"Hei, Theo, kamu sering pulang sore akhir-akhir ini, apa ada sesuatu masalah?"
"Lomba lagi, aku berlatih sampai sore untuk bulan depan."
"Oh, begitukah? Kalau begitu latihanlah yang serius, jangan setengah-setengah kalau sudah terpikat."
Itu tanggal 24 November tahun lalu. Aku bohong. Aku mengambil jam kerja tambahan untuk mendapat sedikit bayaran lebih. Aku rasa ayah kami sudah tahu tentang itu di kemudian hari, tapi dia belum pernah membahasnya denganku.
"Theo, ayo makan, kamu belum makan dari tadi siang, 'kan?"
"Aku makan bento murah di sekolah tadi, lagi pula aku jarang merasa lapar kalau sedang kerja."
"Tetap saja. Kau akan sakit kalau dibiasakan begitu. Ayo makan, ayah sudah menyiapkan kare."
Dua belas Februari tahun lalu. Waktu itu keuangan kami sedang turun. Aku memang sengaja tidak makan agar bisa memberi tambahan nutrisi pada Lizzy. Tapi ayah kami memang punya insting tajam. Dia mungkin tahu tentang aku yang memaksa tidak makan, jadi dia sengaja memasak untuk membuatku merasa tidak enak jika menolaknya.
"Theo! Luka itu.... kau bertengkar lagi!?"
"....... Jatuh dari tangga." Jawabku sembari memalingkan pandangan.
Itu dua tahun yang lalu, saat aku baru masuk SMP. Beberapa berandalan sekolah memeras seorang siswa. Kesal melihatnya, aku mencoba membela anak itu, tapi malah dipanggil sepulang sekolah ke tempat kumpul mereka. Mereka duluan yang mulai melayangkan pukulan, jadi aku hajar mereka semua. Beruntung kejadian itu terjadi sepulang sekolah dan di luar lingkungan sekolah juga, jadi tidak ada laporan resmi ke sekolah.
Jika aku ingat-ingat lagi, aku banyak berbohong pada Pak tua itu. Pak tua baik hati yang mengulurkan tangannya pada anak berandalan sepertiku. Padahal sejak awal aku sudah meminta agar cukup jaga Lizzy saja, karena aku tidak yakin bisa merawatnya sendirian. Tapi dia menerimaku, mereka menerimaku. Val, Ruby, Marc, Michelle, Ariane, dan Lee. Meski kami tidak mengenal satu sama lain pada awalnya, tidak sedarah, tidak juga berasal dari satu daerah yang sama, tapi mereka menerima aku dan Lizzy sebagai saudara mereka. Meski aku sering bangun terlambat, pulang terlambat, sering menyelinap keluar saat malam, sering menyembunyikan berbagai hal, sulit bercerita tentang apa pun, mereka tetap memahami itu. Dan itu semua tak akan terjadi jika aku tidak menemui Pak tua Jirca, ayah yang menyatukan kami menjadi saudara, sebuah keluarga.
Tapi sekarang, apa yang aku lihat di depan mata membuat dadaku benar-benar sesak tiba-tiba. Ayah kami ambruk. Matanya perlahan menutup. Aku bisa lihat bibirnya bergerak pelan menggumamkan sesuatu, tapi telingaku tak dapat mendengarnya, hanya dengung saja yang dapat aku dengar.
Moncong itu diangkat lagi, diarahkan padaku. Jari orang itu menarik pelatuknya. Di saat-saat terakhir, aku merasakan dorongan kuat yang menyadarkanku kembali. Mataku langsung fokus pada moncong pistol. Di saat seperti ini, tidak banyak yang bisa aku lakukan, kecuali......
"Ghk!!"
Tanganku cepat meraih gorden yang memisahkan ruang tamu dengan lorong kecil menuju ruang keluarga. Aku tarik gorden itu untuk menghalangi pandangan mereka, tapi pistol keburu menyalak lagi. Sengatan panas seperti disengat tawon besar aku rasakan di lengan dan belikatku. Tidak ada waktu untuk melihat luka ini. Segera aku berlari masuk ke dalam panti. Ada breaker di ujung lorong. Tanganku langsung menurunkan seluruh tuas ketika melewatinya. Ini hanya insting, aku tidak tahu apakah ini menguntungkan atau tidak.
Orang-orang itu berlari mengejar. Tiga kali tembakan mereka lepaskan lagi. Dua meleset, satunya menggores punggungku. Semoga hanya tergores. Aku berbelok di ujung koridor, mengarah ke lantai atas, tapi orang-orang itu cepat mengejar dan melepaskan tembakan lagi. Ku urungkan niatku untuk langsung pergi ke lantai atas dan malah berlari lurus menuju ruang makan. Aku ambil lompatan sebelum meluncur ke bawah meja makan, kemudian bangkit dan membalikkan meja itu sebagai tempat berlindung. Mereka menembak berkali-kali, tapi beruntung meja ini cukup tebal untuk ditembus peluru.
Aku raih sebilah pisau yang kebetulan jatuh di sampingku. Tunggu saat yang tepat. Amunisi mereka tidak tak terbatas, pasti ada saat di mana mereka harus mengisi ulang peluru. Saat itulah aku akan bergerak.
Dua belas..... tiga belas..... empat belas....... lima belas........ enam belas........
Tembakan berhenti sejenak. Kesempatan yang bagus. Aku tarik napas, menahannya kuat-kuat, lalu berlari ke pinggir. Mataku melirik arah mereka setelah bergerak. Pistol sudah kembali terisi, tapi mereka belum membidik. Sempurna, tinggal alihkan perhatian sedikit.
Pisau aku lemparkan ke penyerang terdepan. Aku tidak tahu apakah itu akan kena atau tidak, aku tidak pernah mencoba melempar pisau sebelumnya, tapi setelah mendengar salah seorang di antara mereka mengerang kesakitan sembari menembak membabi buta, aku tahu pisauku tepat mengenai target. Penyerang yang lain langsung menekan pelatuk, tapi bidikan mereka berkurang drastis di kegelapan ini. Ide bagus mematikan breaker, diriku.
Di tengah hujan peluru yang memburuku, aku bergegas menuju dapur. Mereka menggunakan peredam, membuat semburan api dari mulut pistol mereka tidaklah besar. Itu menguntungkan kedua belah pihak; mereka tidak akan memancing perhatian sekitar oleh suara keras tembakan, aku juga masih aman di kegelapan secara cahaya dari ledakan senjata mereka telah berkurang. Namun, tembakan pistol bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh, karena itu aku mengambil jalur aman yang tertutup beberapa perabot agar meminimalisir persentase terkena tembakan.
Tembakan mereka kembali terhenti. Isi ulang terkadang menyebalkan, ya? Kesempatan datang lagi padaku.
Apa yang aku incar adalah benda yang ada di samping kulkas, sebuah tabung merah alat pemadam api ringan sebagai bentuk kewaspadaan ayah pada insiden kebakaran. Cara ini agak berisiko, tapi aku tidak punya pilihan.
Pin penahan tuas pemadam api dicabut, lalu dengan cepat aku berlari mengitari tangga. Pistol mereka kembali menyemburkan api. Tunggu sejenak, tenang. Biarkan mereka panik dan kebingungan. Biasanya aku membenci tubuhku yang bahkan lebih kecil dari Lee, tapi untuk kali ini saja, aku berterima kasih. Mereka sulit melihat wujudku yang bergerak lincah di dalam kegelapan.
Baru sekitar empat tembakan, mereka berhenti menyerang. Salah seorang di belakang mereka memberikan senter untuk tiga orang pemegang senjata di depan. Heh, jadi sejak tadi mereka tidak membawanya? Aku cukup kecewa dengan kemampuan orang-orang ini dalam memperkirakan banyak hal dalam penyerangan di malam hari. Meski begitu, ini keberuntunganku. Trik kejutan ini akan lebih berguna jika mereka bisa melihat di ruang pandang terbatas.
Aku bergerak perlahan mendekati mereka. Fokus mereka tertuju ke arah dapur. Terima kasih untuk ayah yang suka memasak, dapur luas itu jadi punya banyak tempat yang dapat dicurigai sebagai tempat sembunyi. Terima kasih juga untuk kebodohan mereka yang tidak berpencar mencariku di seluruh ruangan dan malah berkumpul di satu tempat.
Tanganku meraih sebuah sendok yang tergeletak agak jauh dari meja makan. Dengan hati-hati aku melempar sendok itu ke seberang, membuat mereka menoleh terkejut. Mereka semua mendekati sendok itu, dasar bodoh.
Jantungku tak dapat berhenti berdetak kencang ketika aku mengendap-endap mendekati mereka dari belakang. Kemarahan, kesedihan, kekecewaan, perasaan-perasaan yang aku tidak tahu kalau aku akan merasakannya lagi.
"Hei........"
Aku berkata dengan suara dalam dan serak. Mereka menoleh terkejut, mereka semua. Tubuh mereka belum sepenuhnya berbalik, senjata mereka tidak siap menembak. Mereka mungkin amatir, atau setidaknya belum memiliki pengalaman perang yang cukup. Tapi itu tidak penting sekarang. Mereka menembak ayah, mereka adalah ancaman untuk panti, untuk Lizzy. Jika aku tidak melakukan ini, Lizzy akan berada dalam bahaya. Meski cara ini berisiko tinggi, aku harus melakukannya.
Tangan kananku dengan kuat menekan tuas pemadam api itu penuh. Abu kimia dari dalam tabung menyembur keluar menciptakan kabut putih berat yang menyerbu mereka semua layaknya salju. Mereka semua berteriak, terkejut dan panik. Pistol mereka menembak ke segala arah, dua tembakan mengenai paha dan lenganku, tapi sisanya meleset. Aku pernah baca ini di satu buku dulu, katanya pemadam api cukup berbahaya jika disemprotkan langsung pada manusia. Pertama, jika mengenai kulit, bubuk kimia di dalamnya akan memberikan efek radang dingin pada korban. Untuk mata, akan memberikan iritasi sehingga mereka tidak bisa melihat untuk sesaat, dan jika terisap, ada kemungkinan untuk mengganggu tenggorokan hingga membuat mereka merasa sesak. Bagus sekali. Benar-benar senjata dadakan yang efektif. Hei, ayah, pemadam api yang kau siapkan ternyata tidak hanya berfungsi untuk keadaan darurat kebakaran saja.
Setelah ambruk sambil mengerang karena iritasi mata dan sesak, itu sudah cukup bagiku. Aku tidak menyerang untuk membunuh, hanya agar mereka terlumpuhkan. Sekejap aku menatap mereka dengan penuh hasrat membunuh, tapi tidak aku lakukan. Aku urungkan saja untuk nanti. Prioritas sekarang adalah menyelamatkan Lizzy dan yang lain. Musuh bukanlah bandit biasa. Aku tidak paham bahasa mereka, tapi aku tahu bahasa mana itu. Itu adalah bahasa yang tidak pernah aku duga akan didengar telingaku lagi setelah sekian tahun berlalu.
Lekas aku berlari menaiki tangga, menuju kamar adik-adikku. Ini sakit, seluruh luka di tubuhku tiba-tiba terasa sakit. Kenapa tidak dari tadi? Kenapa harus sekarang? Mataku juga mulai berkunang-kunang. Sial, mungkin salah satu tembakan tadi mengenai pembuluh darah besar. Aku harus cepat mengevakuasi mereka sebelum kehilangan kesadaran.
"Kakak?"
......* * * * *......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments