Seseorang yang Menjenguk

Dokter ekstrovert itu datang lagi hari ini bersama suster yang.... aku tidak bisa bilang dia galak, tapi sorot matanya benar-benar tajam hingga membuatku merinding. Mereka melakukan serangkaian tes padaku seperti memeriksa mata, tenggorokan, refleks kaki, dan yang lainnya. Aku rasa aku sudah baik-baik saja, tapi mari kita berharap dokter juga berpikiran sama.

"Mari kita lihat, sudah berapa lama kamu di sini?" Tanya dokter, yang mana aku rasa itu adalah pertanyaan bodoh karena dia pasti tahu jawabannya.

"Sekitar seminggu... Mungkin enam hari."

Mata dokter itu melebar. Dia mengangguk sembari menulis sesuatu pada laporan ku. "Hebat. Apa semua receiver memang seperti ini?"

"...... Anda juga receiver, dok."

Tangan dokter itu berhenti menulis sesaat. Suster di sebelah menatapnya, aku menatapnya, suasana canggung langsung saja membuat dokter tertawa rikuh.

"AHA-AHAHAHA!!! Benar juga, saya sempat lupa hahahah!"

Dokter ini memang agak aneh, tapi aku mengerti. Pekerjaannya tidak cocok dengan gift yang dia punya. Terkadang ada yang seperti itu. Aku sendiri mungkin akan lupa kalau aku adalah receiver jika aku tidak menghabiskan hampir setiap sore untuk beradu tinju dengan preman sekitar. Tidak ada hubungannya «Reflector» dengan pelerjaanku sebagai programmer.

Dokter ini bercerita banyak setiap kali dia melakukan pemeriksaan. Boleh dibilang, jika dokter ini memilih untuk menjadi tentara ketimbang dokter, dia akan menjadi prajurit yang berbahaya. Dia adalah receiver dengan gift tipe penguatan diri bernama «Lavaskin». Sederhananya, dia bisa melapisi kulitnya dengan lahar panaas. Kemampuan yang cukup mengerikan, tapi tidak berguna di bidang pengobatan. Meski begitu, aku tetap salut padanya yang tetap mengikuti apa yang dia inginkan dari pada apa yang "harusnya" dia lakukan.

"Tekanan darahmu normal, jumlah eritrosit normal, demam kemarin juga sudah turun. Terlebih, saya masih tidak percaya melihat luka bakar di lenganmu ternyata sudah hampir menutup sempurna. Pertama kali melihatnya, dan tanganku langsung terasa gatal."

Tentu saja, itu juga yang aku rasakan tiap kali aku melihat tangan kananku ketika penggantian perban. Kulit-kulitnya melepuh, mengembung, dagingnya terlihat merah dari luar. Lebih mengerikan lagi ketika melihat ketika luka ini baru menutup. Rasanya ingin aku garuk, tapi itu hanya akan memperparah luka.

"Apa ini akan membekas, dok?" Tanyaku.

"Jelas akan terlihat berbeda dari tangan kirimu. Meski begitu, mungkin dalam satu atau dua minggu akan terlihat kalau luka itu seperti tidak pernah ada."

"Begitu. Terima kasih, dok."

"Terima kasih kembali." Dokter itu tersenyum lebar dengan damai. Suster di sebelah membereskan peralatan tes sebelum berjalan ke luar duluan. Dokter juga sudah melangkah, tapi dia kembali berbalik padaku ketika sudah di depan pintu. "Oh, melihat tingkat kesembuhanmu sekarang, rasanya sudah tidak masalah untukmu berjalan-jalan ke luar. Pergantian suasana itu baik, bukan? Selain itu, mungkin ada seseorang yang menunggumu di taman."

Seseorang?

"Siapa?"

Senyuman dokter itu tidak hilang, tapi aku rasa ada yang berubah. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia membuka pintu, lalu berpamitan sebelum pergi. "Sampai jumpa, Nak Radley."

Pintu kamar ditutup rapat, meninggalkanku lagi sendirian. Kata-kata dokter itu menancap di benakku. Dia jelas ingin aku sadar kalau ada seseorang yang menungguku di luar, tapi siapa? Jika itu Val atau Lee, tidak perlu berbelit-belit untuk memintaku menemui mereka.

Aku menoleh ke arah jendela, melihat taman di luar. Cuaca cerah, matahari masih setengah menuju puncak. Banyak orang berjalan-jalan di halaman depan, tapi tidak sepadat itu juga. Kemarin malam hujan lagi, jadi aku rasa suhu udara sekarang cukup dingin untuk sebagian orang.

Mataku melirik sekitar. Orang tua, remaja, anak-anak, pasien yang mengenakan kursi roda, pasien yang bisa berjalan sendiri bersama keluarga, aku bisa melihat orang-orang berkumpul di luar. Ini hari Minggu, tentu saja. Orang-orang akan berdatangan menjenguk keluarga atau teman-teman mereka di sini. Mataku kemudian bergulir lagi ke ujung taman. Seseorang dengan jaket merah duduk di bangku panjang. Dia melambaikan tangan begitu menyadari aku yang menatapnya.

Seseorang yang menungguku.... Haha, tentu saja itu adalah dia. Sekarang semuanya masuk akal.

Aku mengenakan mantel yang menggantung di sebelah pintu, lalu berjalan ke luar. Beberapa pasien tengah berjalan di lorong, menyapaku dengan ramah. Tentu aku membalas mereka dengan senyuman. Aku menuruni tangga dengan cepat, menyapa beberapa suster yang sempat merawatku kemarin-kemarin, menyapa satpam di pintu depan, lalu berjalan melintasi taman menuju seseorang itu.

"Tadinya aku sempat berpikir kalau Val atau Lee sengaja bermain teka-teki denganku, tapi aku tahu mereka punya lebih banyak rasa malu untuk melakukannya. Lalu aku melihatmu di sini." Saat aku berdiri di hadapannya, orang itu menarik tudung yang menutup rambut merahnya. Dia menyeringai lebar, sama seperti biasanya. Tapi kali ini, aku juga tak bisa menahan seringaiku.

"Sudah lama ya, Theo."

"Senang berjumpa lagi, Ansel."

Ansel menggeser sedikit tubuhnya, mempersilahkanku duduk di samping. Tentu aku menerima tawarannya, aku tahu kami berdua punya topik penting untuk dibicarakan.

"Bagaimana kondisimu sekarang?" Tanya Ansel membuka kata.

"Tidak terlalu buruk. Luka-lukanya sudah sembuh, tinggal bekasnya." Jawabku sambil memperlihatkan lengan kanan yang masih dibalut perban. "Dari pada itu, aku tidak mengira kau sendiri yang akan datang, di masa seperti ini. Padahal baru seminggu berlalu setelah kejadian itu."

"Ada informasi yang mengatakan kalau kau punya tingkat penyembuhan mengerikan. Aku cukup lega, kau tahu? Seminggu ke belakang aku sempat kepikiran kalau persentase kesembuhanmu itu hampir nol persen."

Dia tidak ragu untuk mengatakan kalau dia punya informan, huh? Bukan berarti aku terkejut juga. Informan itu sendiri tidak ragu menyatakan kalau dia ini bertindak di bawah seseorang yang penting, tapi sebenarnya aku sempat mengira kalau dia ini semacam agen rahasia kepolisian atau pemerintah.

"Jadi, siapa dokter itu?"

"Anggota divisi keamanan. Dia bukan bagian Wild Dogs, tentu saja. Tapi dia ini termasuk orang penting dalam divisi. Kalau kau menjadi anggota divisi keamanan, nanti kau akan bertemu lagi dengannya."

"Mata-mata rahasia, he? Apa membuat dia secara tidak langsung membeberkan identitasnya padaku juga rencanamu?"

"Biarpun dia tidak melakukannya, aku yakin kau pasti sudah punya dugaan kalau dia bukan dokter biasa. Aku hanya jaga-jaga agar kau tidak menganggapnya musuh. Meski begitu, bukankah dia cukup ahli dalam pekerjaannya? Dia menyampaikan petunjuk soal siapa dia sebenarnya, tapi pada saat yang sama juga membatasi pengetahuan yang bisa kau tahu duga."

Sekarang aku ingat. Dokter ekstrovert itu bercerita banyak tentang dirinya. Sebagian adalah petunjuk, sebagian lagi hanya basa-basi. Dia bercerita kalau dia ini adalah receiver, lalu mencampurkan topiknya dengan koki bintang tiga Michelin yang ternyata juga receiver spesialis serang. Dia bercerita kalau dia ini dokter baru, lalu dilanjutkan dengan kondisi sebagian besar rumah sakit di Thalia yang masih kurang sempurna. Terakhir, yang paling membuatku yakin soal dirinya yang merupakan mata-mata, dia ikut berbelasungkawa atas kejadian terorisme yang membuatku terluka, padahal insiden itu ditutupi dengan keterangan ledakan gas. Dia adalah mata-mata, jelas, tapi tidak memberitahukan padaku berasal dari pihak mana.

"Aku puji dia soal itu. Selama ini aku sempat mengira kalau dia anggota mata-mata kepolisian atau pemerintah."

"Hahahah... boleh juga, kau tidak menganggap dia musuh sejak awal?" Tanya Ansel sambil terkekeh.

Bukan berarti aku tidak mengira dokter itu musuh. Pada faktanya, saat aku pertama menyadari kalau dokter itu mata-mata, aku sempat waspada dengannya, tapi aku langsung sadar kalau kemungkinan itu kecil setelah lebih banyak berbincang dan memperoleh informasi. Dia ini mata-mata, tapi untuk pihak sekutu, meski aku juga tidak tahu apakah pihak itu masih bisa disebut kawan atau netral.

"Aku tidak punya nilai yang begitu besar untuk dibiarkan hidup. Jika penyelundup itu dari pihak musuh, harusnya aku sudah mati sejak hari pertama."

Aku yakin jawaban itu sudah cukup logis, tapi setelah mendengarnya, Ansel memperlihatkan senyum tipis seolah tidak puas. "Tentu saja seperti itu. Dari sejumlah informasi yang kau tahu, pasti kau akan sampai pada kesimpulan kalau musuh yang datang hanya bertujuan untuk membunuhmu saja."

"Maksudnya?"

"Lupakan." Ansel menarik napas, menyandarkan punggungnya ke bangku ketika mengalihkan topik. "Betul juga, mata-mata pemerintah, ya? Jika dia ini dari satuan militer atau pemerintah, itu masuk akal, tapi kepolisian tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Kau juga pasti sadar mereka siapa, bukan? Orang-orang yang menyerangmu waktu itu."

Aku terdiam sejenak ketika untaian ingatan tentang kejadian itu kembali bergulir di dalam kepalaku dalam waktu sepersekian detik. Semuanya jelas, tidak ada yang buram kecuali ketika aku ditembak. Suara bel pintu, sekelompok orang di luar, suara tembakan yang tersamarkan petir, sosok ayah yang tertembak, tiga orang yang mengejarku ke rumah, aku melemparkan pisau, dan kemudian mereka berbicara dengan bahasa yang tidak aku pahami, tapi aku tahu bahasa apa itu.

"Mereka pasukan militan Ulkafa, benar?"

Dengan suara yang tak kalah dingin, Ansel menjawab singkat.

"Tepat."

...* * * * *...

Terpopuler

Comments

百里金

百里金

let's goooo

2023-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!