Suara itu bergema memecah bisingnya suara hujan deras yang menghantam atap panti. Situasi memburuk. Ansel sontak berlari tanpa memedulikan lagi bergerak diam-diam.
"ROLFE, SEGERA PERINTAHKAN V MASUK DARI PINTU BELAKANG!!!!!!!!!!!!!"
"AKU TAHU!!!!!!!!!!"
Sementara Rolfe menghubungi temannya melalui radio, Ansel mengepalkan tangan kuat. Angin di sekitar tinjunya bergetar, membuat air hujan yang mendekat langsung terpecah. Pintu depan terbuka, si penjaga mungkin penasaran dengan suara ribut di luar. Senjatanya bertipe shotgun, langsung diarahkan ke depan. Begitu melihat Ansel, refleks pelatuk ditekan, suara ledakan keras tak terhindarkan. Tapi tak sedikit pun pemuda berambut merah itu berusaha menghindar. Dia decakkan lidah, distorsi ruang terjadi seperti riak yang membuat lontaran peluru shotgun itu terpentalkan ke segala arah. Si penjaga terkejut, jarinya berusaha lagi menekan pelatuk, tapi Ansel bergerak lebih cepat.
"HEAAAAAAAA!!!!!!!!"
Tinju Ansel diarahkan ke perut si penjaga, tepat di pusarnya. Pria malang itu langsung terpental hingga menghancurkan pintu depan dan menghantam tembok beton tebal ruang tamu sampai retak. Orang itu tersungkur tak sadarkan diri. Mungkin tulang-tulangnya hancur, mungkin organ dalamnya kacau, mungkin perlu lebih dari enam bulam perawatan hingga sembuh total. Ansel tak mau memikirkan sedikit pun tentang itu.
Dia melirik sekilas jasad yang terkapar tergenang darah dari luka tembak di dada. Jasad orang tua, mungkin pemilik panti. Dalam waktu sepersekian detik, Ansel bisa langsung membayangkan bagaimana para ekstremis itu masuk. Sejenak dia berharap kalau orang mari yang dimaksud Felice hanya orang tua itu, tetapi begitu melihat gorden yang berlubang dan gosong, ketenangannya semakin hilang.
Kedua kakinya cepat bergerak menyusuri koridor pendek yang gelap, menuju ruang tengah. Listrik yang mati ditambah badai malam hari di luar membuat panti itu terasa seperti rumah hantu. Gelap dan dingin, ditambah perabotan yang berantakan di tengah ruangan besar. Tanpa berhenti bergerak, Ansel berdecak sekali lagi, menyebarkan gelombang ultrasonik yang tidak dapat didengar manusia ke seluruh ruangan. Energi itu memantul, kemudian diterima lagi olehnya. Dalam sekejap, Ansel bisa mengetahui seluk-beluk ruangan, termasuk barang-barang yang tergeletak hingga seukuran selongsong peluru di dekat dapur. Itu adalah salah satu teknik gift yang dia buat juga, radar tiga dimensi.
Dengan lincah dia berlari melompati meja makan yang penuh akan bekas peluru. Ada tiga orang yang sudah terlumpuhkan di dekat dapur, tapi masih sadar. Ansel tidak menghiraukannya, lagipula sejauh ini dia bergerak tanpa suara. Mereka tidak akan sadar kalau ada orang lain masuk panti. Dia berlari menaiki tangga. Matanya bergulir ke samping ketika dia sudah dekat lantai atas. Meski gelap, tapi dia bisa tahu apa saja yang ada di lantai atas. Seorang pria bertubuh besar menggenggam revolver besar, mungkin bertipe S&W Magnum. Itu menjelaskan suara keras tadi. Sudah ada yang tertembak, tapi belum diketahui apakah ada yang mati lagi atau tidak.
"HEI!!!!!!!!!!!!!"
Seruan Ansel membuat pria itu berbalik dengan palu pistol yang sudah terangkat. Sejenak Ansel bersyukur karena itu berarti pria itu benar-benar siap menembak seorang lagi jika dia tidak mengalihkan perhatiannya. Dia rentangkan tangan kirinya ke depan. Distorsi membuat lengannya tampak sedikit bergelombang. Jari-jemarinya bersiap untuk melakukan jentikan.
Pria besar itu menekan pelatuk. Palu revolver turun menghantam primer peluru. Ledakan mesiu menciptakan semburan api yang menyinari koridor sesaat, bersamaan dengan bunyi letupan kuat yang menggema memecah hujan. Proyektil peluru kaliber besar melesat memotong udara, lurus menuju dahi pemuda yang tengah bersiap dengan serangannya.
"Unleash, 5%."
Distorsi pada jari-jemari Ansel berputar, kemudian menghilang sesaat sebelum dia menjentikkan jarinya. Gaung jentikan itu seketika bergema memenuhi bangunan, mengalahkan suara ledakan pistol. Ruang sempit di hadapan Ansel terdistorsi, berputar layaknya terisap sesuatu. Pusaran itu membentuk bola hitam kecil yang menciptakan lengkungan pada ruang sekitar. Tak lama, bola itu menghilang, digantikan dengan gelombang kejut luar biasa kuat yang bahkan mengempaskan proyektil peluru itu tak lama setelah pistol meledak. Pria besar itu berada tepat dalam lintasan serangan. Badan besarnya terpental begitu dihantam serangan gelombang Ansel, jauh terempas hingga memecahkan kaca jendela besar di ujung koridor, membuat ia terlempar dari lantai dua panti hingga jauh di dekat gerbang depan.
Setelah gelombang itu padam, Ansel kembali bergerak cepat ke kamar. Dia lihat anak-anak terdiam dalam ketakutan, sementara satu orang pemuda berambut hitam terkapar terbanjiri darah yang memancar deras dari dada kanannya. Dia menutup mata, tak sadarkan diri, tak diketahui apakah nyawanya masih tersisa di sana. Menyadari siapa anak yang terkapar itu, Ansel belingsatan. Dia hampiri anak itu tanpa menghiraukan dua anak remaja lain yang berada di sampingnya.
"THEO!!!!!!!!!!"
Dia mendekatkan jari telunjuknya ke hidung Theo, sementara tangannya yang lain ditempelkan ke leher. "Napasnya hilang, tapi denyut nadinya masih ada."
"Siapa.... SIAPA KAU!!!!!" pemuda besar di samping Theo berteriak sembari melepaskan lengan Ansel dari Theo. Dia mungkin mengira Ansel adalah musuh, dapat dipahami.
"Kau..... yang tadi bersama Theo." kata gadis remaja yang tengah bercucuran air mata. Jelas terlihat emosi yang campur aduk di wajahnya. Kepanikan, ketakutan, kekhawatiran, semuanya meluap keluar menjadi air mata yang deras berjatuhan seperti hujan di luar.
"Gawat...." Ansel segera bangkit. Denyut Theo semakin melemah. "ROLFE!!!!!!!!!!"
Membalas seruan Ansel, Rolfe langsung datang bersama rekannya yang lain. "SEGERA!!!!!!!"
"Lakukan, V!!!!"
"Aku mengerti!!!"
Seorang gadis tinggi berambut cokelat masuk menghampiri Theo yang tengah sekarat. Dahinya tampak mengernyit begitu melihat luka mengerikan di dada pemuda bertubuh kecil itu. Langsung dia tempelkan kedua tangannya menutupi luka, kemudian mencoba fokus dan memejamkan mata. Cahaya hijau berputar bak sekumpulan pita di kedua lengan rampingnya. Tubuh Theo perlahan terbalut cahaya keemasan. Saudara-saudara sepantinya dibuat ternganga melihat suatu fenomena ajaib di depan mata mereka sendiri. Luka-luka Theo perlahan menutup, tapi perlu waktu untuk menyembuhkan luka mengerikan di dadanya. Meski begitu, melihat kondisi Theo yang membaik, Ansel dapat melemaskan bahunya sejenak.
Namun, pada saat yang sama juga, dia bergidik ngeri. Dia sekilas melihat senjata yang digunakan pria besar itu sebelumnya. Sebuah pistol berjenis revolver dengan ukuran yang lumayan besar. Mungkin berjenis Magnum, yang mana ukuran pelurunya adalah 0,500 inci, atau berarti peluru pistol setara kaliber 50. Artinya, dada Theo sudah jelas akan hancur, benar-benar hancur jika ditembak peluru sebesar itu dalam jarak yang sangat dekat. Meski tidak langsung melubangi jantung, tapi normalnya orang akan dipastikan tewas seketika. Tapi Theo berbeda. Jantungnya masih berdetak meski dia berhenti bernapas. Apa logika yang bisa digunakan kecuali percaya kalau itu adalah keajaiban? Terlebih gift Theo bukanlah penyembuh, tapi pemantul.
Meski begitu, fakta kalau mereka berhasil menyelamatkan nyawa Theo membuat bahu Ansel terasa lebih relaks. Dia ikut duduk di lantai, bersandar pada tembok di belakang. Hela napas panjangnya seolah mencairkan wajah tegang yang terlihat sejak dia mendengar suara tembaka.
"Hubungi semuanya, kita berkumpul di sini."
Rolfe--yang juga merasa lebih tenang sekarang--membalas sambil menyandarkan punggungnya ke tembok di belakang. "Ya, laksanakan."
Anak-anak panti menatap mereka. Tidak paham, kebingungan, tergambar jelas kalau mereka memiliki seribu pertanyaan hingga tidak tahu harus bertanya yang mana dulu. Walau, sebetulnya mereka semua memiliki satu pertanyaan utama yang sama-sama dipikirkan ketika melihat orang-orang ini dari sejak awal mereka masuk kamar.
"Siapa..... kalian?" tanya gadis yang terduduk di belakang Theo. Ansel tahu gadis itu bernama Lee, gadis yang Theo tolong waktu itu. Pemuda itu tersenyum, bahkan dalam gelap pun gadis itu bisa tahu kalau pemuda itu tengah tersenyum. Suara serak kemudian terdengar menggema di seluruh ruangan.
"Wild Dogs."
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments