Val's PoV
Lidah api menyembur bagai cambuk yang diayunkan, menciptakan suara menggelegar yang memekakkan telinga. Gift api itu tidak seperti bom dinamit, tapi molotov yang menyebarkan api. Semua orang tiarap ketika panas mulai menyengat wajah mereka. Tetesan hujan menguap, tanah mengering, Val, yang merupakan orang terdekat dengan sumber cambuk api itu, merasakan rambutnya kering seketika saat cahaya merah membuat halaman belakang terang-benderang.
"Th.... Theo.........."
Apa yang terakhir dia lihat adalah Theo, saudaranya yang lebih muda tujuh bulan, berlari sempoyongan ke belakang. Dia ingin menghentikannya, tapi Ansel Elias Clive tiba-tiba memerintahkan semua orang untuk tiarap. Teman-temannya langsung merobohkan anak-anak panti, juga menarik tangan Lita dan Val sendiri agar merunduk, tepat sebelum cambuk api berayun.
Lima detik itu waktu yang terasa seperti selamanya bagi Val. Dia diselamatkan lagi, oleh orang yang lebih muda darinya, lebih kecil darinya. Dia ingin beranjak, berlari untuk menarik Theo pergi dari sana meski dalam hati terdalamnya juga dia merasa pesimis kalau seseorang dapat hidup setelah menerima serangan seperti itu. Bahkan sedikit saja dia mengangkat wajah, hawa panas langsung menyengat seperti mentari terik di puncak musim panas.
Namun, setelah cambuk api itu mulai padam dan tetesan hujan mulai terasa kembali, Val mengangkat muka perlahan. Cahaya tadi hilang, mengembalikan kegelapan pada asal, tapi udara masih terasa hangat. Mata Val langsung menatap pemuda itu. Pemuda berambut merah-dikepang yang juga tengah tiarap di belakang. Tidak salah lagi dari mata, alis, dan dahinya, Ansel Elias Clive jelas terkejut. Tapi dia menyeringai lebar, seringai yang tampak jahat, tampak puas, tampak seperti semua berjalan sesuai dengan yang dia duga. Kemudian, Val menoleh ke belakang, dan memperlihatkan ekspresi yang—kurang lebih—sama.
Theo berdiri di sana, tegap dengan kaki mengangkang. Tangan kanannya masih merentang, mengeluarkan uap panas. Tidak ada luka, tidak ada bekas kemerahan akibat terpapar panas luar biasa selama lima detik penuh. Dia hanya berdiri di sana. Tubuh kecilnya kini tampak paling tinggi di antara semuanya. Mata Val kemudian bergulir ke bawah. Terlihat bekas hangus di atas tanah. Tanah tampak kering, kecuali wilayah lebar di belakang Theo. Dia menahan serangan itu, sendirian dengan gift-nya.
"Theo, kau........"
Setelah menahan pose itu selama beberapa detik, Theo akhirnya jatuh. Kakinya, tubuhnya, tangannya gemetar akibat terlalu memaksakan diri. Tanpa pikir panjang, Val langsung bangkit menghampiri. Namun, seruan dari belakang membuatnya terpaku sejenak.
"JANGAN!!!!!!!!!!"
Tepat setelah suara itu terdengar, mata pisau melayang tepat di depan matanya, benar-benar hanya menyisakan satu atau dua mili. Di belakang Val, menarik kaosnya yang basah kuyup adalah Kuro Fuyuki, anggota tercepat Wild Dogs. Tangan lainnya menggenggam pedang dengan bilah hitam legam, lebih gelap dari malam. Setelah pisau itu melewati wajah Val, Fuyuki mengayunkan pedang, cepat, menebas tangan penyerang yang direntangkan. Darah bercipratan, lalu tersapukan hujan.
Fuyuki mengubah arah ujung pedangnya, mengayunkannya lagi dari atas. Bahkan meski darah memancar dari tangannya, pria itu masih bisa menyeringai. Sosoknya menghilang begitu bilah pedang turun, berpindah ke belakang. Lengan satunya juga menggenggam pisau yang cepat dia ayunkan mengarah pada leher Fuyuki. Namun, tepat sebelum pisau itu menyentuh leher, tanah tiba-tiba saja mendingin.
Bunga-bunga es menjalar di atas tanah tanah seperti tanaman mawar, naik, membekukan tubuh pria itu seketika. Tangannya tak dapat bergerak, bahkan untuk hanya melepas pisau itu. Ketika tanah berada di titik beku, udara sekitar malah tiba-tiba saja memanas. Mata pria itu bergulir, melihat api biru yang mendekatinya cepat. Itu dari kaki si pemuda bertato api. Mengayun seperti bandul, meninggalkan cahaya putih jejak lintasannya di udara, mengenai tepat leher si pria bertudung hingga dia terlempar jauh menghantam pohon di belakang. Si pemuda menarik kembali kakinya. Api biru padam, mengembalikan kegelapan malam seperti sedia kala.
"Kerja bagus." Puji Ansel yang datang menghampiri. Val menengok belakang. Es itu berasal dari bawah kaki gadis bermata merah delima. Ketika gadis itu mengangkat kakinya, es yang menjalar langsung cair dan menghilang.
"Ya. Terima kasih, ketua." balas gadis itu, begitu tenang suaranya seperti es yang tadi dia gunakan.
"Ansel, kita amankan dulu dia?" tanya pemuda bertato api, menunjuk pada pria yang tersungkur di belakang pohon.
"Lakukan. Walau aku pesimis dia bisa memberikan informasi berguna."
"Baik. Claus, bantu aku!"
"Siap."
Dia kemudian menoleh pada Rolfe di belakang. "Rolfe, pergi periksa Felice. Tidak ada laporan awal soal penyerangan mendadak. Aku takut dia kenapa-napa."
"Aku mengerti."
Kedua pemuda itu pergi mengamankan si pria, sementara Rolfe berlari mencari pengamat mereka. Perhatian Ansel langsung tertuju kembali pada Theo. Dia masih berdiri, terdiam dengan bahu yang tampak seperti hampir jatuh. Entah apa dia memerhatikan seluruh kejadian yang terjadi. Matanya benar-benar hampir kehilangan cahaya. Dia masih bernapas, tapi begitu berat dan lemah. Tak lama, Esvele Achard mendatangi dari belakang dengan wajah menyesal.
"Maaf, ketua. Aku tidak bisa menyembuhkannya penuh."
Tentu saja Ansel paham itu. Sejatinya Esvele Achard tidak memiliki kekuatan penyembuhan. Itu hanya sedikit teknik yang dikuasainya. Regenerasi yang dia gunakan dapat menutup luka jauh lebih cepat dari seharusnya, tapi tak bisa mengembalikan darah, trauma organ, atau kelelahan yang akan diterima target. Mereka berdua tahu itu, tapi gadis itu tetap meminta maaf, meski dia justru harusnya mendapat terima kasih.
"Tidak, kerjamu sudah sangat bagus." Matanya kemudian menatap pada Theo. Dia tersenyum. "Kau sudah berusaha keras." puji Ansel. Theo ikut tersenyum tipis.
"Tentu........ saja........."
Ansel mengulurkan tangan. Dengan tenaga yang lemah, Theo menggenggam tangannya. Perlahan dia membantu Theo berdiri. Tangannya dingin, benar-benar dingin hingga Ansel sempat berpikir kalau dia ini mayat hidup. Juga, dia terkejut dengan betapa kurusnya lengan Theo, tapi betapa besarnya kekuatan yang dia punya. Bagaimanapun, menahan serangan api sebesar itu bukanlah perkara mudah.
"Kawan, kau benar-benar berlebihan, huh?"
Theo terkekeh dengan suara serak seperti orang tua. "Belum...... seberapa."
Val--yang benar-benar sudah lelah untuk mencoba memahami apa yang terjadi--diam menatap saudaranya yang tengah dipapah Ansel. Matanya bergulir melihat sekitar, melihat dua pemuda yang tengah mengamankan si penyerang, lalu melihat Theo lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekat. Banyak yang ingin dia katakan, banyak yang ingin dia tanyakan hingga dia sendiri bingung harus mulai dari mana.
"Theo...... kau--"
Belum sempat Val menyelesaikan kata-katanya, jeritan penuh kekhawatiran seorang gadis tiba-tiba terdengar lagi.
"THEO!!!!!!!!!"
Lee bergegas menghampiri. Segera mengalungkan lagi lengan saudaranya ke lehernya. Wajah Lee penuh kekhawatiran, kali ini sama sekali tak disembunyikan hingga Val sendiri cukup terkejut mendapati Lee bisa membuat wajah seperti itu.
"Tubuhmu, dingin sekali. Bertahanlah! Ayo, kita akan segera pergi dari sini. Kita masak kare, kita tidur dalam selimut yang hangat, kita--"
"Tenang...... Lee......" Theo mencoba menenangkan, tapi Lee tidak mau dengar.
"Diam, jangan katakan apapun lagi!!"
Pada akhirnya, Theo hanya terdiam ketika gadis itu membantunya berdiri. Ansel sendiri tidak bisa berkomentar, malah dia merasa mungkin Lee tidak menyadari kalau dia ada di sana. Dia ikut membantu memapah Theo, agak cepat karena situasi masih tidak bisa diprediksi.
Val hanya bisa terdiam, menatap Theo yang melangkah melewatinya. Masih tidak bisa dipercaya kalau Theo, anak yang paling kurus di panti, bisa melakukan semua itu. Jika itu Val, dia tidak bisa yakin kalau dia akan hidup di tembakan langsung ke dada itu. Apalagi untuk menahan serangan api, hanya beberapa menit setelah penyembuhan. Theo itu luar biasa, dia tahu sejak dulu, dan dia bukan maksudnya dalam pelajaran, tapi juga secara personal. Meski tidak pernah menunjukkannya secara langsung, tapi perhatian Theo pada saudara-saudaranya begitu besar.
Itulah yang kurang dalam diri Val. Dari pandangannya sendiri, dia ini cuek. Bukan berarti dia tidak memerhatikan siapa pun, tapi dibandingkan dengan Lee, Val bersikap lebih tenang. Boleh dibilang dia ini netral. Ketika melihat Theo tertembak, tentu saja dia panik dan khawatir, tapi dia buruk dalam mengekspresikannya sehingga dia hanya bisa terdiam, tidak seperti Lee yang langsung menghampiri. Bahkan saat ini juga, apa yang bisa dia lakukan hanyalah diam di tempat.
Tenggelam dalam kekesalan, Val mengepalkan tangannya kuat. Ingin sekali dia pukul wajahnya hingga tak berbentuk, tapi tak bisa sekarang. Dia menarik napas, mengeluarkannya perlahan, mencoba menenangkan diri. Dia simpan keinginan untuk memukul wajahnya itu, jauh di dalam hatinya. Jika nanti setelah semuanya selesai dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri, akan dia lakukan itu sampai puas.
Pada akhirnya, dia mendatangi anak-anak yang ketakutan. Menangis, meluapkan emosi mereka. Val paham, tapi pada sata yang sama juga tidak paham. Bagaimana mereka bisa begitu mudah meluapkan emosi, sementara dirinya hanya bisa terdiam. Dia tidak mengerti, dan--untuk sekarang--tidak mencoba untuk mengerti. Dia berlutut di hadapan Marc, lalu menepuk kepalanya sambil tersenyum.
"Hei-hei, ayolah. Jangan begitu, kau yang terkuat, kan? Ayo, ajak yang lain pergi."
Marc yang terisak membalas, "tapi.... rumah... ayah......."
Ketika Marc menyinggung ayah mereka, Val juga merasakan degupan kencang di dadanya. Sejujurnya dia juga khawatir, sangat khawatir hingga dia tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa. Tapi dia juga belajar. Jika dia terburu buru dan berbuat ceroboh di situasi sekarang, korban akan jatuh lagi. Itulah yang dia dapat dari kejadian sebelumnya, ketika Theo hampir tewas di depan matanya.
"Rumah kita di sini, kita akan kembali. Ayah juga sudah di tempat yang aman. Sekarang kita yang harus pergi."
Menghindari lebih banyak pertanyaan, Val menarik lengan Marc dan berjalan pergi. Dia lihat yang lain langsung berjalan mengikuti di belakang. Val menghela napas, rasa lega membuat dada Val terasa sejuk. Dia sejatinya sudah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan yang lain. Entah apa dia masih bisa menahan diri jika situasi menjadi sulit.
"HE-HEI!!!!!!!"
Teriakan yang tiba-tiba terdengar membuat semua orang menoleh terkejut. Dada pria yang tersungkur itu bercahaya merah pijar. Semakin lama semakin terang cahaya itu bersinar, juga semakin panas wilayah di dekatnya. Cahaya itu naik, merayap ke leher, kemudian berkumpul di mulut. Kedua pemuda yang mengamankannya segera melompat mundur.
Menyadari kemungkinan yang akan terjadi, Val langsung panik. Tapi sosok yang tiba-tiba berdiri di depannya membuat dia terpaku.
"Tenanglah."
Pemuda berambut merah itu merentangkan tangannya ke depan. Riak muncul di depan pemuda itu seperti permukaan air. Cahaya terdistorsi, atau lebih tepatnya ruang itu sendiri yang terdistorsi, seolah riak itu memisahkan ruang.
Mulut pria itu meledak, menyemburkan api yang menguapkan tetesan hujan seketika. Val mendekap Marc erat untuk melindunginya, tapi bahkan panas tidak menyentuh punggungnya sama sekali. Merasa ada keanehan, dia menoleh perlahan, dan terkesima dengan apa yang dia lihat.
Riak itu menahan api yang menyembur padanya seperti perisai. Itu seperti dinding transparan yang kokoh. Api itu menyebar ke segala arah, tapi tidak bisa menembus pertahanan tak terlihat Ansel Elias Clive.
"Sudah cukup."
Tepat ketika api itu melemah, Ansel mengepalkan tangan, lalu menjentikkan jarinya. Riak di hadapan berubah menjadi gelombang besar yang menerbangkan segala di depan. Api itu langsung menghilang seperti ditiup angin. Pohon-pohon bergoyang, tetesan hujan diempaskan, pria itu tersentak oleh gelombang kuat yang menghantamnya langsung. Mulutnya terbakar, mungkin hingga tenggorokannya. Bagaimanapun, napas naga seperti itu akan mematikan penggunanya sendiri jika dia tidak memiliki organ yang memadai.
"Hebat....... " Val berkomentar tanpa sadar. Ketika melihat kemampuan Ansel Elias Clive, dia langsung sadar kalau orang-orang ini berada di level berbeda. Meski usia mereka tampak tidak terpaut jauh darinya, kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki jelas seperti langit dan bumi.
"Ketua, apa aku harus menyembuhkannya?" tanya Esvele Achard, tapi Ansel menggelengkan kepala.
"Teknik tadi tidak bermaksud untuk menyerang kita. Itu untuk membunuh dirinya sendiri. Organ dalamnya terbakar. Aku juga tidak bisa merasakan detak jantungnya." Ansel mengepalkan tangan kuat, kecewa dengan hasil akhir yang mereka dapat. "Kuro, hubungi markas utama dan Merlins. U-2 dikonfirmasi tewas."
Pemuda Jepang itu mengangguk dengan wajah yang juga penuh kekecewaan. "Aku mengerti."
Val, yang masih terduduk di sana, diam tak percaya. Mati? Pria itu mati? Val paham kalau pria itu telah melakukan banyak sekali kejahatan, dan mungkin kalaupun ditangkap pihak berwajib, hukumannya mungkin tetap akan menjadi hukuman mati. Tapi jika dilihat langsung seperti ini, si penyerang mati seperti ini?
Dia bergidik. Matanya bergulir melihat sekitar. Meski terlihat emosi dari wajah orang-orang yang menyebut diri mereka Wild Dogs, tapi mereka tetap tenang. Ansel memberikan instruksi lanjutan untuk segera mengamankan tubuh setiap penyerang dan melanjutkan evakuasi, yang mana langsung dituruti teman-temannya. Mereka begitu tenang, seolah pemandangan seorang pria yang meledakkan kepalanya sendiri itu sudah biasa bagi mereka.
Sedikit rasa takut kemudian menggerayangi pundak Val. Pengalaman seperti apa yang mereka peroleh hingga terbiasa dengan situasi seperti ini? Dipikir sebagaimanapun, untuk anak remaja, meski mereka ini receiver, rasanya cukup tidak masuk akal bagi mereka diterjunkan dalam satu regu untuk menghadapi penyerang bersenjata. Apalagi salah satu dari mereka memiliki kemampuan spesial. Tapi mereka bisa mengatasinya seolah sudah terbiasa.
Itu membuat Val berpikir sendiri, jika Theo menerima ajakan mereka, apa yang akan dia alami? Apa yang akan dia hadapi hingga bisa menjadi seperti mereka?
Tapi pemikiran itu langsung sirna begitu sebuah tangan terulur padanya. Dia mendongak, melihat Ansel Elias Clive yang mencoba membantunya berdiri. Dia tidak berkata apa-apa, dan Val juga tidak. Val menerima uluran tangan itu, lalu lanjut menarik Marc mengikuti Wild Dogs ke tempat pengungsian.
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments