Theo's PoV
"Nah, sampai jumpa lagi, Nak Radley."
"Ya.........."
Hanya jawaban lesu yang bisa aku berikan saat dokter keluar ruangan. Jelas saja, dua hari berada di rumah sakit, tanpa melihat dunia luar. Rasanya seluruh energiku habis tanpa sempat diisi ulang oleh apapun.
Aku merebahkan punggungku di atas kasur yang—sebetulnya tidak terlalu empuk. Standar rumah sakit, mungkin sedikit di atasnya karena ini rumah sakit besar. Biasanya aku menyilangkan lenganku untuk menjadi sandaran kepala, tapi dengan kedua tangan yang diperban seperti ini, agak sulit untuk membuat sandaran. Karena itu, aku melipat bantal.
Luka-luka di tanganku ini kebanyakan bukan karena serangan dari luar, ini adalah recoil dari kekuatanku sendiri. Reflector memang bisa memantulkan energi serangan yang dapat aku sentuh, tapi ada efek sampingnya. Ketika memantulkan serangan, aku menerima sekitar seperempat energi serang sebagai recoil. Dengan kata lain, jika waktu itu serangan api yang aku pantulkan memiliki suhu seribu derajat celsius, tanganku menerima sekitar 250°C panas recoil. Hasilnya.... yah, aku tidak mau melihat tanganku sebelum benar-benar sembuh.
Langit-langit putih di atas tampak begitu tenang dan damai, mengesampingkan fakta kalau itu adalah langit-langit rumah sakit. Ini bukanlah pemandangan yang aneh. Aku banyak bertengkar di sekolah, tentu saja dengan para berandalan atau preman yang mulai memancingku duluan. Memang tidak tiap hari, tapi aku cukup familier dengan tipe ruang kesehatan seperti ini. Bau obat yang menyengat, ranjang besi dengan kasur standar, lemari kecil di sebelah ranjang, gorden semi transparan, jendela yang langsung menghadap halaman luar, kemudian AC yang terpasang tepat di atas ranjang. Sekolah ku sekarang, SMP Polaris, memiliki ruang UKS yang mirip seperti ini, dan aku merupakan pengunjung langganan.
"Haaaa..........."
Aku menghela napas panjang sebelum membetulkan bantal, lalu berbaring menyamping ke arah jendela. Sial, bantal ini terlalu empuk. Aku terbiasa tidur dengan bantal yang agak padat di panti, jadi tidur di bantal yang seperti ini malah terasa seperti tidak menggunakan bantal sama sekali. Lebih lagi, rambutku ternyata sudah terlalu panjang. Rasanya menggelitik ketika aku berbaring. Angin semilir di luar juga mulai dingin, apa karena akan turun hujan lagi?
"...................."
Pada akhirnya aku terdiam, berbaring kembali menatap langit-langit putih. Kesal, frustrasi, jengkel, kecewa, aku mengutuk diriku sendiri. Dari sejak awal aku bangun dari ranjang padat ini, aku tidak bisa menghilangkan sesuatu yang mengganjal di dadaku. Pada akhirnya, aku kembali bangun, duduk membungkuk dengan bahu yang terasa begitu berat. Menoleh ke arah jendela, bisa aku lihat awan hitam yang mulai bergumul lagi di cakrawala. Ah, akan ada hujan lagi, sama seperti dua hari yang lalu. Jalanan sudah mulai sepi, padahal ini masih siang. Musim hujan benar-benar menyebalkan, huh?
Tanganku meraih bantal di belakang, lalu meletakkannya di pangkuan. Putih, bersih, dan memang terlalu empuk. Aku menatap tiap kerutan di bantal, terdiam tanpa suara. Perlahan pundakku turun, membenamkan wajahku ke dalam kelembutan.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Bantal ini empuk, itu bagus. Suara teriakanku tidak akan terdengar dari luar. Aku lepaskan semua yang mengganjal, semua yang membuatku kesal, semua kekecewaanku, tapi aku tak bisa berhenti untuk mengutuk diriku sendiri. Aku tarik kepalaku, kemudian meninju bantal itu berkali-kali. Ini sakit, tangan kananku sakit. Sebelum dibawa ke rumah sakit, aku masih bisa melihat kulit yang melepuh hingga tampak daging di bawahnya. Ini adalah efek samping yang aku bicarakan. Rasa perihnya baru terasa beberapa waktu kemudian, tapi ini tak dapat mengalihkan perhatianku dari rasa sesak di dada yang acap kali kualami.
Aku bodoh, lemah, tidak bisa apa-apa. Ketika aku menatap langit-langit putih di atas, mataku melihat lagi pemandangan itu. Masih terbayang jelas olehku waktu itu, ketika aku membalikkan gorden ruang tamu, ketika hidungku mencium bau mesiu pekat, ketika telingaku mendengar ledakan, ketika mataku melihat wajah terakhir ayah.
Mungkin ini rasa bersalah, atau mungkin bentuk dari trauma. Yang jelas, ketika aku mengalaminya, aku selalu bangun dengan tangan terikat, dengan wajah yang penuh luka lebam. Dokter tidak mau membahas, tapi aku tahu aku telah menghajar diriku sendiri.
"Sial, sial, sial, sial, SIAL!!!!!!!!!!!"
Aku lemparkan bantal ke pintu masuk tanpa sadar. Aku mengharapkan adanya suara gebrakan atau kaca yang pecah, tapi tidak terdengar apa pun. Aku menoleh, melihat dua orang yang baru masuk kamarku.
"Val....... Lee........"
Val menangkap bantal yang aku lempar. Tentu saja dia bisa, dia ini ahli bela diri, tidak sepertiku yang cuma bisa bertengkar. Andai dia yang ada di sana waktu itu, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
"Kau tampak berantakan." Kata Val sembari berjalan mendekat.
Apa maksudnya berantakan? Rambutku? Tentu saja rambutku berantakan. Dua hari aku diam di sini, Hanya keluar untuk buang air. Untungnya akhir-akhir ini agak dingin sehingga aku tidak terlalu berkeringat, tapi rambutku jelas berminyak dan bergelombang.
Apa yang aku bicarakan?
Aku tahu apa yang dimaksud Val. Aku memang tengah kacau. Biasanya aku menahan diri agar tidak terlihat buruk dari luar, tapi jelas Val dan Lee datang di waktu yang salah. Mereka melihat wajahku, yang mana aku sendiri tidak tahu sedang memperlihatkan ekspresi apa.
Aku kembali duduk, bersandar pada tembok di belakang. Napas aku tarik dalam-dalam, lalu dikeluarkan perlahan. Ketika merasa sudah tenang, selanjutnya tinggal tersenyum saja.
"Hei, rasanya sudah lama, ya?"
"..... Cukup lama......" Val menjawab singkat, tapi Lee memelototiku dengan penuh kekesalan.
"Hentikan seringaimu itu. Tidak lucu. Apa gunanya memaksa seperti itu?"
Lee duduk di kursi kecil samping laci. Matanya tajam menatapku, tapi aku bisa melihat bengkak kemerahan di kantung matanya. Dia berusaha menyembunyikan itu dengan make up, tapi dia tidak pernah bagus dalam menggunakan make up. Dia mungkin menangis semalaman. Banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat.
Senyumanku perlahan pudar. Lee benar, ini tidak ada gunanya. Mereka tahu bagaimana wajahku sekarang, aku juga tahu apa yang ada di hati mereka sekarang. Kami ini saudara meski tidak sedarah, kami tahu isi pikiran masing-masing.
"Setidaknya ikutilah alurnya. Susah tahu membuat wajah begitu."
"Kenapa kau melakukannya kalau tahu itu susah?"
"...... Kebiasaan."
"Jangan dibiasakan."
Selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, seperti biasa. Sejujurnya aku senang melihat Lee yang tidak berubah. Detik pertama aku memihat wajah Val, aku langsung mengerti kalau sesuatu telah berubah darinya. Matanya lebih sayu, wajahnya muram, cara berdirinya lebih bungkuk seperti orang tua. Kami tidak bertemu dua hari, dokter tidak memperbolehkan adanya kunjungan, karena itu aku merasa seperti sudah lama tidak bertemu mereka.
"Harap maklum saja, Theo. Dua hari tidak bertemu membuat Lee merindukanmu, kau tahu?" Celetuk Val di belakang, membuat Lee langsung menoleh dengan matanya yang seolah dapat membunuh orang dalam sekali lihat.
"Woi...."
Langkah yang bagus, Val.
"Eeh, begitukah? Tentu saja dia merasa aneh tidak membangunkanku di pagi hari, bukan?"
Tatapan Lee kini bergulir padaku. "Jika ada yang berubah, maka tenggorokanku yang lebih baik di pagi hari, kau tahu?"
"Tidak perlu malu. Aku tahu kau menunggu depan pagar sekolah, padahal Theo ada di sini." Val melanjutkan.
"Ka-karena kau yang lama!!!"
"Tunggu, apa jangan-jangan belajarmu juga terganggu karena aku? Maaf ya!"
"AAAARGGHH ITU TIDAK BENAR!!!!!!!!!"
Lee mengacak-acak rambutnya sendiri, frustrasi. Hahah, rasanya menyegarkan juga menjahili saudara sendiri seperti ini. Senang melihat kami bisa tertawa lagi.
"Hei, ini rumah sakit!" Val menegur Lee setelah puas tertawa.
"Salahmu."
"Kau berteriak di depan orang sakit, kau tahu?"
"Salahmu!"
"....... Hei—"
"Sa-lah-mu!!!"
Gawat, dia merajuk. Tidak, maksudku jarang sekali aku melihatnya seperti ini. Daripada mamukul berkali-kali seperti anak kecil yang malu-malu, dia sekarang tampak lebih kekanak-kanakan lagi dengan memasang muka cemberut di depan kami.
Baiklah, mungkin sudah cukup pembukaannya. Aku menghela napas sebagai akhir canda tawa, lalu menatap Val serius.
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
百里金
semangat
2023-06-06
0