yang pertama menyambutku di lantai atas.
"Lizzy!"
Val juga ada di sana, di belakang anak-anak yang lain. Wajahnya tampak kebingungan. Dia mungkin tak dapat melihat jelas di kegelapan. Itu bagus, dia belum boleh tahu apa yang telah terjadi di bawah.
"Theo, apa yang........ bahumu!"
"Diam! Pelankan suaramu, cepat masuk kembali ke kamar!!"
Aku mengangkat Lizzy sendiri, menahan rasa sakit yang berdenyut di paha, punggung, lengan, dan dadaku. Persetan dengan itu semua, untung aku masih bisa bergerak. Jangan dulu berpikir tentang rasa sakit sampai semuanya selesai. Aku suruh semuanya kembali ke kamar. Lee tengah menenangkan anak-anak yang lebih muda di sana, tapi wajahnya tampak begitu khawatir, terlebih saat melihat tubuhku yang berlumuran darah.
"Theo, kau berdarah!" Dia gelisah berdiri, bergegas mencari kotak pertolongan pertama, tapi aku menghadangnya keluar dari kamar.
"Semuanya aman, aku hanya tergores sedikit. Cepat angkat kaki kalian, kita pergi dari sini lewat jalan belakang."
Semua orang menatapku heran dan kebingungan. Tentu saja, aku menjelaskannya terburu-buru. Mereka tidak akan paham, bahkan Val yang biasanya peka saja sekarang memasang wajah resah.
"Theo, apa yang kau katakan? Kenapa listrik mati? Lebih lagi, suara apa tadi? Apa di bawah ada masalah?" tanya Val berusaha tenang.
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Benar, ada masalah, karena itu kita harus cepat pergi dari sini, segera!"
"Tunggu, ayah di mana?" Dan Lee bertanya tentang itu. Dia memang peduli pada yang lain, tapi sial, aku sempat berharap tidak akan ada yang membahas itu sekarang.
Aku tidak bisa menjawabnya. Aku bisa saja berbohong dengan berkata kalau ayah sudah duluan keluar, tapi mereka pasti tidak akan percaya. Mustahil ayah pergi duluan tanpa membawa anak-anaknya. Meski kami hanya anak angkat, tapi dia menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Val paling tahu tentang itu, karena itu berbohong tidak ada gunanya sekarang.
"Cepat berdiri, ikuti aku, kita pergi dari sini sekarang!"
"Hei... Theo, ayah di mana? Bukankah tadi kau bersamanya?" Val mulai bertanya. Khawatir dan gelisah, terutama setelah melihat tubuhku yang penuh luka ini.
"Val, cepat suruh Lee untuk membawa semuanya ke ruang belajar. Kita kabur lewat sana."
"THEO!!!!" Val menarik bajuku kuat. Aku tidak bisa menatap matanya. "Ayah....... tidak apa-apa 'kan?"
Ini sakit, sialan. Apa kau tidak melihat bahuku yang mengucurkan darah?
"Val, tolong tutup mulutmu sebentar dan ikut aku. Akan aku jelaskan semuanya di luar."
"OMONG KOSONG!!!!"
Dengan tenaga yang besar, Val mendorongku agar menyingkir dari hadapannya hingga aku terpental dan menghantam tembok. Sial, harusnya aku memperhitungkan untuk membius dia dari tadi.
"THEO!!"
"Kakak!!"
Lee dan Lizzy sontak menghampiriku. Keresahan mereka terukir jelas di wajah. Tidak beruntung, tubuhku mulai lemas. Ujung-ujung jariku dingin seperti hampir membeku. Lee membuka pakaian tebalku. Seketika dia terperangah saat melihat lubang menganga hasil tembakan pistol mengucurkan begitu banyak darah.
"Aku cari ayah sendiri!" tegas Val sambil berjalan keluar kamar.
"Tidak, Val.... bahaya!"
Sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk menghentikannya, tapi Lee berusaha menahanku agar beristirahat.
"Jangan bergerak!! Lukamu ini....... Marc, panggil ambulans!"
"A...... ah, iya!"
"Kakak! Kakak!!"
"Kak Theo, bertahanlah, Kak Theo!!"
"THEO!!!!!!!"
Suara semua orang saling berbenturan di kepalaku. Hanya sedikit yang bisa aku dengar, terlebih telingaku berdenging. Val berjalan ke luar, dekat dengan pintu. Tidak, jika dia membukanya, kita akan ketahuan.
Aku menghalau tangan Lee yang berusaha menahanku untuk beristirahat. Tidak ada cara lain. Aku buat pingsan saja orang keras kepala ini.
Namun, sebelum Val menyentuh gagang pintu, pintu terbuka. Seorang pria jangkung dengan mata dingin mendorong pintu itu dari luar. Dia benar-benar tinggi dan tampak besar karena mengenakan jaket tebal dan jas hujan. Dia mungkin orang tadi menunggu di luar. Aku terlambat, kelompok penyerang lain sudah masuk ke mari. Mataku cepat bergulir ke tangan kanannya. Itu bukan pistol kecil seperti orang-orang sebelumnya, itu revolver besar! Mereka tidak berniat sembunyi lagi.
Kami terdiam, terpaku dalam keterkejutan. Bahkan Val saja diam mematung sesaat. Orang itu mengangkat senjatanya, Val masih tak bereaksi. Tentu saja, ini pertama kali baginya menghadapi musuh yang begitu nyata. Dia menjadi target yang empuk, orang bertubuh besar yang tidak dapat bergerak. Dia akan ditembak di kepala dan mati seketika.
Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak boleh ada yang membuat keluargaku terluka selama aku masih ada di sana.
"VAL!!!!!!!!"
Pistol menyalak, begitu keras hingga memekakkan telinga, bergema memecah gelegar guntur dan ribut hujan badai di luar. Semburan api dari moncong pistol membuat ruangan terang sekejap, kemudian ditelan lagi kegelapan seraya menyebarkan bau mesiu yang begitu kuat. Telingaku berdenging, mataku sukar menangkap bayangan apa pun. Semuanya buram, tapi sekilas aku bisa melihat wajah saudara-saudaraku di sana. Wajah yang penuh kerisauan. Ah, Lizzy hampir menangis. Aku harus menyekanya. Dia ini memang agak sensitif, tapi aku yakin dia akan menjadi gadis yang kuat nanti.
Val menghampiriku pertama. Jelas, dia ada di sebelahku. Dia tidak terlihat kenapa-napa. Aku bersyukur. Aku berhasil menyelamatkannya. Val memang keras kepala, tapi dia orang baik. Dia adalah saudaraku, karena itu aku tidak mau melihat dia tersungkur dengan lubang di dahinya.
Jariku dingin, tanganku dingin, kakiku dingin. Rasanya seluruh panas tubuhku mengalir keluar bersama dengan darah dari dadaku. Aku gagal. Maaf, ayah, aku gagal menyelamatkan mereka. Aku malah tersungkur di sini, tak bisa apa-apa. Aku gagal meyakinkan Val dan yang lain.
Rasa perih menyengat ini tidak hilang, malah terasa berdenyut tiap kali aku menarik napas. Rasanya di sini semakin dingin, tapi di saat yang sama terasa panas menyengat di dada kananku. Tembakan tadi tidak meleset. Aku mendorong Val yang berada dalam jangkauan tembak, membuat aku sendiri yang tertembak di dada kanan, tepat menembus paru-paru. Aku tidak bisa bernapas, kenyataannya aku tidak bisa bergerak walau hanya seujung jari. Rasanya kehidupanku semakin menipis, rasanya kehidupanku sudah tinggal di ujung tenggorokan.
Ketika aku merasa kalau hidupku sudah tamat, aku merasakan cahaya hangat menyelimutiku, begitu hangat hingga membuatku melupakan seluruh rasa sakit di tubuhku. Ah, rasanya aku juga bisa bernapas tenang, rasanya kehidupan kembali mengisi tubuh fanaku lagi. Rasanya seperti berbaring di padang rumput di awal musim semi.
Begitu tenang. Apa aku sudah mati? Bagaimana dengan Lizzy? Bagaimana dengan Val, Lee, Marc, Michelle, Ariane, Ruby? Bagaimana dengan saudara-saudaraku?
Samar-samar, aku mendengar suara yang lembut dan hangat.
Theo........
Siapa kau?
Theo, sadarlah!
Suaranya begitu lembut seperti berbisik langsung ke telingaku. Tiap kali aku mendengarnya, tubuhku terasa hangat.
Lizzy membutuhkanmu, Thalia membutuhkanmu. Kamu belum boleh pergi. Kami membutuhkanmu.
Siapa kau berkata begitu?
Kau adalah harapan kami, jiwa yang begitu membara seperti pendahulumu.
Pendahulu? Apa yang kau maksud? Ibuku? Ayahku? Apa??
Berjuanglah, Theo. Kami akan selalu mendukungmu. Kamu adalah harapan kami sejak dulu. Selamatkan Thalia, jangan seperti kami. Jadilah pahlawan dunia ini.
Aku tanya siapa kau?? Apa yang kau maksud dari tadi???
Cahaya hangat menyembur tubuhku layaknya bunga-bunga musim gugur. Aku tenggelam, tapi tidak merasa sesak. Malah rasanya begitu damai, seperti berada di dalam selimut di minggu pagi yang cerah. Perlahan cahaya itu lenyap, kehangatan itu lenyap. Tubuhku dingin, aku tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap, telingaku berdenging.
Aku..... bisa mendengar suara lagi.
Orang-orang terdengar begitu panik. Saling berteriak, bersahutan satu sama lain. Satu suara terdengar berat...... Val. Suara lain terdengar lebih nyaring, tapi penuh kekhawatiran, itu pasti Lee. Suara lainnya tidak jelas, itu suara yang tidak pernah aku dengar. Perlahan aku membuka mata, melihat sosok gadis yang tidak pernah aku lihat, tampak khawatir sambil menekankan kedua tangannya ke dadaku.
"Syukurlah, ini berhasil!"
Dia tampak lega, tapi dia belum melepaskan tangannya dariku. Di belakangnya adalah Lizzy yang tengah terisak, di sebelahnya adalah Lee yang juga menangis. Di sisi yang lain ada Val yang tak kalah terlihat khawatir.
Rasa sakit di dadaku berkurang meski belum hilang, tapi ini terasa mendingan. Aku bisa bernapas lagi meski masih sulit. Rasa sakit di tangan dan kakiku hilang, tapi di bahu masih terasa. Apa yang terjadi?
"Hampir sekali, ya."
Suara itu terdengar di atas kepalaku. Aku mendongak, melihat wajah pemuda yang begitu familier. Wajah yang menyebalkan, tapi aku lega dia akhirnya datang.
"An.... sel?"
...* * * * * ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
百里金
semangat Thor👍👍
2023-06-06
0