Ayah kami duduk tenang di sana. Sejatinya dia ini pak tua dengan senyuman yang hangat. Dia juga baik pada kami juga tetangga sekitar. Dia terkenal di kota karena sering membantu orang-orang dan aktif dalam sejumlah kegiatan masyarakat. Namun, justru karena sikapnya itulah, kami selalu segan ketika berhadapan dengannya. Terutama aku, anak paling bermasalah di panti ini.
"Duduklah, makan dulu kare hangat buatan Lee. Bukankah kalian sangat menyukainya?"
Dengan jantung berdegup kencang aku melangkah mendekati meja makan. Perlahan aku duduk. Saking gugupnya, aku berusaha agar tidak mengeluarkan suara apa pun ketika menggeser kursi. Uh, sial, rasanya nafsu makanku hilang. Aku terus menundukkan wajah. Rasanya pikiranku yang tadi sudah tenang kembali kusut lagi.
"Kenapa? Apa kamu tidak lapar?"
"Ah, tidak, aku--"
Aku mengangkat wajahku saat ayah berbicara, tapi kata-kataku terpotong ketika melihat ulahnya. Ayah menutup wajah keriputnya dengan kedua tangan yang lebar. Nada bicaranya terdengar serius, tapi sikapnya benar-benar berkebalikan, membuatku terpikirkan hanya satu kata saja.
".... Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Menutup wajah?"
"Ayah kira kamu akan gugup kalau dipelototi saat makan, jadi ayah menutup wajah. Anggap saja ayah tidak ada."
Ah, benar. Ayah kami memang begini. Sikapnya serius dan tegas ketika mendidik kami, ramah dan murah senyum ketika mengobrol santai, periang dan hiperaktif ketika bermain bersama anak-anak, tapi terkadang, dia seperti ini. Sikapnya kadang sangat random untuk waktu-waktu yang tak tertebak.
Itulah kenapa kami mencintainya, menganggap dia seperti ayah kami sendiri. Karena kami merasa itulah yang akan seorang ayah lakukan di waktu-waktu acak. Perbuatannya seolah memecah ketegangan di antara kami.
"Ayolah, seolah wajahmu itu menyeramkan saja."
Ayah sedikit terperanjat mendengarnya. Wajahnya itu unik, begitu ekspresif hingga aku bisa jelas melihat kalau dia ini terkejut, ditambah gestur badan yang juga seperti mengekspresikan apa yang dia rasakan.
"Apa menurutmu ayah tidak bisa menjadi orang yang tegas?"
"Tidak, ayah hanya tidak cocok untuk orang yang galak."
"Begitu ya. Sulit untuk jadi orang seperti Lee."
Aku sedikit tersedak ketika ayah berkata begitu. Buru-buru tanganku meraih segelas air. Lee, itu bukan aku yang bilang, ya. Itu ayah kita, tapi aku juga sependapat.
"Itu lebih ke bakat dari lahir, aku rasa."
Kami melanjutkan obrolan. Ayah berbicara banyak tentang berbagai hal sementara aku menyantap makananku sampai habis. Aku ambil lagi segelas air, kuteguk perlahan, benar-benar perlahan untuk mengulur waktu. Aku tahu ayah akan membahas tentang Helder setelah ini. Aku meletakkan gelas di meja sementara ayah masih melanjutkan celotehannya. Bagus, aku bisa menyiapkan diri dan mengatur napas.
Tapi tidak juga, haha. Lebih cepat selesai akan lebih baik.
"Hei, ayah, bukankah ayah punya topik yang lebih penting untuk dibahas?"
Ayah tiba-tiba berhenti berbicara. Dia terdiam sejenak. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku akan memotong pembicaraannya. Aku tahu, aku juga tidak percaya, tapi aku tidak mau mengukur waktu lagi. Aku sudah lelah, aku ingin cepat tidur, karena itu lebih baik bereskan ini sekarang.
"Tidak sabaran seperti biasa, ya." Kata ayah sambil terkekeh.
"Aku tahu. Karena itu aku ingin ayah langsung mulai saja."
Ayah mengangguk kuat. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. Ekspresi wajahnya berubah. Dia serius, aku bisa tahu itu. Rasa gugup kembali merayapi pundakku. Ketika wajahnya kembali terangkat, aku sedikit menelan ludah, bersiap akan apa yang akan dia katakan.
"Kau tahu, Theo......"
".... Ya?"
"Ayah tahu seberapa besarnya cintamu pada saudara-saudaramu. Ayah paham, karena ayah juga merasa sama. Ayah menganggap Lizzy dan yang lain juga seperti anak kandung ayah sendiri. Tapi... kalau melihat cuaca sudah memburuk, segeralah pulang, tak perlu berpikir soal membeli oleh-oleh hingga membuat dirimu kehujanan. Bagaimana jika kau demam?"
"Hah?"
"Eh?"
Kami saling pandang, kebingungan. Apa yang dia katakan? Apa ini tentang aku yang pulang terlambat? Tidak, aku tahu itu juga penting, tapi bukankah ada yang lebih penting lagi untuk dibahas?
"Tunggu, ayah. Aku tahu aku tidak benar sekarang, tapi memang tidak ada yang lebih harus dibahas?"
"Lebih harus?" Ayah menatapku heran. Hah? Tunggu, Dia tahu soal Helder, 'kan?
Setelah diam sejenak berpikir, mata ayah terbuka lebar ketika dia ingat sesuatu.
"Oh, benar juga! Soal pekerjaanmu! Ayah tahu kamu menempatkan kebahagiaan Lizzy di prioritas utama, tapi bukan berarti kamu tidak perku terlalu terpaku sampai melupakan dirimu sendiri. Fokus saja sekolah, nikmati masa mudamu, ayah—"
"Tidak tidak tidak, bukan itu juga." Aku menggeleng-gelengkan kepala bersamaan dengan mengayunkan tangan. Apa ayah benar-benar tidak tahu? Atau memang tidak mau membahas itu? Tapi ini juga penting untuk dibahas. "Ayah tahu soal aku yang diundang Helder, 'kan? Ayah yang menerima surat undangan itu. Ayah juga tahu aku tidak mau masuk ke sana, bukan? Apa ayah tidak mau membahas itu?"
Ayah kami menatapku lagi dengan wajah polos seolah tidak tahu apa-apa. Rasanya seperti akulah yang aneh di sini. Bukankah terlalu tidak mungkin jika ayah tidak tahu apa-apa? Apa dia memang tidak peduli aku masuk ke Helder atau tidak? Lalu apa yang dia katakan tadi pagi soal ingin berbicara denganku?
Wajah ayah berubah lagi. Kali ini dia sedikit memalingkan pandangan. Hanya sejenak saja. Matanya kembali menatapku lagi dengan pandangan yang damai, seolah-olah ada kehangatan aneh yang terpancarkan darinya, membuatku ikut tenang juga.
"Yah, soal itu ya. Ayah kira kamu tidak mau membahas itu, jadi ayah lewat saja dari tadi."
Yang benar saja.
"Tidak mau membahas? Kenapa ayah berpikir seperti itu?"
"Karena ayah sudah mendengar penjelasannya, detail dari Val. Ayah sebetulnya agak sedih juga karena kamu tidak langsung berbicara dengan ayah, tapi mungkin kamu lebih suka bercerita dengan saudara-saudaramu. Jika ditanya sejujurnya, ayah kurang setuju dengan keputusanmu. Seperti yang tadi ayah bilang, prioritaskan juga dirimu di samping adikmu. Di sini ada ayah, ada Val, ada Lee, dan saudara-saudaramu yang peduli pada Lizzy. Kamu tidak perlu khawatir jika alasanmu memang hanya Lizzy, tapi ayah tahu kamu punya alasan lain untuk menolak Helder. Ayah tidak tahu alasan apa itu, tapi ayah tahu kalau alasan itu begitu penting buatmu. Ayah tidak akan memaksamu bercerita kalau kamu tidak mau, tapi ceritalah jika kamu merasa ingin bercerita barang hanya sedikit saja. Ayah tidak pernah dan tidak akan memaksamu untuk masuk ke sekolah tertentu, kamu punya pilihan sendiri. Jika kamu tidak mau masuk Helder, ya sudah biarkan saja. Sekolah yang bagus itu bukan cuma Helder. Ayah yakin kamu punya gambaran sendiri soal masa depanmu, dan ayah menghargai itu. Yah, tadinya ayah memang ingin berbicara denganmu soal ini, tapi ayah rasa penjelasan dari Val itu cukup. Ayah paham alasanmu, jadi sudah, pembicaraan tentang Helder selesai."
Aku dibuat terdiam tak dapat berkata-kata. Mataku masih terfokus pada ayah yang mengambil segelas air setelah berbicara panjang lebar. Mulutku terbuka, tapi aku tak dapat mengeluarkan suara. Tak lama kemudian, mataku bergulir menatap sudut piring bekas makan di atas meja kayu tebal.
Aku tahu ayah memang terlihat seperti tipikal orang tua bijaksana. Aku juga tahu dia ini cerdas secara sosial, itu diakui oleh masyarakat. Dia juga orang dengan pemikiran terbuka dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Tapi aku tidak pernah menyangka akan dinasihati seperti ini. Seingatku baru kali ini, dari sejak aku tinggal di panti asuhan ini, baru sekarang aku merasa benar-benar dinasihati.
Tanpa sadar, seringaiku melebar di wajah yang--aku rasa--sudah mulai bercahaya lagi. Kekusutan pikiranku sirna. Kenapa aku tidak bercerita tentang ini pada ayah sedari dulu? Mungkin aku bisa menyelesaikan semuanya lebih cepat lagi.
"Boleh juga, ayah." gumamku tanpa sadar. Aku rasa ayah juga mendengarnya karena dia mulai tersenyum. Ah, biar saja lah. Sekali-kali aku juga harus memuji pak tua ini.
Oh, benar juga. Di mana Lizzy, Lee, Val, dan yang lainnya? Aku tahu aku datang terlambat, tapi aku kira mereka akan masih bermain-main di sini.
"Lizzy di mana?" tanyaku sambil melihat sekitar.
"Oh, benar juga. Hampir ayah lupa tentang itu. Besok kita akan pergi ke Argon. Val ada pendaftaran SMA, sekalian saja kita antar sambil jalan-jalan sejenak. Saudara-saudaramu tidur lebih awal setelah mendengar itu."
"Boleh juga, kalau begitu aku--"
Kata-kataku terpotong oleh suara bel pintu yang bergema menutup suara gemercik hujan di luar. Ayah segera bangkit dari kursi begitu suara bel itu terhenti.
"Ayah saja, kamu bereskan saja meja makan. Sekalian lihat apa kare di dapur masih ada untuk tamu atau tidak."
Aku mengangguk sembari menjawab, "oke. Tidak kusangka ada tamu di tengah hujan badai begini."
"Hahah, mungkin tetangga kita." balas ayah dari ruang sebelah.
Aku membereskan meja makan; menumpuk piring kotor dan merapikan taplak meja. Mungkin ayah akan mengajak tamu-tamunya makan nanti, sebaiknya aku isi ulang juga air di sini.
Guntur meledak-ledak seolah saling bersahutan. Aku tahu perkiraan cuaca tadi pagi mengatakan kalau malam ini akan terjadi badai, tapi tak kusangka separah ini. Sambil membawa piring, aku mendekati dulu jendela.
Semburan cahaya singkat membuatku bisa melihat taman yang gelap sesaat. Hanya sekilas, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi aku melihatnya. Sekelompok orang berdiri di depan pagar, menunggu. Namun, pagar itu terbuka. Pagar yang aku yakin sudah ku kunci saat pulang tadi, terbuka lebar.
Suara ledakan yang begitu keras terdengar bagaikan cambuk langit, membuat dada tersentak sedikit. Piring yang aku pegang jatuh, pecah berserakan di lantai. Aku terpaku sesaat, mencoba yakin kalau aku hanya salah dengar saja.
"Ayah?"
Kakiku perlahan melangkah ke ruang tamu. Gemetar tanganku oleh dingin dan rasa khawatir. Tanpa sadar aku percepat langkahku. Aku harap itu hanya salah dengar, aku harap mereka hanya tamu biasa. Aku harap suara lain yang aku dengar bersamaan dengan guntur itu hanya perasaanku saja.
"Ayah?"
Langkah kaki membawaku menyusuri lorong pendek untuk ke ruang tamu. Aku singkapkan gorden yang menutup ruang tamu ke ruang keluarga. Kakiku rasanya dingin, ujung-ujung jariku dingin. Tubuhku terpaku tak dapat bergerak, mataku langsung saja memandang tajam sosok pria tua yang tersungkur di lantai dengan darah yang menggenang. Di depannya, di luar pintu, tiga orang bertudung berdiri, satu orang menggenggam pistol yang masih berasap, dan ayah berdarah dari dada kirinya.
Aku bisa menangkap apa yang terjadi, tapi tubuhku tak dapat bergerak sama sekali. Orang itu mengangkat lagi pistolnya sedikit ke atas, lalu menekan pelatuk. Sekejap, aku merasakan sengatan tajam, diikuti rasa panas yang mengalir keluar dari tubuhku.
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments