"Tunggu-tunggu, aku bisa jelaskan!" Ansel mendehem sekali, lalu lanjut berbicara mencoba membela diri. "Anak itu bisa bertarung."
"Ya, mari kita laporkan pada Gabriel." Kata Sean, memotong kata-kata Ansel.
"Setuju. Sebentar, berapa nomornya?" kata Eli, mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.
"TUNGGU-TUNGGU-TUNGGU!!!!!!!!!!!" Ansel yang panik langsung mendorong kedua temannya. "Sebentar, oke? Dengar dulu. Aku tidak asal memberi informasi pada sembarang anak."
"Mengejutkan kata-kata itu terdengar darimu." Kata Kuro mengomentari, yang mana juga disetujui Sean dan Eli. Tapi Ansel tidak berhenti membela diri.
Ansel duduk sopan, untuk kesempatan yang begitu langka dia melakukan seiza di depan teman-temannya. Dia lalu menjelaskan. "Aku tidak sedang membual. Kuro, kau lihat sendiri bagaimana kemampuannya waktu itu, 'kan?
Kuro sedikit tertegun ketika mengingat kembali apa yang dia lihat waktu evakuasi panti asuhan Jirca. Pemandangan yang dia sendiri tidak dapat mempercayainya. "Anak itu... dia adalah satu-satunya yang aku tahu selain Ansel yang bisa menahan serangan penuh William Wilxes, itupun ketika sempoyongan akibat luka yang mengerikan."
Biasanya, jika yang mengatakan itu adalah Ansel, Sean dan Eli akan tertawa seolah informasi itu hanyalah angin lalu. Namun, beda cerita jika Kuro Fuyuki yang mengatakannya. Ketika Kuro serius, semua orang bisa melihatnya. Kuro tidak akan membual ketika situasi serius, berbeda dengan Ansel. Karena itulah teman-temannya dapat yakin kalau apa yang dikatakan Kuro adalah fakta berdasarkan apa yang dia lihat.
"Menjelaskannya seperti itu malah terdengar mengurangi informasi yang ada." Ansel menggerakkan jari dengan lincah, membuat karakternya meluncurkan serangkaian skill yang menjadi serangan akhir untuk boss yang mereka lawan. Setelah jendela hitam pencapaian mereka muncul di layar, Ansel lanjut menjelaskan. "Dia terkena tiga tembakan, satu di belikat, satu di punggung, dan tembakan jarak dekat S&W Magnum di dada kanan. Tapi dia masih hidup. Aku juga tidak percaya. Dia bisa bertahan selama hampir semenit hingga V datang menolongnya. Bukankah itu sulit dipercaya? Bahkan aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa bertahan jika aku ada di posisi yang sama dengannya."
Sean dan Eli terdiam, seolah memikirkan kembali pilihan mereka. Ansel jelah mendapat pilihan yang bagus untuk dibidik. Jika apa yang dia katakan memang sepenuhnya benar, maka Wild Dogs akan mendapat keuntungan besar tahun ini.
"Orang seperti itu, jika kau memang tidak melebih-lebihkannya, apa dia termasuk ke salah satu faksi?" tanya Eli.
"Itulah yang aneh," Kuro menjawab, menggantikan Ansel. "Dia yatim-piatu, tinggal di panti asuhan pinggir kota. Dia punya adik kandung, juga saudara sepanti lain. Aku sempat mencari sedikit tentangnya, tapi dia bukan berasal dari keluarga besar, atau berada di bawah suatu pihak. Dia ini murni berlian yang tertutup lumpur. Aku sendiri yakin dia tidak akan pernah dilirik jika Ansel tidak kebetulan menemukannya."
"Sulit dipercaya...." kata Sean, menunduk memikirkan banyak hal.
"Nah-nah, kau bilang begitu pun, bukan berarti dia ini benar-benar bersih. Kau lihat, aku melakukan investigasi tambahan bersama Gianni, dan aku menemukan fakta yang menarik."
"Dan fakta apa itu?" Tanya Eli.
Ansel, dengan seringai lebar dan nada girang menjawabnya. "Nama anak itu, Theodore Radley Asera."
Tepat setelah Ansel berkata begitu, ruangan menjadi gelap gulita. Cahaya menghilang ditelan kegelapan yang entah dari mana asalnya. Tidak terlihat apapun, tidak terasa apapun, tidak terdengar apapun. Hanya hitam legam, seolah semua cahaya di dunia menghilang tiba-tiba.
Namun, sedetik kemudian, cahaya lampu langit-langit kembali menerangi ruangan. Lantai mengilap, ranjang tingkat, kertas dinding merah dan emas, layar televisi yang terhubung pada konsol game, semuanya kembali terlihat. Tentu saja, termasuk Eli yang masih terdiam, terpaku tanpa menggerakkan seujung jari, juga tiga temannya yang telah bergerak begitu ceapt dalam kegelapan.
Kuro Fuyuki menarik pedang hitamnya, terlihat dari pose yang dia lakukan. Dia menebas Sean, yang mana tengah menarik kerah Ansel dan mendorongnya ke tembok belakang. Ansel yang masih memperlihatkan seringainya tampak begitu tenang, merentangkan tangannya pada Kuro seolah menyuruh pemuda itu untuk tidak berbuat lebih jauh.
"Mengejutkan, kau bertindak tanpa berpikir lebih jauh, Sean." Ansel berkata seolah tidak melihat apa yang ada di depannya, atau dia memang melihat dan sadar, tapi tidak peduli. Sean memelototinya dengan amarah, yang mana benar-benar terasa seperti keinginan untuk membunuh.
"Jangan berbicara dulu, Ansel." Kuro menegurnya tegas. Dia lalu berdiri tegak. "Aku memotong kemampuanmu menggunakan gift selama enam menit. Maaf, tapi tidak ada pilihan lain." Katanya pada Sean.
"Tidak perlu minta maaf, itu sudah benar." Ujar Eli yang masih terduduk. Dia perlahan melepaskan controller di tangannya, kemudian bersandar pada dinding yang dingin di belakang. "Lepaskan dia, Sean. Mari kita dengar lebih banyak darinya."
Dengan amarah yang masih membara, Sean melepaskan cengkeramannya dari kerah Ansel. Kekuatannya sudah dipotong selama enam menit, yang artinya dia jauh lebih lemah dari Ansel sekarang.
Sean Fabre Sephoris, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun lebih empat bulan. Ada alasan kenapa dia dipilih menjadi ketua OSIS di usia yang begitu muda. Dia adalah terkuat kedua di angkatannya, tepat di bawah Ansel. Gift yang dia miliki, «Darkest», adalah kekuatan untuk memanipulasi kegelapan, dalam artian dia bisa mendatangkan kegelapan kapan pun dia mau, juga menciptakan senjata dari kegelapan itu. Alasan kenapa Kuro terpaksa menggunakan kekuatannya untuk menghentikan Sean, karena dalam kegelapan itu, Kuro tahu kalau Sean menggunakan lusinan senjata berbeda yang diarahkan langsung pada Ansel. Begitu pun Eli. Dia tidak bisa melihat, tapi dia bisa merasakannya. Sean benar-benar berniat membunuh Ansel saat itu.
"Kau gila!" umpat Sean sembari duduk di atas ranjang. "Apa maksudmu membawa anak itu ke sini?"
"Ada lebih dari satu alasan, sebenarnya." Ansel kembali duduk di lantai, meraih lagi controller-nya dan lanjut berbicara, "yang paling utama memang karena dia ini berbakat, juga tahu cara untuk menggunakan bakatnya. Aku sudah mengincarnya sebelum tahu kalau dia ini Asera. Asal kau tahu, aku juga agak ragu untuk tetap mengundangnya setelah mengetahui nama aslinya. Tapi aku lihat dia ini lebih dari pantas untuk masuk ke sini, jadi aku tidak mengubah pikiranku."
"Itu bukan alasan yang bagus." Komentar Sean. "Kau mementingkan preferensimu sendiri. Kau tahu siapa dia, tapi tidak peduli tentang itu."
"Andai saja aku memang tidak peduli." Geram Ansel, untuk pertama kalinya kesal mendengar komentar Sean. "Eli... atau Gianni belum bercerita padamu? Atau apa kau bahkan membaca laporan Wild Dogs soal kejadian kemarin? Dia diserang. Orang yang mengurusnya, yang dia anggap ayahnya sendiri, tewas di depan matanya, keluarganya hampir terbunuh. Aku peduli, itulah kenapa aku menyuruh Gianni untuk menjadi dokter pribadinya, agar keamanannya terjamin sekaligus agar bisa mengawasi keadaannya. Aku sengaja datang setelah mendengar kalau dia sudah baikan, lalu apa yang anak itu katakan? Dia akan ikut ujian masuk Helder, dia akan bergabung dengan Wild Dogs, sebagai gantinya, dia ingin keamanan keluarganya terjamin. Dia memedulikan keluarganya, karena itu aku sulit menolak."
Mereka terdiam, tiga orang itu, yang awalnya sempat menaruh keraguan pada Ansel, langsung terdiam. Kuro dan Eli memang sudah tahu tentang alasannya. Kuro langsung mendengar dari Ansel, sementara Gianni adalah bawahan resmi Eli. Namun, Sean yang baru mendengar tentang ini mencoba memahami lagi. Namun, dia juga punya alasan.
"Kau tahu apa yang OSIS terima setelah menandatangani surat undangan untuk anak itu, 'kan?"
"Tentu saja. Tidak ada yang bisa melupakan waktu kau hampir saja terbunuh."
"Lalu kenapa kau pikir kau sendiri tidak akan terbunuh?"
Tangan Ansel tiba-tiba berhenti bergerak ketika Sean membahas itu. "..... Sekarang dipikir-pikir lagi, nyawaku memang dalam bahaya, 'kan?"
"Lebih dari itu, semoga kau selamat di hari pertama ujian masuk." Komentar Eli, begitu dingin hingga Ansel dapat merasakan kalau sesaat, dia seperti Kuro.
Sean menghela napas panjang sembari menepuk jidat. Ansel tetaplah Ansel. Dalam situasi serius pun, dia tetap bercanda. "Kau tahu sejak awal kalau idemu itu buruk. Lalu kenapa kau sampai yakin untuk tetap mengajaknya ke Wild Dogs?"
"Karena dia orang yang pantas. Tidak lebih, tidak kurang." Jawab Ansel singkat dan tegas, membuat teman-temannya menatap tidak percaya.
"Baiklah, aku ikuti dulu rencanamu." Sean mengangkat kedua tangannya. Dia kembali berjalan ke depan tv, lalu meraih lagi controller miliknya. "Tapi aku tidak mau terlibat lebih jauh. Jika suatu saat ada pisau yang menempel di lehermu, aku tidak akan datang membantu."
"Oh, tidak perlu khawatir, aku punya Kuro dan Rolfe." Balas Ansel, tergelak. Tapi Kuro membalas dengan sinis.
"Kau membiarkanku menghadapi atasan sendirian, kenapa kau berpikir aku akan bersamamu saat itu tiba?"
"Oh, ayolah. Tidak perlu seperti itu." Ansel menepuk punggung Kuro beberapa kali. "Lagi pula, Sean, mengetahui kalau ada orang DiMichelle yang jadi calon murid baru sekarang, aku rasa kau tidak bisa terus lepas tangan."
"..... Aku tahu. Ujian masuk tahun ini akan sangat berbeda." Kata Sean. Sebagai ketua OSIS, dia tentu paham akan apa yang dikatakan Ansel. Pendaftar tahun ini bukanlah orang-orang biasa. Itulah kenapa dia membagi pendaftar ke dalam faksi-faksi terkait. "Tapi, jika dia tahu kalau kaulah salah satu alasan anak itu mendaftar divisi keamanan, aku tidak akan membantu."
Ansel berhenti bermain sejenak. Matanya bergulir, memikirkan berbagai masalah dan solusi, kemudian kembali lagi menatap layar di depan. "Jika saat itu tiba, tidak akan ada yang bisa membantuku. Kecuali, yah, Theo sendiri."
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
百里金
mantap
2023-06-06
0