"Lalu, bagaimana dua hari ke belakang?" Aku membuka kata. Val tidak langsung menjawab. Dia memalingkan pandangan sejenak, kemudian dengan senyum datarnya mencoba berbicara.
"Yah... kau tahu, keadaan tidak sebaik itu, tapi tidak seburuk yang diduga juga."
Tentu saja dia akan bilang begitu. Pada intinya, semuanya buruk.
"Bagaimana yang lain? Lizzy?"
"Orang-orang itu berkata mereka lebih baik dibawa dulu ke penitipan khusus. Marc, Michelle, Ariane, Ruby, Lizzy, mereka masih anak-anak. Takutnya kejadian itu berpengaruh besar pada mereka. Mereka sedang mendapat terapi pasca-tragedi sekarang."
"Syukurlah..... lalu, panti?"
"Polisi datang setelah kita pergi. Selalu terlambat, seperti di film-film." Kata Lee menjawab spontan. Val lalu melanjutkan.
"Aku dan Lee ditanyai banyak hal kemarin, tapi aku sendiri tak tahu banyak. Mungkin akan ada yang datang padamu lain waktu. Para penyerang itu sudah diamankan. Enam dari mereka tewas di tempat, empat lagi tidak selamat di penjara."
Aku tidak terlalu terkejut mendengar itu. Mengerikan memang, tapi ini sesuai dengan yang aku duga. Mereka harus mati untuk menutup jejak. Sewaktu mendengar mereka berbicara, aku langsung tahu kalau mereka bukanlah kriminal biasa.
"Lalu orang-orang Helder itu?"
"Hanya Kuro Fuyuki yang memberi keterangan. Aku belum melihat mereka lagi sejak saat itu."
Sudah jelas kalau mereka bukan orang-orang biasa. Apa yang Helder pikirkan untuk membentuk regu rahasia dari sekumpulan siswanya? Mereka berurusan dengan orang-orang berbahaya, yang mana bisa saja mengancam nyawa mereka setiap saat. Apakah mereka memang benar memiliki izin?
"Apa Ansel berbicara padamu soal aku?"
"Tidak banyak."
"Itu tentang Helder, bukan?"
"Tidak, itu tentang gift yang kau punya. Dia penasaran apakah gift-mu benar-benar pemantul. Kau sembuh terlalu cepat waktu itu, hingga sulit untuk membuat orang percaya."
Tidak diduga. Tapi masuk akal. Aku sendiri heran kenapa waktu itu aku bisa bertahan. Jika dipikir secara logis, harusnya aku mati seketika. Terlebih, suara yang aku dengar waktu itu.... apa memang hanya mimpi?
"Aku pikir itu soal Helder........." Aku mendongak tinggi. Menatap langit-langit. Putih, tenang. Perlahan pandanganku gelap lagi. Pemandangan itu terbayang lagi. Sudah cukup, aku sudah lelah. Lebih baik aku selesaikan saja semuanya sekarang. "Bagaimana dengan kalian sendiri?"
Mereka agak terkejut, lalu memalingkan pandangan. Mungkin aku menyinggung topik yang seharusnya dibiarkan saja berlalu. Tapi suasana ke depannya akan sangat canggung jika aku tidak berbicara. Maaf, tapi ini juga karena aku tidak mau merasa ada yang mengganjal lagi.
"Yah, banyak hal terjadi. Aku baru masuk hari ini, itu pun banyak ditanyai orang-orang." Balas Val tanpa menatapku sama sekali.
"Kalau aku dari kemarin, sama saja ditanyai." Lee sedikit curi-curi pandang. Dia memang punya kebiasaan untuk menatap langsung orang lain ketika berbicara, tapi kali ini dia tidak mau menatapku.
"Kuat juga kau, Lee. Untuk bisa ke sekolah kemarin. Padahal waktu itu kau yang paling panik."
Aku sebetulnya mencoba untuk sedikit meringankan suasana dengan berceletuk sedikit. Lee biasanya langsung mencondongkan dada ketika dipuji, dan aku sebetulnya berharap kali ini pun akan sama. Namun, dia malah terlihat semakin gugup.
"Itu........."
Bukan berarti aku tidak paham dengan sikap mereka. Mereka tidak berusaha menatap mataku, mereka tampak gelisah dan gugup, jari-jemari mereka tidak diam, kerutan di dahi mereka pun jelas melukiskan apa yang mereka rasakan. Aku paham, karena aku juga memiliki perasaan yang sama.
"...... Hanya untuk memastikan. Ayah......."
Mereka tiba-tiba menarik napas, lalu terdiam. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Gerimis membuat udara sedikit dingin. Taman sepi, jalanan sepi, langit gelap, tapi tidak ada petir kali ini. Hening, terasa menusuk. Maaf, aku minta maaf karena menghancurkan suasana, tapi aku ingin lepas dari belenggu ini. Hujan semakin deras, aku mendengar jawaban.
"Ayah...... dipastikan meninggal."
Mengejutkan juga ternyata Val yang menjawab. Padahal aku kira dialah yang akan menjadi paling sulit berbicara tentang ini.
"Luka tembak langsung ke jantung. Dokter bilang dari sejak awal memang tidak ada kesempatan untuk selamat." Lee melanjutkan dengan nada bicara yang begitu rendah, begitu serak. Dia menahan tangis, atau mungkin memang sudah menangis. Aku tidak melihat wajahnya, aku terlalu pengecut untuk itu. Mataku tidak lepas dari pemandangan kota yang diguyur hujan.
"Kenapa...... semua ini terjadi?"
Aku bergumam tanpa sadar. Mereka mungkin mendengarnya, tapi aku tidak peduli. Seluruh tubuhku berat, aku ingin berbaring sebentar. Tapi merebahkan tubuhku sekarang rasanya hanya akan membawaku lari lebih jauh.
"Theo........" Lee nampaknya ingin meenyemangatiku, tapi dia tahu kalau menyemangati dirinya sendiri saja sulit. Dia pergi ke sekolah kemarin bukan karena sudah bisa bangkit, itu karena dia berharap bisa melupakan sejenak apa yang terjadi sebelumnya.
"Apa ayah sudah dimakamkan?"
"Di Mareille, bersebelahan dengan istrinya."
"Kalian semua ada di sana?"
Val tampaknya agak ragu untuk menjawab. Suaranya melemah seolah dia tidak mau berbicara sedikit pun.
"Michelle dan Ariane tidak ikut. Kata dokter, mereka terkena trauma yang dalam."
Aku mengepalkan tanganku tanpa sadar.
"Aku...... bahkan tidak datang waktu pemakamannya."
Mereka berdua terdiam. Apa yang harus aku perbuat? Memang begitulah kenyataannya. Aku selalu bilang pada preman-preman yang mengganggu panti untuk jangan pernah mereka macam-macam dengan keluargaku. Aku memiliki reputasi buruk, yang mana bagus agar para berandalan jadi segan untuk macam-macam dengan Lee maupun Val di sekolah. Aku selalu berkata kalau akulah yang akan melindungi keluargaku sekarang, tapi apa kenyataannya? Ayah meninggal di depan mataku, Ariane dan Michelle terkena trauma yang mana boleh jadi memengaruhi psikologi mereka di masa depan, Marc, Ruby, dan Lizzy juga mungkin saja mengalami hal serupa, mereka hanya lebih hebat dalam menyembunyikannya. Val kehilangan sosok yang dapat dia sebut ayah, Lee kehilangan keluarga yang selama ini dia inginkan.
Aku sendiri, orang yang selalu bersikap seperti anjing hitam penjaga, hanya bisa berbaring dengan rasa bersalah dan trauma di sini ketika ayah dimakamkan. Ketika Val dan Lee bisa berusaha untuk tegar, aku malah semakin tenggelam dalam penyesalan. Aku tahu itu. Pada kenyataannya, aku lebih lemah dari mereka berdua.
"Maaf........"
Suaraku begitu serak. Aku tidak melihatnya, tapi bisa aku duga bagaimana ekspresi mereka di belakang.
"Theo... dengar, kejadian itu mendadak. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Itu adalah takdir. Apa yang terjadi bukankah salah siapa pun kecuali para penyerang itu. Kau tidak perlu merasa bersalah, tidak ada yang menyalahkanmu."
Ah, Val mengatakannya. Aku kira justru Lee yang akan berkata begitu.
"Tidak....."
"Eh?"
Dia benar, aku belum mendengar satu pun suara nyata yang menyalahkanku atas apa yang terjadi. Tapi dia juga salah.
"Ada satu. Seseorang yang menyalahkanku atas apa yang terjadi."
Val tampaknya paham, tapi Lee selalu mengedepankan emosi. Lee mencengkeram bahuku penuh amarah, lalu menatapku yang memalingkan pandangan dengan mata seperti banteng yang marah.
"Siapa? Siapa yang menyalahkan—"
Val menepuk pundak Lee pelan, membuatnya lebih tenang. Lee melepaskan cengkeramannya dari bahuku, lalu mundur perlahan tanpa berkata apapun lagi. Dia juga mungkin sudah menangkap apa yang aku maksudkan, tapi Val menegaskannya lagi padaku.
"Hanya ada dirimu, benar?"
Aku mengangguk pelan. "...... Ya."
".... Kenapa?"
"Apa kau perlu bertanya kenapa?"
"Itu bukan salahmu."
"Aku tidak bisa melindungi ayah."
"Tidak ada yang tahu itu akan terjadi."
"Aku gagal menyalamatkan kalian waktu itu."
"Kau melindungiku dari tembakan, kau menyelamatkanku."
"Jika Ansel tidak datang, aku tidak tahu apa yang terjadi."
"Kau melindungi kami hingga mereka datang, itu luar biasa."
"Dan bahkan dengan semua itu, aku tetap tidak bisa melakukan lebih. Pada akhirnya, Michelle dan Ariane tetap terkena trauma, pada akhirnya aku tetap tidak bisa datang ke pemakaman ayah, pada akhirnya—"
Seketika pipiku terasa perih ketika tamparan tiba-tiba melayang cepat. Kata-kataku terpotong. Aku tidak melihatnya, mungkin karena sejak tadi aku menunduk. Rasa sakit ini seolah membuat pandanganku terasa lebih jernih. Mataku perlahan bergulir, memandang Lee yang masih mengangkat tangannya dengan wajah penuh amarah.
"Lee?"
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
百里金
sedih juga ya😥😥, semangat theo
2023-06-06
0