Mendung

Aku bekerja sejak enam bulan lalu, sejak aku berkeinginan untuk membawa Lizzy ke rumah sakit di kota. Memang bukan pegawai tetap karena usiaku yang masih 15 tahun, tapi aku dibayar lumayan.

Perusahaan tempat aku bekerja tidaklah besar, tapi patut diperhitungkan. Anak perusahaan CTI, perusahaan teknologi terbesar di Thalia. Aku bekerja di bidang pengembangan perangkat lunak untuk proyek droid massal. Terkadang aku juga ikut andil di bagian modelling dan perancangan perangkat keras, tentu dengan bayaran tambahan. Mungkin memang pada dasarnya aku menyukai bidang teknologi, seluruh tugas aku kerjakan cepat, hingga bos pernah memintaku untuk langsung bekerja di perusahaan itu setelah aku lulus.

Biasanya aku mengambil shift di rumah, secara bidangku memang mengizinkan untuk bekerja di mana saja, tapi terkadang aku harus datang ke kantor untuk menjelaskan program yang aku buat, atau memperbaiki beberapa program sebelumnya yang salah. Seperti sekarang, aku dipanggil ke kantor setelah untuk menjelaskan program yang aku selesaikan kemarin. Menyenangkan melihat mereka yang terkesima ketika mencoba memahami program rumit untuk memperhalus gerakan droid tipe kucing.

Tiga jam aku habiskan di kantor. Harusnya bisa lebih lama karena aku diajak makan-makan setelah tugasku selesai, tapi aku menolak setelah mendapat pesan dari Lee agar cepat pulang. Tidak heran, malam sudah menjelang. Mungkin ayah kami sudah menanyakanku. Aku masih membuka ponsel, melihat-lihat lagi pesan yang datang. Enam belas pesan dari Lee, terakhir sepuluh menit yang lalu. Gawat, aku akan disuruh duduk lagi satu jam mendengarkan ocehannya.

Aku mulai berlari. Bahu jalan lebih kosong dari biasanya, padahal jam-jam segini harusnya jam padat karena bertepatan dengan waktu pulang kantor. Mataku melirik ke langit. Awan gelap bergumul seperti wol hitam. Aku juga bisa merasakan semilir angin bertiup dingin menusuk di punggung tanganku. Akan ada badai nanti malam. Mungkin orang-orang memutuskan untuk pulang cepat atau menginap saja daripada harus basah-basahan dan terkena demam keesokan harinya.

Sampai perempatan, mataku sempat melirik sekilas toko roti langgananku. Masih buka. Cahaya lampu hangat dari dalam seolah menarikku yang berdiri kedinginan di luar. Aku ingat Lizzy sangat menyukai croissant butter dari toko itu, tapi awan gelap juga semakin berputar menutup langit. Apa aku pulang saja? Atau beli sebagai oleh-oleh? Lee juga pasti menungguku di depan panti dengan wajah masamnya, tapi rasanya kurang juga kalau pulang setelah kerja seperti ini tidak membawa apa-apa.

Dan kemudian, hujan pun turun.

.

.

.

.

.

Panti asuhan kami ada di ujung kota. Agak jauh dari keramaian. Tentu saja, aslinya itu adalah mansion orang kaya yang suka ketenangan. Bahkan luas tamannya saja mungkin cukup untuk membangun empat hingga lima bangunan seukuran. Belum lagi kawasan sekitar yang tidak terlalu padat membuat panti ini terkesan seperti tempat terpencil, padahal masih berada di kawasan kota.

Aku berdiri di depan pintu masuk, basah kuyup hingga rambut yang biasanya tampak seperti rumput liar ini jatuh menutup sebagian wajahku. Tas sekolahku untungnya anti-air, tapi seluruh pakaianku kebasahan. Aku bahkan sudah mulai merasa kalau ujung-ujung jariku mati rasa.

Namun, gadis ini, gadis yang secara teknis adalah kakak yang lebih tua tiga bulan, malah berdiri di lawang pintu yang lebar sembari bersedekap dan menatapku kesal. Dia tahu aku tengah kedinginan, tapi tubuhnya bahkan tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya berdiri. Sial, apa dia ingin aku kena pilek?

"Anu....... aku minta maaf." ucapku mencoba membuka kata.

"Untuk apa?" Lee membalas segera, aku memalingkan pandangan.

".......... datang terlambat, pulang kemalaman basah kuyup."

"Sudah tahu akan hujan?"

"Dilihat dari awan....."

"Lalu apa yang ada di tanganmu itu?"

Mata Lee seolah menunjuk tajam kantong plastik yang aku pegang erat. Ya, pada akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa buah tangan. Dengar, aku berusaha bergerak cepat waktu itu. Aku membeli croissant, membayar, menunggu pengemasan, lalu berniat untuk bergegas pulang. Sayang sekali, baru saja aku melangkah keluar toko, petir menyemburkan cahaya terang yang singkat seolah memotret kota, diikuti suara guntur yang menggelegar menggetarkan jendela dan hujan deras yang mengguyur tanah tanpa ampun. Aku ingin diam dulu di sana, tapi sudah hampir jam tujuh. Aku harus pulang atau menghabiskan malam di ruang tamu dengan ceramah menghujani telingaku sepanjang malam.

Dan begitulah, aku berada di situasi ini. Aku memang punya ketahanan yang cukup baik terhadap suhu dingin sejak kecil, tapi berdiri di luar dengan tubuh basah kuyup begini, ketika hujan badai tengah mengguyur kota, membuat kakiku menggigil lebih buruk dari yang aku duga. Lebih lama dari ini, aku akan berada di tempat tidur seharian besok.

"Ini dingin, apa aku sudah boleh masuk ke dalam?"

Mata Lee semakin tajam menatapku, membuatku langsung merasa seperti tikus di hadapan singa. Dia tidak berbicara apa pun, hanya menatapku tajam. Tadinya aku ingin berkata kalau dia ini seperti ibu yang galak, tapi aku tahu seorang ibu akan membiarkan anaknya masuk dan mandi terlebih dahulu, barulah setelah itu akan marah habis-habisan hingga dibahas terus berhari-hari kemudian.

Untungnya, tak lama kemudian, Lee melemaskan pundaknya. Dia menghela napas panjang sembari mundur sedikit dari lawang pintu.

"Air hangat sudah siap. Mandi dulu sana, baru nanti makan."

Syukurlah, aku sempat berpikir dia akan menahanku setengah jam lagi. Segera aku lepas sepatu dan kaos kaki, lalu berjalan masuk. Beruntung sekali besok akhir pekan, aku bisa mencuci dan mengeringkan semua setelanku nanti. Aku berhenti sejenak ketika melewati Lee, memberikan roti-roti itu padanya. Dia mengambilnya cepat.

"Terima kasih." Katanya agak ketus sambil berbalik pergi.

Aku bergegas ke kamar mandi. Air hangatnya ternyata benar-benar sudah siap. Agak sedikit panas karena aku sudah kedinginan lama di luar. Aku lepas pakaian basah, mengguyur dan membersihkan badan sebelum berendam nyaman di bak keramik. Rasanya seluruh pikiran kusutku ikut mencair bersama rasa lelah dan dingin yang aku peroleh seharian ini. Pikiranku seperti terbersihkan, kosong melompong. Ah, rasanya jadi ngantuk, aku rasa tidak apa untuk memejamkan mata sejenak di dalam balutan air hangat ini.

"OOOI, THEOO, MASIH BELUM SELESAI???"

Dan... dia datang, membuat rasa kantukku hilang seketika.

"Ya ya, aku selesai. Tidak perlu menggedor-gedor pintu seperti itu." Balasku sambil bangkit dari bak mandi.

"CEPATLAH, KARENYA NANTI DINGIN!!"

Oh, benar juga. Aku lupa kalau perutku tadi sempat berbunyi ketika hidungku menangkap harum kuat rempah-rempah dari kare masakan Lee. Jelas saja, dia diajari langsung oleh ayah kami, orang yang bisa membuat kare terenak di kota ini (menurut kami pribadi).

"Yaa. Bisakah kau keluar dulu dari sana? Aku mau ganti pakaian."

"BAIKLAH, JANGAN LAMA-LAMA!"

Apa dia harus berteriak-teriak seperti itu? Maksudku, pendengaranku cukup tajam untuk bisa mendengar apa yang dia katakan meski aku berada di kamar mandi yang tertutup, tidak perlu berteriak seperti itu. Tapi yah, terima kasih untuknya. Mungkin akan buruk kalau aku benar-benar terlelap tadi. Bisa-bisa aku ketiduran sampai esok pagi dengan pilek parah akibat semalaman di kamar mandi.

Aku menyeka badanku dahulu sebelum berjalan keluar kamar mandi. Oh, pakaian gantiku ternyata sudah disiapkan di dalam keranjang atas mesin cuci. Lee lagi. Dia pasti membawakanku pakaian ganti sambil berteriak tadi.

"Kebiasaan."

Aku mengenakan pakaian itu cepat. Bagaimana ya..... Lee ini memang betul paling perhatian walau galak. Dia memberiku tiga lapis pakaian: kaos, sweater, dan jaket. Dia mungkin agak takut, atau khawatir juga kalau aku betul-betul pilek karena dibuat diam di luar selama sepuluh menit dalam keadaan basah kuyup.

Aku pergi ke ruang makan, mengikuti semilir harum kare yang memenuhi ruangan. Oh tidak, rasanya perutku semakin berbunyi kencang. Ayo lupakan sejenak tentang sekolah, pekerjaan, atau undangan Helder. Ayo menghanyutkan diri pada kare yang hangat dan rempah yang kuat.

"Oh, akhirnya kau datang."

Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku melihat siapa yang juga duduk di meja makan. Hanya seorang, tapi hawa kehadirannya saja seperti sekompi tentara.

"A-ayah?"

...* * * * *...

Terpopuler

Comments

百里金

百里金

bagus

2023-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!